Part 2 Bertemu Mereka

1.8K 93 3
                                    

Mohon kritik dan sarannya.

°
°
°

Brakk ....

Aku baru saja mau membuka mulut untuk sarapan. Tiba-tiba Ayah membuka pintu depan dengan bersungut-sungut.

"Cowni kita mati lagi. Padahal aku sudah memasang jebakan," sungut Ayah sambil duduk bersama kami di meja makan.

"Mungkin ada hewan besar yang memakannya, Yah." Lagi, Lois selalu menyahut tanpa alasan.

Ibu memandang anak bungsunya dengan menggelengkan kepalanya.

"Malam nanti biar Henzie dan ayah yang menjaga," sahut kakak lelakiku yang super dingin bagai es batu.

"Sudah jangan dipikirkan lagi, Greg. Biar Henzie yang menemanimu malam nanti," sambung ibu dengan sabarnya.

Beberapa menit kemudian, Ayah tetap menggerutu tentang ternaknya yang mati. Sapi kesayangannya tiba-tiba saja mati tanpa sakit. Pagi hari saat ia ke kandang terdapat pemandangan yang tak lazim. Tidak ada darah yang tertinggal. Sapi itu menjadi kurus sekali. Aneh, bukan?

Hal yang sama pernah terjadi dulu, tetapi bukan ternak milik kami. Sebelum kami pindah ke sini, di televisi menayangkan ribuan ternak mati tidak wajar. Aku berharap bukan makhluk itu lagi yang berbuat ulah.

"Aku sudah selesai. Terima kasih sarapannya, Bu," kataku sambil menggeser kursi dan bersiap berangkat sekolah.

"Lean,...." panggil ibu lembut.

"Ya," jawabku pendek.

"Jangan tinggalkan adikmu, Nak. Kalian, 'kan satu sekolah?"

"Aku tahu, Bu. Aku akan tunggu di luar."

Usiaku dengan Lois hanya dua tahun saja. Tiap tahun kami akan berangkat ke sekolah bersama kecuali pulangnya. Ia selalu banyak kegiatan terutama jika berurusan dengan bola.

Zie tidak bisa mengantarkan kami. Ia lebih senang naik sepeda gunungnya daripada jalan bersamaku dan Lois. Kata Zie, kami ini lambat kalau jalan. Bukan aku yang lambat melainkan Lois yang jalannya tidak bisa cepat. Jangan sampai aku meninggalkan bocah gendut itu di belakang, Ibu akan mengomel panjang tiada henti.

"Lois! Cepat keluar!" Aku berteriak dari teras. Kebiasaan dia yang tak bisa diubah sering terlambat.

Ah .... sial. Padahal masih pagi, mata ini malah melihat sesosok pria tua dengan seragam tentaranya sedang berhilir mudik di pinggir jalan. Apa dia kenalan Waller? Atau atasannya? Haduh ... buat apa juga sih aku memikirkannya.

"Sekarang apa lagi yang kamu lihat, Lean?" tanya Lois tepat di wajahku.

Aku singkirkan wajahnya dan tak menggubris ocehannya. Ia selalu senang bertanya mengenai penglihatanku. Padahal dirinya akan berlari kencang jika melihat makhluk menakutkan.

*****

Lihatlah karena ulahnya, kami terlambat ke sekolah di hari pertama. Lois begitu tenangnya seakan tak terjadi masalah dan langsung belari meninggalkanku.

"Hai ..." sapa seorang gadis di sampingku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum membalasnya, terlalu cepat menyapa seseorang. Setidaknya aku perlu tahu namanya.

"Ayo kita masuk," ajaknya sambil melangkah menuju pos satpam.

Dia gadis yang ramah, murah senyum dan begitu ceria sambil bersenandung.

"Hari pertama saja sudah terlambat. Bagaimana dengan hari selanjutnya?" tegur satpam bertubuh tambun dengan berkacak pinggang.

"Maaf, Pak. Saya habis pindah rumah kemarin jadi bangunnya agak terlambat," ujarku berbohong agar tak mendapat hukuman. Sebenarnya mencari sekolah yang dekat rumah itu susah. Ayah menginginkan agar kami bersekolah di kota saja, tetapi Ibu tidak mau. Maklum rumah kami tidak berada di tengah perkotaan.

"Namamu siapa?"

Pak satpam tersebut melihat buku absen anak-anak baru dengan kacamata tebalnya, mencari daftar nama.

"Leanne Lavender Dulcie Amari."

"Nama yang cukup panjang, ya, Nona Amari?"

Aku hanya tersenyum masam. Memang aneh jika memiliki nama panjang? Selain aku masih banyak yang namanya sampai enam kata.

"Besok jangan terlambat lagi," sambungnya lagi dengan nada rendah.

"Masuklah sekarang, Nona. Pertemuannya ada di aula."

"Tahu letak aulanya?" lanjut Pak Dwight sambil menunjuk ke suatu gedung di ujung sebelah kanan.

Aku menggangguk saja, tidak mau berkomentar. Jika bukan karena lambaian tangan dari hantu penunggu aula, aku pasti tidak tahu. Sekolah ini begitu luas dengan ruangan yang hampir semuanya berhimpitan.

"Selamat datang dan berkenalan dengan teman-teman barumu, Nona."

Aku segera melangkah dengan cepat. Bel tanda masuk sudah berdering nyaring. Oh, ya sejenak aku melupakan gadis yang bersamaku tadi. Rupanya dia tak sama dengan yang lainnya. Gadis yang memakai seragam era 50-an itu melambaikan tangannya dan menghilang bagai asap. Sebuah penyambutan yang tidak menyenangkan. Bukannya manusia melainkan hantu yang menemani.

"Mengapa dia tak pergi ke dunianya?" Aku bergumam melihat

Kurasa dia penunggu sekolah ini dan ada sesuatu yang membuatnya tetap tinggal.

*****

Anak-anak yang lain sudah berkumpul di aula. Mereka serempak merapatkan barisan kala guru datang, aku segera menyusul.

"Hai ..."

"Hai juga ..." Aku membalas sapaan gadis yang ada di sampingku. Kali ini bukan hantu yang menyapaku.

"Namaku Isaballe. Panggil saja Ailee."

Aku menyambut uluran tangannya dengan senang.

"Namaku Leanne. Panggil saja aku Lean."

Kami tak bisa melanjutkan obrolan ini karena kepala sekolah sudah ada di depan dan siap untuk berpidato. Untunglah pidatonya tak lama.

"Kau ada di kelas berapa, Lean?" tanya Ailee sambil melihat papan nama kelas.

"Entahlah ...." Aku melihat deretan nama di papan, "Kita sekelas ternyata."

Kulihat ekspresi Ailee yang ceria dan langsung menggandeng lenganku agar masuk kelas bersama. Di hari pertama aku sudah mendapatkan seorang teman. Ia adalah gadis yang menyenangkan bila diajak bicara maupun bercanda.

"Nanti kita duduk bersama, ya."

Ailee begitu bersemangat, berbeda dengan diriku yang masih enggan berteman yang lainnya, Ailee sudah banyak bicara dengan teman sekelas. Ya ... aku memang susah untuk mengenal orang yang baru.

Hari pertama tidak ada pelajaran. Kami hanya berkenalan teman yang lainnya dan guru kelas memperbolehkan muridnya bersantai. Aku melihat Ailee yang sudah bergosip, ternyata tempat duduknya terpisah dan tidak boleh berdua.

Mataku melihat ke sekeliling kelas. Jelas sekali sekolah ini sudah berdiri lama. Banyak makhluk tak kasat mata dari abad pertengahan. Aku menguap karena bosan, tidak pekerjaan atau tugas sehingga aku memutuskan ke kamar kecil.

"Kamu mau ke mana, Lean?"

Meskipun sedang asyik bicara dengan teman sebangkunya, Ailee masih memperhatikan diriku yang hendak ke kamar mandi.
"Ke kamar mandi sebentar."

"Mau aku temani? Gosipnya di sana ada penunggu yang menakutkan."

"Tidak usah. Aku berani kok," sahutku santai dan menganggap itu hal biasa.

"Kamu yakin?" tanyanya ragu.

Aku menggangguk. Ailee sayang, untung kau tak memiliki penglihatan sepertiku. Andai kau tahu jika mereka yang kau bicarakan sebenarnya ada di sebelahmu sejak tadi. Aku ingin memberitahu kepada Ailee dan teman yang lainnya jika wanita berpakaian lusuh dan berdarah di perutnya itu memang ada. Namun, ya namanya orang yang tak percaya. Mereka malah mengganggap itu lelucon.

=Bersambung=

Hari pertama Leanne sudah merasakan kehadiran mereka yang tak tampak. Apa yang akan dilihat Leanne selanjutnya?

Part selanjutnya "Ada Yang Salah?"

Keluarga Amari ( Terbit Di Dreame/Innovel Hingga Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang