08

65 17 0
                                    

Rajas tersenyum geli mendengar pertanyaan Saliqah. Ia lalu mengalihkan pembicaraan kembali ke tujuan mereka. "Ayo, Sal. Kita langsung saja ke sana sebelum tempatnya penuh. Kita bisa naik kereta dari stasiun ini, cukup 1x pemberhentian, lalu nanti turun di dekat daerah Hauptstrasse, tempatnya di situ," ucap Rajas sambil memeriksa jadwal kereta di aplikasi di ponselnya.

Saliqah mengangguk dengan penuh semangat, matanya berbinar. Mereka pun bergegas menuju peron, angin musim dingin terasa menusuk tulang, membuat mereka menarik jaket lebih rapat. Mereka masuk ke dalam kereta dan duduk berdampingan di salah satu kursi kosong.

"Aku nggak nyangka, di sini ternyata ada yang jual coto Makassar. Aku pikir, biasanya kan cuman jual makanan-makanan  kaya nasi goreng atau sate saja," ucap Saliqah, membuka percakapan.

Rajas tersenyum dan menjawab, "Aku juga baru tahu. Dan, ternyata teman Kak Rina ini orang asli Makassar yang tinggal di sini, jadi sekalian membuka warung makanan khas Sulawesi."

Sepanjang perjalanan, mereka membahas makanan-makanan Indonesia yang dirindukan, seperti rendang, soto Betawi, atau sate padang. Kereta akhirnya sampai di pemberhentian terdekat dengan Hauptstrasse, daerah pusat keramaian kota Heidelberg yang dipenuhi toko-toko dan restoran. Jalan Kleine Schönau hanya berjarak beberapa menit dari sana.

Begitu mereka turun dari kereta, Saliqah langsung bisa merasakan atmosfer yang berbeda. Suasana di sekitar jalan ini memang ramai, dan ia bisa melihat beberapa restoran Asia berjejer di pinggir jalan, memberi warna tersendiri di tengah bangunan bergaya Eropa klasik yang elegan.

"Jalan ini terasa hidup banget, ya. Hampir seperti di Indonesia dengan semua aroma rempah-rempah dari restoran-restoran ini," gumam Saliqah sambil tersenyum.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati beberapa ruko. Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di depan sebuah rumah makan sederhana dengan papan nama bertuliskan "Warung Nusantara." Di depan pintu masuk, ada spanduk kecil bertuliskan "Coto Makassar – Dibuat oleh orang Asli Makassar."

Mata Saliqah langsung berbinar. "Wah, ini dia! Tempatnya bikin rindu Indonesia."

Rajas tertawa kecil. "Aku yakin kamu bakal suka. Yuk, masuk."

Mereka melangkah masuk, disambut dengan aroma kaldu yang kental dan bumbu rempah yang menggugah selera. Di dalam, dekorasi sederhana dengan nuansa batik dan foto-foto Indonesia menghiasi dinding, memberikan suasana hangat dan autentik. Tiba-tiba, Saliqah melihat sosok yang ia kenal—Pandu. Ia sedang membantu di bagian dapur, membawakan pesanan untuk pelanggan lain.

"Hei, Pandu!" sapa Rajas.

Pandu menoleh dan tersenyum lebar melihat keduanya. "Wah, kalian akhirnya datang juga! Selamat datang di Warung Nusantara! bentar Kak Rina di dapur sedang sibuk."

"Wah, makasih, Pandu. Aku penasaran banget sama coto Makassarnya," jawab Saliqah antusias.

"Nggak cuma kamu. Sejak buka minggu lalu, tempat ini nggak pernah sepi. Temannya Kak Rina itu memang chef berpengalaman dari Makassar, jadi rasa aslinya terjaga banget," jelas Pandu sambil tersenyum bangga.

Pandu mengarahkan mereka ke meja kosong di dekat jendela. Tak lama, seorang pelayan datang mengantarkan dua mangkuk coto Makassar dengan kuah kental yang menggoda. Uap panasnya menguar, mengisi ruangan dengan aroma gurih yang menggugah selera.

Saliqah mengambil sendoknya dan mencicipi kuahnya. Begitu seteguk pertama masuk ke mulut, ia langsung tersenyum puas. "Wah, ini enak banget! Rasanya mirip banget sama yang pernah aku coba di Makassar dulu. Ini ngangenin."

Rajas tertawa melihat ekspresi Saliqah yang bahagia. "Tuh, kan. Makanya aku yakin kamu bakal suka."

Sambil menikmati makan siang mereka, Saliqah dan Rajas terus mengobrol. Mereka membahas banyak hal—dari rasa coto Makassar, nostalgia tentang makanan Indonesia, hingga percakapan mendalam mengenai sejarah dan budaya.

Pandu bergabung sejenak, mengambil kursi di samping mereka. "Senang lihat kalian suka makanan di sini. Kak Rina dan temannya benar-benar ingin bikin tempat ini jadi rumah kedua buat mahasiswa Indonesia di sini."

"Terima kasih, Pandu. Kalian benar-benar berhasil menciptakan tempat yang nyaman terutama untuk kita mahasiswa Indonesia," kata Saliqah tulus.

Mereka melanjutkan makan, dan tiba-tiba Pandu menyebutkan kabar yang cukup mengejutkan. "Oh ya, teman Kak Rina yang masak coto ini ternyata sudah tinggal di Heidelberg hampir lima tahun. Tapi baru kali ini memutuskan untuk membuka tempat makan, karena merasa mahasiswa Indonesia di sini perlu tempat untuk mengobati rindu."

"Pantas saja rasanya otentik banget," ujar Rajas dengan anggukan. "Luar biasa juga chef-nya, jauh dari tanah air tapi tetap menjaga cita rasa asli. Pasti bumbunya ada yang nggak ada di sini dan harus kirim dari Indonesia nih."

Percakapan pun mengalir hingga tak terasa, mereka sudah menghabiskan mangkuk coto mereka masing-masing. Saliqah menyandarkan punggungnya, merasa kenyang dan puas. "Ini benar-benar pengalaman yang nggak terlupakan. Makasih, Rajas, sudah ajak aku ke sini."

Rajas tersenyum, merasa senang bisa membuat Saliqah begitu bahagia. "Kapan-kapan kita coba makanan lainnya di sini. Ada banyak menu khas daerah lain yang ditawarkan, jadi nggak bakal kehabisan pilihan."

"Iya, nanti aku ajak Iyyah. Iyyah udah pernah ke sini kan ya?" tanya Saliqah sambil melirik Pandu. 

"Hmmm, Iyyah udah aku ajak ke sini," ucap Pandu gugup. 

"Kok gugup gitu, Pan? Santai aja kali, hahaha," ucap Saliqah sambil tertawa melihat gelagat Pandu. 

Tak lama, Kak Rina keluar dari dapur dan menyapa mereka. "Wah, akhirnya datang juga, ya. Semoga suka dengan coto Makassarnya."

"Kak, ini enak banget! Terima kasih banyak sudah membuka tempat ini," ucap Saliqah dengan antusias.

Kak Rina tertawa. "Sama-sama. Senang lihat kalian menikmati makanan di sini. Jangan lupa ajak teman-teman yang lain, ya. Tempat ini memang dibuat untuk kita-kita yang jauh dari rumah."

Setelah puas menikmati makanan, Saliqah dan Rajas berpamitan kepada Pandu dan Kak Rina. Saat mereka berjalan keluar dari Warung Nusantara, Saliqah masih tersenyum bahagia. Ia bersyukur memiliki teman seperti Rajas, yang selalu mengerti kebutuhannya, bahkan yang sederhana seperti menikmati makanan Indonesia di tengah-tengah dinginnya Heidelberg.

"Jadi, kapan lagi kita ke sini?" tanya Rajas dengan nada bercanda.

Saliqah tertawa. "Kapan pun kamu mau, aku pasti siap!"

Mereka berdua berjalan bersisian di trotoar, menuju stasiun kereta untuk kembali ke asrama. Di tengah suasana kota Heidelberg yang tenang, momen sederhana ini terasa begitu hangat di hati mereka.

Author note: Selamat membaca. Semoga bacaan ini bisa menghibur para pembaca. Terima kasih juga karena sudah mau membaca cerita yang banyak kekurangannya ini, ambil baiknya, buang buruknya.

Mohon dikoreksi jika ada suatu hal yang tidak benar atau keliru dalam tulisan yang disampaikan pada part ini!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Simpul Dua Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang