Reality

254 40 12
                                    

.

"Kau nampak lesu akhir-akhir ini?" Pertanyaan ringan meluncur dari bibir sosok gadis berambut pirang panjang yang dikuncir kuda. Sakura hanya meliriknya sesaat dan kembali menatap malas seisi cafe yang ramai seperti biasanya.

"Hai, Saku, kau tidak tertarik menyapa pemuda cheese cake itu?" Celetuk Ino lagi, kali ini dengan seringai jahil sembari menunjuk-nunjuk sosok pemuda beeambut mencuat yang beberapa minggu ini hampir tiga hari sekali datang ke cafe seorang diri dan memesan menu yang sama, sepiring cheese cake.

Sakura hanya menatap Ino malas. "Daripada mengomporiku, kenapa kau tidak mencoba menyapanya duluan?"

Ino mengembungkan pipinya kesal, "dia pemuda yang tampan, sayangvaku sudah ada yang memiliki. Karena aku tipe yang setia, jadi aku memberikanmu kesempatan untuk menyapanya duluan, Sakura. Hitung-hitung jika kalian jodoh." Tukas Ino dengan senyum jahil.

"Jangan membual." Sungut Sakura malas.

"Hai, aku tidak membual! Kedatangannya hampir setiap hari pasti memiliki alasan tersendiri." Telisik Ino sembari melirik sosok pemuda berambut emo tersebut. "Jangan-jangan, dia benar-benar naksir denganmu."

"Jika dia menyukaiku, ada baiknya ia segera datang ke sini dan mengatakannya langsung. Bukan berlagak seperti stalker." Timpal Sakura.

"Wah berarti kau beruntung mempunyai stalker tampan sepertinya." Celetuk Ino.

"Jangan mudah menilai seseorang hanya karema,fisik Ino. Laki-laki tampan biasanya playboy, kalau tidak begiti mungkin saja dia homo." Cetus Sakura.

"Hush, tidak baik menduga yang aneh-aneh!" Tegur Ino. "Tidak semua laki-laki tampan seperti itu lho, contohnya saja Sai. Dia begitu tampan, baik hati dan tidak sombong." Imbuhnya tanpa sadar nampak memuji-muji kekasihnya.

"Ck, si mayat hidup yang kasar itu." Cemooh Sakura. "Aku heran apa yang kau lihat darinya, mulutnya benar-benar tidak pernah difilter dan kau masih saja tergila-gila padanya?'

"Hai, Sai tidak begitu!" Protes Ino. "Aku bahkan belum pernah mendengarnya mengumpat-umpat kasar, tega sekali kau menilainya beemulut kasar."

"Ya, dia memang tidak berbicara kasar. Tapi omongannya yang kelewat polos tanpa melihat situasi itu benar-benar mudah membuat setiap orang kesal padanya." Tukas Sakura.

Ino mendengus kecil, "aku janji akan membantunya memperbaiki kebiasaan jeleknya itu." Ujarnya.

Sakura mengangguk-angguk puas. Ia berharao dalam waktu dekat kekasih gadis berambut pirang yang menjadi teman dekatnya itu akan lebih baik daripada sebelumnya. Sai bukan orang yang jahat sebejarnya, tapi entah memang bawaan lahir atau bagaimana, oemuda dengan kulit seputih mayat itu benar-benar bodoh dalam mel8hat situasi, sehingga celetukannya yang kelewat jujur serta polos dan terladang frontal itu seding menyinggung perasaan orang lain.

"Jadi... bagaimana dengan tugas kuliahmu, Sakura?" Tanya Ino mengalihkan topik pembicaraan.

"Tidak terlalu susah kok, aku sudah menyelesaikannya sebagian besara. Tumben kau bertanya?" Ujar Sakura santai.

"Oh begitu ya, aku hanya penasaran saja. Akhir-akhir ini kau terlihat sering melamun. Kupikir kau sedang stress karena tugas kuliahmu." Celetuk Ino.

Sakura terpengkur, apakah akhir-akhir ini kemurungannya begitu ketara samoai-sampai tidak hanya Ibunya yang bertanya kenapa ia akhir-akhir ini nampak sering melamun dan murung. Bahkan Ino yang teman kerjanya juga berpendapat demikian.

"Oh ya, aku baru sadar kalau selama ini aku sering melamun." Kekeh Sakura hambar.

"Ah kau ini, masa kau sendiri tidak menyadari bahwa kau melamun. Tapi sudahlah, yang terpenting segala sesuatu jangan terlalu diikir serius. Tidak baik untuk kesehatan." Nasehat Ino.

Solitude Were We AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang