Princess of Tenebrae (2)

196 36 19
                                    

"Dahimu panas, sepertinya kau harus ke klinik kesehatan, Sakura." Ucap Shion dengan wajah khawatir, namun Sakura hanya mengangguk dengan senyuman kecil.

"Aku baik-baik saja, kau tak perlu khawatir. Lagipula... Sebentar lagi kelas Pak Kakashi." Bisiknya lembut. Shion menghela nafas kecil hingga akhirnya membiarkan Sakura mengikuti kelas walau raut pucat di wajahnya sangat ketara.

Namun baru saja melangkah menuju pintu, tiba-tiba Sakura oleng dan satu-satunya ingatan yang ia dapat adalah pekikan Shion yang berusaha menangkap kepalanya agar tidak membentur lantai.

.

Netra violet kebiruan itu menatap langit-langit ruangan, desahan kecil meluncur dari bibirnya dan ia mengetuk-ngetuk sisi meja. Waktu sudah berlalu cukup lama namun sosok yang ia tunggu-tunggu sepertinya tidak jua muncul.

"Maaf jika aku membuat mu menunggu, Stella." Sebuah suara yang lebih halus terdengar di belakang sosok perempuan dengan gaya terurai itu. Wajah yang serupa dengannya itu hanya melemparkan senyuman lembut.

"Tak apa, aku baru saja tiba kok." Elaknya, "jadi apakah kau yakin dengan keputusanmu untuk berkelana, Luna? Kau tahu bukan, kau tak perlu mengelilingi Eos untuk membinasakan starcourge yang mewabah di masyarakat?"

Lunafreya Nox Fleuret, sang Oracle Tenebrae yang merupakan saudari kembar dari Stella hanya memberikan senyuman kecut yang sarat akan kesedihan. Tangannya menangkup di pinggangnya. Netranya yang terang nan cerah menyorot pada sepasang iris violet dengan gradasi kebiruan kelam itu, mata yang menunjukkan perbedaan diantara keduanya, bahwa dua Fleuret itu memiliki jalan yang berbeda seperti garis yang telah digariskan oleh para Astral.

"Ini sudah menjadi keputusanku, Stella. Membinasakan para Daemon sudah menjadi kewajibanku sejak gelar Oracle jatuh padaku." Ujar Luna sedih namun tegas, "bagaimana bisa aku melanggar kewajiban ini jika sang Astral sendiri telah memilih?"

Stella menatapnya sendu, "kadang aku hanya berharap ada Fleuret lain yang bisa mengemban tugas ini Luna. Sayangnya, hanya kita berdua satu-satunya Putri dalam generasi Fleuret yang tersisa di sini." Bisiknya getir.

"Sejak Ibunda wafat, kau masih tak rela aku menjadi Oracle ya?" Ujar Luna sedih, "padahal, aku menerima takdir ini dengan tangan terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sejak Ibunda wafat, kau masih tak rela aku menjadi Oracle ya?" Ujar Luna sedih, "padahal, aku menerima takdir ini dengan tangan terbuka."

Stella mengigit bibirnya, entah kenapa rasa getir bermegah-megah di hatinya dan rasa sakit yang berasal dari mana yang ia sendiri tak tahu sebabnya bermegah-megah di sanubarinya.

"Bagaimana aku bisa rela, jika takdir-terkutuk- ini telah merenggut segalanya dariku?! Pertama Ayahanda, kemudian Ibunda dan Kerajaan kita, setelahnya apakah aku harus diam saja ketika dengan jelas saudariku sendiri harus turut berkorban?!" Pekiknya getir, "aku melihat sendiri bahwa kita tak lebih dari boneka yang dipermainkan oleh para Astral, hanya untuk memberikan perlindungan pada 'Raja' yang nyatanya hanya seorang pengecut!"

Solitude Were We AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang