1. Datang Kembali

124 12 3
                                    

Lari, lari dan lari. Hanya itu yang ada di benaku sekarang. Sambil menahan kaki yang gemetar, kupaksakan kakiku untuk terus berlari menembus gelap dan udara dingin ini.

Dua orang bertubuh besar terus mengejarku hingga aku merasa nafasku muai tersengal. Sial, lariku tak seimbang dengan mereka. Aku semakin merasa bahwa aku akan tertangkap sebelum akhirnya menemukan semak dan bersembunyi di baliknya. Jantungku berdebar hebat sambil sesekali muncul sekelebat ingatan yang membuatku sedikit menyesal.

Kalau saja aku tidak terlibat dalam masalah ini pasti aku tidak akan berada disini sekarang. Pun kalau aku tidak mencampuri masalah ini keluarga dan teman temanku yang akan terkena akibatnya. Sesekali aku memejamkan mata dan berharap ini hanya sebuah mimpi.

Tapi suara langkah kaki orang-orang itu membuatku sadar, aku berada pada puncak kemalanganku. Aku menghela nafas. Ya, aku akan mati.

***
2 bulan sebelum kejadian...
Hujan di pagi hari membuatku menarik jaket rapat rapat, kalau saja tidak ada jadwal kuliah pagi mungkin aku akan kembali tidur.

Untung saja ojek online segera datang menyelamatkanku dari dinginnya pagi ini. "Mba Tania Putri ?" tanya driver ojol. Aku hanya mengangguk dan langsung masuk ke mobil. Hal yang paling menyebalkan ketika hujan adalah terjebak kemacetan apalagi di jam kerja seperi sekarang.

Aku hanya diam di sepanjang perjalanan sambil sesekali menghafal jalan. Terhitung 3 hari yang lalu aku baru saja pindah ke kota Malang bersamaan dengan rencanaku mengambil program magister. Jadi aku masih perlu menghafal rute jalan di sekitar sini.

Sekitar 30 menit kemudian aku baru sampai di universitas, ku lihat hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk di lobi depan. Beberapa lainnya asik berbincang di taman atau sekedar menikmati sarapan pagi.

Aku menuju belakang kampus melewati beberapa mahasiswa muda yang curi curi merokok disana, salah satu diantaranya menyapaku. "Pagi mba Tania..," "Pagi.." aku menjawab sekenanya sambil terus berjalan. Aku ingat dia adik kelasku sewaktu SMA, hanya saja penampilannya yang sekarang membuatku sedikit pangling.

Aku harus melewati beberapa koridor dan lorong lorong sepi sebelum akhirnya tiba di kelasku. Sepi dan selalu begitu. Bukan karena mahasiswa lain belum datang, tapi memang begitu. Sengaja aku menarik diri dari yang lainnya hanya karena aku tidak ingin kejadian beberapa tahun lalu terjadi lagi.

Sakit rasanya ketika mengingat diriku waktu itu, hanya karena aku berbeda dari yang lain kemudian mereka memperlakukan dengan seenaknya sendiri. Berbeda? Iya aku berbeda, dan hanya ada beberapa orang saja yang tau. Aku menyimpannya rapat rapat kecuali pada kedua orang tuaku dan ke empat sahabatku.

Tapi karena suatu hal, rahasiaku terbongkar begitu saja ketika aku masih kuliah di kotaku yang dulu. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan siapapun. Siapapun itu aku hanya akan menyapa, tertawa dan berurusan secukupnya.

"Pinjem charger dong Tan," perkataan seseorang membuyarkan lamunanku. Erina, dia salah satu dari 4 orang sahabatku yang pindah kesini. "Nanti sore main yuk, Taman Lampion" timpanya, "Gak ah males, lagi musim hujan juga" jawabku sambil tetap memainkan ponsel.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ajakan Erina, lagipula band favoritku akan tampil disitu. Tapi entah, selain karena aku harus part time di Cafe Ulos aku juga merasa tidak enak hari ini. Perasaanku sedang tidak baik dan ini hal yang paling aku tidak suka. Biasanya perasaan buruku adalah sebuah sinyal terhadap suatu hal.

Kegiatan perkuliahan berjalan seperti biasa dan selesai pada pukul dua. Dari tadi pikiranku terbang jauh entah kenapa, membuatku sedikit pusing. Aku meminta Erina untuk pulang bersamaku, yah sepertinya aku butuh teman ngobrol. "Kamu sakit Tan? Pucet gitu," tanya Erina.

Sepertinya dia bisa membaca dari raut mukaku, 'perempuan' aku bisa melihat perempuan itu hanya saja aku tidak memberitahu Erina. "Emmm iya sedikit, yukk cepet" jawabku sambil berjalan lebih cepat.

Pikiranku membuncah selama perjalanan, tubuhku menggigil hebat tentunya dengan kepala yang masih berdenyut. Sudah lama sejak kejadian itu aku tidak merasakan seperti ini lagi. Aku tidak salah liat kan?. Aku ingin cepat cepat pergi dari sini sebelum Erina bertanya lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi.

Dari situ kalian bisa mengetahui mengapa aku berbeda, iya aku mempunyai kemampuan yang orang lain belum tentu memiliki. Indigo, begitu orang sering menyebutnya.

Sebenarnya melihat hal seperti itu bukan hal yang baru bagiku, tapi ini berbeda. Walaupun di lihat dari jauh aku tau kalau sesuatu yang buruk akan terjadi. Dia muncul lagi di hidupku. Perempuan itu.

Sekian untuk bagian satu.
Jangan lupa beri aku vote dengan klik bintang serta kritik, saran, maupun pertanyaan di kolom komentar yaa. Sampai jumpa di bagian dua.
Love you..

Syal Merah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang