5. Si Pembawa Pesan

37 5 1
                                    

Hari sudah gelap ketika aku menyusuri jalan pulang dari cafe Ulos. Sebelum masuk gang aku harus melewati jembatan yang disana aku sering berhenti. Sekedar menghembuskan nafas panjang , duduk di taman sebelahnya atau meregangkan tubuh sebentar seperti sekarang ini.

Aku menyukai lampu lampu jalan di sepanjang jembatan, mereka seolah paham bahwa aku berjalan sendirian dan takut gelap.

Deretan lampu lampu itu membentuk sebuah cahaya yang khusus bersinar di bawahnya, seperto corong mengahadap ke bawah. Dan aku suka itu.

Beberapa orang melintas dengan terburu-buru, tau bahwa hari sudah larut dan tidak baik menikmati sepi di jembatan ini.

Tapi aku tidak, aku tetap disini. Berdiri di tepi jembatan sambil membiarkan rambutku sesekali bergerak tertiup angin.

Aku rindu ke-4 sahabatku, Erina, Athala, Luki, dan Belia. Iya, aku merindukan Belia. Walaupun rasa takut dan menyesal selalu menghantui setiap aku mengingatnya, tapi rindu tak bisa dibohongi.

Rasa menyesal setiap ingat kenapa waktu itu aku diam saja. Rasa takut kenapa waktu itu aku justru memilih pergi tanpa berbalik menolong Belia.

Terkadang ingatanku terlalu tajam, sampai aku terkadang stres memikirkan bahwa akulah yang membuatnya meninggal. Bahwa akulah yang membunuhnya. Tapi setiap aku ingat jari jarinya yang halus itu, perasaanku mulai tenang kembali.

Ah iya perisai kami, Athala dan Luki. Dua laki laki yang selalu bersama kami setiap waktu. Dulu, mereka yang selalu menjadi pelindung kami ketika harus pulang malam karena mengerjakan tugas. Mereka juga yang selalu menjadi pengingat keteledoran yg sering kami lakukan.

Hmmm tak terasa udara semakin dingin, aku harus segera pulang. Tapi tiba-tiba langkahku tertahan, sebuah tangan menepuk bahuku.

Darahku berdesir dan segera tau bahwa sesuatu datang mengancamku. "Jangan berbalik !". Lututku lemas mendengar orang itu berbicara, aku benar benar takut. Walaupun dingin, keringatku menitik di dahi.

Aku melihat sedikit bayangannya dan aku melihat siluet topi. Ya, orang itu memakai topi. "Si si siapa kamu?!", aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Bantu aku atau pisauku yang akan menemuimu". Itu kata terakhir yang orang itu ucapkan. Setelah itu aku terduduk dan baru bisa bangun beberapa menit kemudian.


Sekian untuk bagian ini. Jangan lupa klik bintang dan kirimkan kritik maupun saran di kolom komentar ya. Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Love you

Syal Merah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang