Aku tengah mengambil salah satu kamera milik instansi di rak kamera. Hari ini aku bertugas meliput demo yang jika kudengar akan terjadi nanti setelah shalat duhur. Senangnya,aku meliput bersama dua karyawan instansi dan Dion,teman SMP-ku.
"Udah makan belum,Sat?"
Suara Dion terdengar. Belum puas juga dia memanggilku Sat walau sekarang kami sudah berpisah sekolah.
"Udah," aku melirik arloji. "Tadi pagi,sih." lanjutku.
"Mau makan,gak? Sekalian gue mau berlagak kaya karyawan instansi nanti. Liat dong!" ucapnya pongah sembari membusungkan dada.
Mataku terpaku pada bedge namanya. Dion Alfareez M—Mahardika. Nama yang pernah dan selalu hatiku jeritkan saat mengalami masalah. Setidaknya,nama yang selalu terbesit pertama kali.
"Seragamnya udah jadi? Cepet amat. Perasaan baru tiga hari lalu lo pesen." sahutku. Dengan datar.
"Enak aja! Tiga bulan,woy! Kita udah prakerin tiga bulan!" sengaknya.
Aku menghela napas pelan lantas berjalan menuju garasi untuk meletakkan kamera. Setelahnya,aku duduk di sofa sudut ruangan. Tak terasa,rupanya aku sudah menjalani hari-hari melelahkan ini selama tiga bulan.
"Dek,habis ini kita briefing bentar,ya? Ajak Dion sekalian,ya,tolong!" seru Kak Nusa—salah satu reporter di sini.
Aku hanya mengangguk. Mendengar nama Dion,aku jadi teringat masa SMP kami dulu. Ya,aku dan Dion adalah sahabat semasa SMP. Tiga tahun kami selalu satu kelas,entah apa alasannya—bahkan di novel-novelpun tak ada yang membahas alasan seseorang selalu sekelas dengan sahabatnya. Dan kami dipisahkan setelah kelulusan,kemudian dipertemukan lagi karena prakerin ini. Memang,sih,kami tidak lost contact,seperti aku dengan sahabat—mantan sahabatku yang lain. Tapi baru tiga bulan inilah kami benar-benar bertemu seharian seperti dulu lagi.
Aku tersenyum getir. Menghela napas panjang,akhirnya aku berdiri untuk mencari Dion. Tak begitu susah mencarinya. Cukup cari dia di tempat yang ada makanan,maka disanalah ia.
Benar saja,baru saja keluar ke halaman,sudah ada Dion yang habis membayar batagornya.
"Makan,Sat," tawarnya.
"Ke ruang meeting sekarang. Disuruh Kak Nusa buat briefing." ujarku lantas berjalan ke ruang meeting.
Aku mengetuk pintu ruangan tersebut. Setelah dipersilahkan,baru aku membuka pintu dan berjalan masuk. Kak Nusa dan orang yang kurasa bernama Tanaya—jika kudengar orang-orang memanggilnya—langsung menoleh begitu aku berjalan mendekati mereka. Aku tersenyum kecil dengan tetap melangkah.
"Dion?" Kak Tanaya bersuara.
"Nyusul,lagi makan batagor." jawabku sekenanya. Lalu kulihat dia melihat arlojinya dan membelalakkan mata.
"Sekarang kita shalat duhur dulu. Belum waktunya sih,tapi karena ini kepepet,jadi insya Allah gak apa-apa," ujarnya dan langsung beranjak pergi.
"Shalat gak,Dek?" tanya Kak Nusa.
Aku menggeleng,"lagi halangan." ujarku.
Setelah mendapat jawabanku,ia berlalu menyusul Kak Tanaya.
Oh,sial! Asalkan aku di dunia novel,aku akan menjadi bos dan Kak Tanaya yang bossy itu akan kujadikan cleaning service! Kesel banget kalau baru duduk sudah ditinggal!
Aku menarik napas dalam-dalam,mengingat ucapan Mama supaya aku harus mengendalikan sisi apatisku.
Keriat pintu kaca terdengar memekak telinga. Orang bodoh mana yang berhasil menciptakan suara seperti itu?!
"Assalamu'alaikum,maaf te- eh? Kok cuma ada lo,Sat?" Dion membeo.
Rupanya ini orang yang membuka pintu.
"Shalat sana! Kak Tanaya sama Kak Nusa lagi shalat" ujarku datar.
"Lah? Shalat dhuha?"
Aku mendecak,setelah menjelaskam panjang lebar dan sedikit mengusirnya,akhirnya Dion beranjak dari ruangan meninggalkan aku sendiri. Kemudian aku merogoh sakuku.
Sial,masih di tas.
Akhirnya aku keluar untuk mengambil ponsel yang kuletakkan di tas. Baru saja ingin menuju loker,Shakira—teman satu sekolahku—memanggilku. Katanya,wearpack-ku sudah jadi.
"Oh,iya. Tadi aku lihat punya Dion,tapi gak ngeh kalo ternyata punyaku juga udah. Makasih ya!" ujarku.
Akhirnya aku menuju ke ruang pembina prakerinku untuk mengambil wearpack.
"Permisi,Kak. Ninggar mau ambil seragam." ujarku setelah masuk ke ruangan Kak Emma.
"Oh,iya. Sini duduk,"
Aku hanya tersenyum tanpa menuruti perintahnya. Toh aku tidak lama disini.
Tak berselang lama,Kak Emma berjalan ke arahku dan menyerahkan barang yang dimaksud. Setelah berbincang sebentar dan berterima kasih,akupun permisi dari ruangannya dan langsung le toilet untuk berganti baju. Aku tidak mau kalah dengan Dion,hahaha.
---------------
Briefing sudah selesai lima menit lalu. Kini aku dan timku tengah bersiap menuju lokasi demo nanti."Inget ya,Dek,kalian gak boleh mencar. Nanti disana kalian cari aman aja. Kaya yang dibilang tadi pas briefing,tugas kalian ambil bahan insert aja. Karena kamera cuma dua,nanti Ninggar sama Nusa dan saya sama Dion." jelas Kak Tanaya. "Bukan modus ya,ini supaya kalau ada apa-apa disana biar cepet teratasi. Kalau aku sama kamu," Kak Tanaya menunjuk Kak Nusa,"nanti kalau mereka hilang gimana? Kalau aku sama Ninggar,terus salah satu pingsan,siapa yang gendong?" lanjutnya panjang lebar melihat Kak Nusa yang cekikikan.
"Siap Katim!" sahut Kak Nusa.
Aku hanya memperhatikan dan setuju-setuju saja. Toh kalau aku bersama Kak Nusa bakalan jauh lebih aman.
Setelah perbincangan itu,kamipun meluncur dengan mobil instansi yang dikemudikan oleh Kak Nusa.
797 words
KAMU SEDANG MEMBACA
Life On 50%
Teen Fiction"Masalah pertemanan kadang rumit,berteman gak usah dibawa serius. Semua yang membuatmu nyaman,itulah temanmu,sahabatmu." Dion berkata dengan tenang. Senyum tulusnya menenangkanku yang tengah gentar menghadapi masalah kehidupan. "Gak semua temen 100%...