"Ninggaaaaaaaaar!"
Suara nan memekakkan telinga itu terdengar semakin mendekat padaku. Tubuhku membatu dengan tangan yang meremas handuk kimono yang tengah kupakai.
Dua orang itu bergerak memelukku,membuat remasanku mengerat seiring rapatnya pejaman mataku menahan tangis.
Sial!
Sial!
Sial!
Aku terus mengumpat demi membuat hatiku kembali batu seperti biasa. Aku tidak boleh menangis! Tidak boleh! Tidak boleh!
"Kalian ngapain disini? Oh salah,maksudku—ngapain kesini?" Tanyaku datar. Tak sedikitpun bergerak maupun membalas pelukan mereka.
Satu persatu,mereka melepas pelukan. Salah satu dari mereka menggamit tanganku. Aku menarik tanganku dan berjalan ke arah almari untuk mengambil baju ganti
"Ihh,kok kamu ngomongnya gitu sih tri,kan kita cuma mau ketemu sama kamu. Kita udah hampir dua tahun gak ketemu loh!" Ujar salah satu dari mereka.
Apa tadi? Tri? Bahkan sekarang aku benci dengan nama itu.
"Mending kalian pulang,aku mau mandi." Ujarku asal,dan bodoh. Jelas-jelas aku baru saja selesai mandi.
"Gak usah bohong,kamu baru mandi loh. Kita kesini mau ngajak kamu jalan. Dibawah ada Berli sama Fiona. You will enjoy it!" Ujar Maya. Oke,mereka adalah Maya dan Carissa. Tapi jangan pernah sebut nama mereka dihadapanku!
Aku bergeming. Masih terfokus memilih baju dan beranjak ke kamar mandi untuk berganti. Persetan dengan mereka!
Aku mendudukkan diri diatas toilet duduk. Betapa beruntungnya aku hidup dengan fasilitas lengkap dari orang tuaku hingga mendapat kamar mandi dalam ruangan yang kini menjadi persembunyianku. Ah,terlalu tak pantas diucapkan bila aku bersembunyi,karena mereka sudah tau. Mungkin,lebih baik disebut—pelarian(?)
Setelah cukup lama berdiam,aku berdiri dan mengenakan pakaianku dengan cepat. Lima menit kemudian,aku keluar dan dua orang tadi sudah tidak ada di kamarku. Syukurlah.
Aku segera meraih ponselku dan langsung menghubungi Dion. Setelah menanyakan keberadaannya,aku langsung meraih hoodie di belakang pintu dan segera berlari sembari memakainya.
Di ruang tamu,tampak mama sedang berbincang dengan mereka.
"Lah ini Ninggar udah siap,kalian—"
"Ninggar ada janji sama temen ninggar,ma." Tukasku lantas menyalami mama kemudian mengambil kunci mobil di nakas ruang tamu. "Pinjem mobil ya,ma? Hujan soalnya." Ujarku sembari melangkah mundur.
Baru saja berbalik,suara mama terdengar menginterupsi. "Kak!" Begitu suara tegas mama yang kudengar. Aku kembali membalikkan badan memghadap mama. "Temenmu nungguin loh!" Suara mama meninggi.
Sial,mataku panas. Aku menghela napas dengan kasar,memalingkan wajah dari orang-orang palsu tersebut. "Maaf,ma,Ninggar udah ada janji. Tadi juga udah ngobrol kok." Sahutku datar. Rupanya aku juga sama dengan mereka,penuh kepalsuan. Ah,persetan! Aku melanjutkan acaraku menuju garasi.
Aku menghempaskan bokong di jok kemudi sembari mengerang pelan. Cuaca saat ini mendung,mendukung sekali untukku menangis. Tapi tidak,aku harus kuat. Setidaknya sampai nanti aku bertemu Dion dan Nando di Orion Cafe. Ya,tujuanku sekarang adalah Orion Cafe.
-----------
Sepanjang perjalanan,ponselku terus bergetar karena panggilan masuk. Semuanya kuhiraukan karena aku yakin itu dari mama. Maafkan aku ma,kau hanya tak pernah tahu masalahku.
Beberapa menit hening. Ponselku tak bergetar lagi. Aku bisa sedikit tenang,namun baru saja menyandarkan kepala,suara kodok terdengar dari ponselku.
Asal kau tahu saja,itu dering notifikasi yang dipasang Nawang secara khusus untuk nomornya!
Kupasangkan headset nirkabel ke telinga dan secara otomatis akan terhubung dengan bluetooth ponselku. Kutekan salah satu tombol dan terdengarlah suara Nawang.
"Kak? Lo dimana?"
"Di jalan,"
"Mau kemana?"
Bip! Sambungan terputus secara sepihak. Tentunya aku yang mengakhiri. Tidak ada urusannya dengan Nawang. Dan aku sedang emosi,mungkin akan kulontarkan kata kasar jika dia terus bertanya. Bukankah mengakhiri sambungan telepon lebih baik sekarang?
-----------
Setelah sekitar 20 menit perjalanan,sampailah aku di Orion Cafe. For your information,ini adalah kafe milikku,Dion,Nando,dan salah satu teman Nando,Insa. Kafe ini sudah berdiri sekitar setahun yang lalu.
Sedikit cerita,sejak kelas dua SMP aku,Dion,dan Nando sudah menabung bersama-sama. Tujuan awal kami adalah membuka sebuah distro. Tapi mengingat aku dan Dion yang memilih masuk SMK,akhirnya kami putar haluan untuk membuka bisnis di bidang kuliner. Alasannya,kasian Nando jika harus mengurus distro sendiri saat kami sedang prakerin. Dan beruntungnya,saat awal masuk jenjang yang lebih tinggi,Nando bertemu dengan Insa yang notabene ibunya adalah seorang pengamat dunia bisnis kuliner. Akhirnya kami dapat membuka kafe dengan bantuan ibunda Insa. Masalah tempatnya,ini adalah bekas ruko kelontong milik saudara Dion yang secara langsung dan tertulis dihibahkan kepadanya. Sedangkan aku,hanya membantu melengkapi beberapa furnitur seperti bangku dan meja bundar. Itu pun karena ayahku seorang pemilik toko meubel,dan sudah sangat jelas aku tidak keluar uang untuk ini.
Karena keperluan kasarnya sudah terlengkapi,uang hasil tabungan kami pun digunakan untuk membeli grinder machine dan peralatan lain,serta bahan pokok untuk produk kami. Awal mulanya,kami hanya menjual berbagai jenis kopi,namun sekarang sudah mulai menjual makanan camilan dan tambahan menu minuman lain. Dan asal kau tahu,kami sudah bisa memberi upah tiga orang pelayan dan seorang barista panggilan.
Mungkin kalian akan bertanya kenapa aku tidak pernah menunggu kafe ini,jawabannya adalah;karena aku perempuan dan sedang prakerin. Tidak mungkin aku menunggu kafe di malam hari. Aku hanya menunggu saat hari libur atau jika aku sedang sendirian di rumah.
----------
Setelah menemui Dion dan Nando yang sedang berada di ruangan kami—ada Insa juga,aku segera menangis di matras yang ada sembari menutup wajah dengan guling. Tak ada suara tangis,hanya air mata yang memaksa keluar. Tanpa aku bicara lagi,sepertinya mereka tahu alasanku menangis. Tapi nyatanya tidak.
"Lo keinget mereka lagi?" Tanya Nando. Suaranya datar seperti biasa.
Aku diam. Membiarkan pertanyaannya serta langkah kaki yang entah milik siapa mendekat ke arahku. Berikutnya,tangan yang kutahu milik Dion memainkan rambutku. Aku masih diam. Dan sialnya,Insa membuka suara,"Ninggar kenapa?" Dan akhirnya aku menangis tersedu dan keras.
"Lo kenapa nanya gitu?!" Dion mengerang di sebelah kiriku. Tangannya turun menggenggam kepalan tanganku.
"Maaf,gak tau gue." Suara Inka menjawab.
Entah tangisku adalah tangis yang keberapa. Seingatku,aku jarang sekali menangis beberapa bulan ini. Kecuali saat aku teringat akan mereka.
972 words.
--------
Hai hai hellaw! Gantung ya? Maapkeun_/\_
Gimme vote and comment,its free and dont lost it for free!
KAMU SEDANG MEMBACA
Life On 50%
Novela Juvenil"Masalah pertemanan kadang rumit,berteman gak usah dibawa serius. Semua yang membuatmu nyaman,itulah temanmu,sahabatmu." Dion berkata dengan tenang. Senyum tulusnya menenangkanku yang tengah gentar menghadapi masalah kehidupan. "Gak semua temen 100%...