Aku masih bersiap-siap untuk berangkat magang. Walau begitu,pikiranku masih belum bertemu ujung dari ucapan Dion semalam.
Alarm jam tanganku berbunyi,membuatku sedikit berjenggit karena terkejut. Ah,sudah jam delapan,waktunya berangkat.
"Ayo,Kak,mama anter." ucap mamaku. Aku hanya mengangguk dan segera membonceng.
Rumahku menuju jalan utama tak begitu jauh tapi juga lumayan melelahkan jika ditempuh dengan jalan kaki,hingga setiap harinya aku diantar jemput mamaku jika sedang di rumah. Ehem,kemarin termasuk pengecualian.
Setelah sampai di tepi jalan utama,mamaku masih menungguku sampai mendapatkan angkutan. Tentu saja aku yang meminta ditemani. Kami pun mengobrol ringan sampai akhirnya angkutan datang.
"Hati-hati!" ucap mamaku setelah aku mencium punggung tangannya. Aku hanya mengangguk.
Di dalam angkutan,aku duduk bersebelahan dengan bapak-bapak perokok. Segera aku berdiri dan memilih bersandar di pintu masuk demi udara segar. Yah,karena memang angkutannya penuh,banyak cemoohan yang terlontar ketika aku berdiri dan menyela mereka. Apa kau selalu mengira jika angkutan selalu longgar seperti di novel-novel? Sayangnya kali ini kau salah. Tentu saja angkutan umum akan selalu penuh. Utamanya jika dari kabupaten ke kota.
-------
Akhirnya sampai juga. Gerbang base camp —instansi— sudah terbuka lebar. Kendaraan pribadi juga sudah memenuhi lapangan parkir. Berjalan dari jalan utama ke base camp yang berjarak sekitar 200 meter lumayan menggantikan jogging. Yaah,hitung-hitung supaya tetap kuat menjalani kenyataan hidup,haha. Tapi jika langsung disuguhi pemandangan yang membuatku sumpek,moodku langsung turun.Aku menghela napas jengah dan langsung masuk ke lobi. Banyak karyawan dan peserta magang yang berlalu lalang. Sepertinya hari ini akan sibuk,bagi mereka. Karena setelah evaluasi kemarin tidak ada pemberitahuan untuk liputan lagi. Syukurlah,setidaknya tiga hari liputan secara berturut-turut sudah cukup bagiku. Tinggal lusa,aku masuk ke bagian pengeditan. Eh,jadi hari ini hari terakhirku dengan tim Kak Tanaya? Wah wah,it's look as my lucky day.
"Hai,Andita! Sudah sarapan?" tanya Fadiya,salah satu teman sekolah Dion yang magang disini.
"Hmm,belum. Tapi aku gak laper." ujarku.
"Yah,padahal aku laper banget,"
"Ya udah,ku temani." tukasku. Dia tersenyum,terlihat senang. Seperti dunia novel saja.
Akhirnya kami berjalan keluar menuju kantin. Kantin instansi berada di ujung lapangan parkir,dan disini aku harus berdrama agar tak terlihat apatis sedikitpun. Ya,aku harus berubah.
"Eh,kamu bawa motor kah?" tanya Fadiya. Senyumnya masih merekah. Ekstrovert sekali dia.
"Nggak. Mendingan naik angkutan umum. Buka rejeki orang lain,sayang lingkungan,dan bisa nikmatin perjalanan dengan santai." aku tersenyum tipis.
"Iya sih,tapi kan capek."
Aku hanya tersenyum. Capek lagi kalau lo cuma ngomong,mendingan coba dulu,kan? Batinku.
"SAT!! WOY TUNGGUIN!"
Aku menoleh. Oh,Dion. "Kenapa?" tanyaku begitu ia sampai di depanku.
"Bareng,mau makan,kan?" sahutnya. Napasnya masih ngos-ngosan. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanan.
Kami berjalan bertiga. Sepertinya aku terlalu terlihat tidak peduli. Ah bodo amat,siapa peduli?!
"Emm,mendingan aku makan di ruangan aja deh! Soalnya aku bagian pasca produksi. Takutnya gak ngerti apa-apa nanti." ujar Fadiya.
"Loh kenapa? Kan belum jam masuk. Bukannya fleksibel ya?" tanyaku. Jujur aku belum pernah di bagian pasca produksi.
"Beda. Disini kalau belum kelar semua gak boleh istirahat."
"Ya udah,gih sana pesen!" ujar Dion. Fadiya mendecih lantas berlalu selepas melempar senyum kepadaku.
"Lo mau makan juga kan,Sat?" tanya Dion kemudian.
"Udah makan gue,kalau lo mau makan biar gue temenin. Nanggung banget kesini cuma buat gabut-gabutan." ujarku kemudian duduk di bangku panjang kantin.
"Gelato mau?" tanya Dion. Aku mengangguk. "Oke tunggu bentar,gue ambilin." lanjut Dion kemudian beranjak pergi.
Kantin di lingkungan stasiun televisi lokal ini memang tidak begitu luas,tapi karena tidak disekat dinding,jadi tidak terlihat sempit. Tempat ini juga masih cukup untuk menampung karyawan yang makan siang di jam istirahat secara bersamaan.
Tak lama kemudian Dion kembali dengan nampan pesanannya—dan gelatoku. Aku tak lepas perhatian saat ia meletakkan satu persatu makanan yang ada di nampan ke meja. Ingatanku saat kami masih SMP terputar di otak begitu saja. Dari yang manis,hingga yang terkelam dan membuatku berubah seperti sekarang.
Aku menggelengkan kepala. Menepis jauh rasa ingin menangis. Ayolah,ini masih pagi,jangan menangis!
"Umm,oh iya,Yon,kata lo hari ini bakal jadi hari yang berat,kenapa?" tanyaku kemudian.
Dion menelan makanannya,"Gue prediksi,Kak Nusa bakal pindah divisi hari ini,"
"Ya terus apa hubungannya sama hari-hari gue bambang?!"
"Lo lupa kalau Kak Tanaya gak suka sama lo?"
722 words
Baiklah,ini emang sedikit. But whatever lah yaa,lagi goyah niat nulis ceritanyaaa huhu^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Life On 50%
Teen Fiction"Masalah pertemanan kadang rumit,berteman gak usah dibawa serius. Semua yang membuatmu nyaman,itulah temanmu,sahabatmu." Dion berkata dengan tenang. Senyum tulusnya menenangkanku yang tengah gentar menghadapi masalah kehidupan. "Gak semua temen 100%...