Huah,penat sekali rasanya. Seharian berlari kesana-kemari demi mendapatkan sebuah berita.
Baru sampai dirumah,aku langsung masuk ke kamar dan membanting tubuhku diatas karpet lantai,lengkap dengan baju,sepatu,dan tas selempang yang masih melekat di badan. Mungkin Mamaku akan mengomel panjang lebar jika melihatku dalam keadaan seperti ini.
Tapi sungguh,aku terlalu penat sekarang.
Kulirik arloji di tangan kiriku,pukul enam lebih 17 menit. Artinya,lebih dari satu jam aku berada di perjalanan.
Sial! Gara-gara karnaval sialan yang ada pocongnya itu,gue hampir mati ketakutan! Gerutuku dalam hati.
Yah,tadi,saat aku pulang setelah menjalani rutinitas–sebagai kelas sebelas yang sedang menjalani masa praktik kerja industi—di tempatku melaksanakannya,ada kanaval yang didalam barisannya ada segerombolan pocong hidup yang berdandan lebih seram daripada pocong aslinya. Tapi sungguh,aku benci apapun jenis pocong. Entah asli atau palsu,aku membencinya.
Tunggu,apa tadi aku bilang tentang pocong sungguhan? Kalau ya,maaf. Mungkin tak seharusnya aku membeberkan ini. Tapi kurasa kalian sudah tau,kan?
Ya,aku punya sixth sense. Bukan,bukan indigo. Perbedaanku dengan anak indigo jelas jauh. Indigo bisa melihat,mendengar,berinteraksi,keluar masuk dunia mereka,dan beberapa hal lain. Namun aku tidak demikian. Aku hanya sensitif terhadap keberadaan mereka;sesekali melihat dan seringkali merasakan kehadiran mereka.
"Kak Ninggar! Kakak di kamar gak? Yuhuuu,anybody room?" seru adikku—Nawang sembari mengetuk pintu secara brutal.
Aku hanya berdehem kencang. Terlalu malas untuk bergerak,bahkan menggerakkan mulut.
Segera,pintu terbanting dengan keras diikuti orang bodoh yang entah bagaimana selalu mengisi hari-hariku.
"Udah makan?" tanya Nawang setelah menjatuhkan bokongnya di atas ranjang tempat tidurku.
"Ya belom lah! Gila kali gue baru sampai rumah udah makan. Iya kalau gue itu punya kecepatan cahaya,atau kayak di novel-novel yang-"
"KAK!" sambar Nawang.
"Gak usah teriak,bocaaah!" pekikku.
"Ya lagian lo ditanya sedikit nyerocosnya udah kaya kereta aja. Sekali lagi lo bahas dunia novel,gue bakar semua novel di kamar ini!" ucapnya. Dadanya naik turun seolah benar-benar marah.
Ya,walau semua orang yang mendengar cerocosanku tentang dunia novel bakal melakukan hal yang sama seperti Nawang. Atau mungkin,kalian juga,nanti.
"Oke,gue belum makan. Kenapa?" tanyaku. Terlalu tidak mau membuat adikku kembali berteriak karena ocehanku tentang dunia novel.
"Mama sama Ayah lagi keluar,gue juga baru balik latihan basket. Makan bakso,yuk?!" ajaknya. Matanya berbinar—yang kalau di dunia novel digambarkan dengan berkaca-kaca.
"Mandi dulu gih,sana! Gue masih males ngapa-ngapain," ujarku. Melihat tekukan alisnya yang menyorot tajam,akupun mulai ngeri dan memilih bangkit untuk mandi.
Nawang adalah adik laki-lakiku. Selisih kami hanya 13 bulan. Yaah,jadi kami tidak terlalu berselisih karena kami tumbuh bersama. Setidaknya pemikiran kami sama,sebelum aku mengenal novel dan meyakini keberadaan dunia fiksi itu.
Namaku Andita Satriavi Adininggar dan adikku Arya Setya Adinawang. Entah alasan apa kami dipanggil berdasarkan nama akhir kami. Aku tidak tahu. Mungkin,supaya berbeda dengan dunia novel?15 menit sudah cukup buatku menyelesaikan ritual mandi dan berganti pakaian. Setelah itu aku menyisir rambutku dan menguncirnya. Kupoleskan lip ice berwarna sheer dan memakai baby cream untuk mosturizer. Maaf saja,aku bukan remaja yang mengenal dan menggilai apa itu skin care.
Nawang kembali mengetuk kamarku dan masuk setelah aku mempersilahkannya. Dia memakai kaos oblong hitam dengan outer kemeja berwarna hijau army sederhana dipadukan jeans hitam selutut.
Tampan.
Itulah yang terbesit dibenakku pertama kali setelah melihat Nawang. Oh,asalkan hidup itu seperti novel yang kukarang sendiri,maka akan kuubah Nawang menjadi jodohku,bukan adikku.
"Buruan,Kak! Jangan liatin gue sambil ngehalu gitu,dong!" cerca Nawang. Mungkinkah ia tahu pikiranku? "Gue tau kak,gue tau di pikiran lo pasti lagi mikir gue ada di dunia novel karangan lo dan gue jadi jodoh lo." lanjutnya.
Aku tertegun sebentar. Baik,aku tidak akan menjadikan Nawang yang tahu segalanya jadi pacarku di dunia novel yang sudah mendarah daging dengan diriku ini. Bagaimana kalau saat kami pacaran,dia malah spoiler?! Kan tidak elit!
"Lo yakin mau pake shirtless malam-malam gini? Jangan harap gue bakal pinjemin lo kemeja buat lo pakai!"
Oh,shit. Mau makan bakso di gang seberang saja harus kaya orang kondangan.
Aku meraih jaketku yang kugantung di belakang pintu kamar dan segera memakainya. Beranjak keluar mendahului Nawang yang masih memperhatikanku.
"Lo yakin mau pakai celana ketat gitu? Gue pakai motor,bukan mobil loh,Kak!" serunya LAGI sembari berlari kecil menyusulku.
"Bacot,lo! Gue yang pake juga! Emang gue mesti pake celana kaya apa? Gue pakai dress,bego!" gertakku pada akhirnya. Jengah juga menghadapi cowok dengan mulut cewek semacam dirinya.
"Kan bisa pake baju rumah aja,"
"Kenapa sih lo gak hidup di dunia novel biar lo bisa kemakan sama buaya? Atau lo diam karena patah hati lebay yang dibuat sama penulis? Capek gue denger lo terus. Ini gue,terserah gue. Ini baju gue,yang pakai gue,jadi.terserah.gue!" kataku penuh penekanan di tiga kata terakhir.
"Segila itu,lo,sama dunia novel." decih Nawang.
Ia menaiki motornya sembari memakai helm lantas menyalakan mesinnya. Setelah aku ikut naik,ia melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Di sepanjang perjalanan,aku sedikit menyesali ucapanku. Tak sepantasnya aku bicara sekasar itu. Adikku bahkan tidak pernah menaikkan nada suaranya saat kesal—kecuali saat aku membicarakan dunia novel.
"Maafin gue,ya,Na? Mungkin lo bener,hati gue udah membatu sejak saat itu. Sekarang gue lebih sering ngeluapin ini semua ke lo."
"Gue tau alesan lo jadi batu gini. Gue paham." jawabnya.
915 words
Thanks for reading,All! I hope you like it.
Don't forget to give this chapter a vote and comment! It's free and don't lost it for free!
KAMU SEDANG MEMBACA
Life On 50%
Genç Kurgu"Masalah pertemanan kadang rumit,berteman gak usah dibawa serius. Semua yang membuatmu nyaman,itulah temanmu,sahabatmu." Dion berkata dengan tenang. Senyum tulusnya menenangkanku yang tengah gentar menghadapi masalah kehidupan. "Gak semua temen 100%...