Sepulang makan siang—menjelang sore—bersama tim,aku langsung mengambil duduk di sofa ujung,dekat dengan kamar mandi. Tanganku masih bergetar jika teringat baku hantam antara massa dan polisi yang tadi terjadi. Keringat dingin bercucuran di pelipis dan punggungku. Sungguh,aku tidak suka pertumpahan darah. Aku benci gore.
Kemudian aku memilih mengalihkan pikiranku dengan membuka sosial media. Men-scroll beranda dan asal klik-dua-kali tiap postingan.
"Udah disetor ke editor belum?" seseorang bertanya to the point. Aku mendongak. Oh,Kak Tanaya.
"Gak tau,saya gak bawa kamera,kan?" sahutku.
Dia langsung berlalu. Oke,aku tidak mau ambil pusing. Segeralah aku berkemas dan menuju loker di kamar mandi untuk menaruh tas. Selanjutnya dan mumpung ingat,aku mencuci mukaku hanya dengan air,tidak seperti di novel-novel yang harus pakai sabun cuci muka. Menurutku itu ribet,merepotkan,dan percuma.
"Ninggar,ayo beli jajan!" ajak Shakira. Aku menggeleng dan tersenyum tipis,"Makasih,tapi aku udah makan."
Shakira pun melenggang. Aku ikut berjalan dibelakangnya. Tujuanku sekarang adalah ruangan meeting. Tentunya akan ada evaluasi setelah melaksanakan tugas tadi.
Seperti biasanya,aku masuk ruangan setelah dipersilahkan sang tuan. Aku duduk disebelah Kak Nusa. Rupanya Dion sudah ada di ruangan.
"Oke,karena sudah kumpul semua,kita mulai saja. Pertama dan yang utama,saya selaku ketua tim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kalian berdua. Kalian sangat berjasa pada liputan kali ini. Tentunya kalian bisa melihat raut muka teman-teman magang kalian yang lain saat ditawari untuk ikut turun lapangan meliput demo. Untuk itu,saya betul-betul respect,dan tentunya bangga kepada kalian berdua. Yang kedua,saya juga memohon maaf karena ada kesalahan management waktu sehingga kita sedikit terlambat sampai di tempat. Saya juga memohon maaf apabila ada dari kalian yang mengalami cedera karena berdesak-desakan. Sekali lagi,terima kasih atas kesediaannya." ucap Kak Tanaya panjang lebar.
"Ya,saya juga berterima kasih atas kerja samanya,saya duluan." tukas Kak Nusa. Setelah mengatakan itu,ia berlalu begitu saja.
Aku beranjak menyalami Kak Tanaya dan keluar dari ruangan. Aku bertanya-tanya,kenapa begini? Dan pada akhirnya,aku lelah,dan tak peduli dengan itu.
--------
Jam lima sore. Karyawan dan seluruh kru berhamburan keluar meski masih ada yang memilih lembur karena tugas. Beruntungnya,minggu ini aku dapat bagian tim liput. Dan enaknya lagi,bukan live news,jadi tidak terlalu merasa lelah.Aku pulang naik angkutan,seperti biasa. Sebelum itu,aku berjalan sekitar 200 meter ke jalan utama. Mataku memandang langit oranye yang memancarkan keindahan,tapi tanganku tak absen untuk menjepit hidung,demi menahan bau selokan kotor. Ya,mau bagaimana? Ini perkotaan. Entahlah,aku bukan orang kota,jadi tidak tahu dengan jalan pikiran mereka—orang kota.
Seolah belum puas menutup hidung,aku masih terus menjepitnya walau aku sudah sampai di pinggir jalan utama. Debu,bukan alasan wajahku untuk berjerawat. Tapi alasan utamaku untuk bersin-bersin tak kunjung henti.
Melihat gaya orang kota yang berseliweran di jalan dengan busana yang sederhana tapi terbuka membuatku jenuh. Bukankah pakaian tertutup lebih enak untuk dipandang. Mengingat tentang pakaian,
Sialan! Kemejaku tertinggal. Akhirnya aku tak berpusing-pusing untuk menemukan solusi. Tinggal kirim pesan ke Dion,minta tolong,selesai. Kalaupun nanti malam belum diantar,aku masih bisa mengambilnya besok. Sebenarnya aku akan memilih cuek jika aku tidak peduli dengan cemoohan orang-orang yang mungkin akan mengataiku teledor. Ya,aku selalu terpancing emosi jika disikapi demikian.
Oh apakah kalian berpikir tindakanku ini seperti novel-novel yang tak ambil pusing akan suatu hal? Kalau iya,selamat! Tebakanmu benar. Betapa enaknya hidup di dunia novel.
--------
"Anybody home?" teriakku dengan lantang. Ayolah,ini jam enam sore. Harusnya semua orang ada di rumah dan berebut untuk membukakan pintu!Aku lelah. Sungguh. Kesal. Marah. Ingin melampiaskan kekesalan sekarang juga. Akhirnya aku melepaskan prinsip sopanku. Aku langsung menendang pintu utama yang ternyata—
TIDAK DIKUNCI?!
Rumah ini gelap sekali,sialan!
"Mama?" panggilku. Tanganku meraba tembok,menyusuri rumah sendiri seperti oramg buta demi menyalakan lampu.
"Mama,mama dimana? Mama kan tau aku takut kegelapan," isakku. Aku ingin menangis. Bukan karena aku betulan takut gelap,aku hanya takut dengan apa yang ada di kegelapan.
Akhirnya tanganku sampai di saklar lampu ruang tengah. Aku pun langsung bernafas lega.
"HAPPY BIRTHADAY NINGGAR!" seru semua orang yang mungkin muncul dari kolong tikus. Banyak sekali orang di rumah ini! Astaga.
"Kalian ngapain,sih?! Niat bikin gue jantungan hah!" gertakku. Air mata mulai keluar,aku mengusapnya sebelum menjadi sungai air mata seperti di novel-novel. Aku bahagia,tapi ada sedikit sakit karena semua ini.
"Ih kakak mah! Dikasih surprise juga!" ujar Nawang. Ia mendekatiku,tangannya dibelakang punggung seperti membawa sesuatu. Aku hanya diam. Membuka suara hanya akan menumpahkan air mata untuk saat ini. "Happy birthday,kak. Doa dari gue biar gue sama Allah aja yang tau,biar dikabulin secepatnya. And this is for you." ujarnya sembari menyerahkan kotak bersampul kertas kado bermotif galaksi.
Aku tersenyun haru memandangi kado itu. Aku terlalu tidak peduli dengan hal sekitar,sampai yang melekat denganku. Bahkan ulang tahunku.
"Selamat bertambah tua ya,nak! Mama sama ayah gak menuntut buat dihormati kok,cukup kamu jadi sebaik-baik diri kamu aja,mama udah bangga." ucap mamaku. Di tangannya ada nampan berisi tumpeng.
"Kalian ini kenapa? Aku juga gak minta buat dirayain kok." sahutku. Masih menggigit bibir bawah menahan tangis.
"Memangnya salah kalau ayah mau bikin kejutan buat anak sendiri? Hmm?" ujar ayah. Tangannya menepuk pelan puncak kepalaku.
Aku menggeleng pelan. Ayah tersenyum dan langsung mengkoordinir seluruh tamu penggembira undangannya untuk menikmati hidangan—yang entah dimasak oleh siapa—yang sudah ada di meja hidang.
Aku berjalan sambil menenteng kado dari Nawang menuju sofa bawah tangga. Tempat favoritku untuk bersantai.
"Selamat ultah ya,Sat,semoga lo bahagia." ucap Dion yang tiba-tiba duduk di sebelahku.
"Makasih," sahutku sekenanya. "By the way,kemeja lo udah di nyokap lo." lanjut Dion. Aku hanya mengacungkan jempol ke arahnya.
"Lo kenapa dah? Udah mending lo having fun sekarang. Karena besok bakal hari berat buat lo," begitu kata yang keluar dari mulut Dion.
979 words.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life On 50%
Teen Fiction"Masalah pertemanan kadang rumit,berteman gak usah dibawa serius. Semua yang membuatmu nyaman,itulah temanmu,sahabatmu." Dion berkata dengan tenang. Senyum tulusnya menenangkanku yang tengah gentar menghadapi masalah kehidupan. "Gak semua temen 100%...