Atilla mengetukkan jari di meja. "Sayangnya, aku punya indra ketujuh yang bisa mendeteksi kalau ada orang yang mau memanfaatkanku. Gagal total niat jelekmu itu. Garansi!"
Bianca tersenyum lebar. "Omong-omong soal chef, kenapa tertarik sama kerjaan itu?"
"Aku sendiri nggak tahu kok bisa punya ketertarikan sama dunia kuliner. Belum lama sih, bahkan bukan cita-cita sejak kecil. Aku mulai tertarik sejak tinggal di London waktu kuliah." Atilla menyipitkan mata tiba-tiba. "Jangan bilang kamu jijik sama chef cowok!"
Untuk kali pertama sejak mengenal Bianca, Atilla mendengar perempuan itu tertawa. Renyah. "Kamu orang yang suka membuat kesimpulan seenaknya, ya?" Bianca geleng-geleng kepala. "Aku selalu tertarik sama dunia kuliner. Yah, meski mustahil bisa jadi chef andal, tapi aku mengelola katering kecil-kecilan untuk TK di dekat rumah kakakku."
"Kamu masih punya bisnis sampingan selain bekerja kantoran?" Atilla memajukan tubuh tanpa sadar. Di depannya, Bianca tampak malu.
"Bukan bisnis besar, kok! Dan aku nggak menangani sendiri. Ada pegawai yang mengurusi semuanya. Aku cuma memasak sebelum berangkat ke kantor, dengan bahan-bahan yang sudah disiapin. Menunya pun nggak aneh-aneh. Lagian, ada kakakku yang membantu mengawasi. Jadi, ini kerja tim. Tapi, andilku justru yang paling minim."
"Tetap saja itu hebat. Jangan mengecilkan kerja kerasmu," Atilla mengingatkan. "Suatu saat, aku pengin mencicipi masakanmu. Siapa tahu aku nanti juga mengikuti jejakmu, bikin bisnis katering untuk anak sekolah."
"Kamu nggak sedang meledekku, kan?" Bianca menatapnya curiga.
"Enak saja! Aku serius!" Lelaki itu nyaris mengucapkan kalimat baru saat pramusaji membawa pesanan mereka. Keduanya mulai menyantap makanan masing-masing tanpa banyak bicara. Bianca tampak berkonsentrasi dengan menu pilihannya.
"Enak?" tanya Atilla penasaran.
"He-eh," balas Bianca pendek. "Punyamu?"
"Sama."
Interaksi mereka menjadi lebih cair sejak Atilla memberi tahu profesi lama yang harus dilepaskannya. Bianca mengajukan cukup banyak pertanyaan, termasuk alasan pelarangan bagi pelanggan Serendipity untuk membawa ponselnya ke dalam restoran.
"Oh, larangan kayak gitu memang belum populer tapi mulai banyak diberlakukan di Inggris. Kalau di negara lain, aku kurang tahu juga. Restoran punya Gordon Ramsay juga ada yang bikin aturan kayak gitu. Banyak, sih, yang protes, tapi nggak sedikit juga yang ngasih dukungan. Menurutku nih, apa enaknya makan sambil melototin hape? Kenapa nggak benar-benar menikmati makanan yang sudah dipesan?"
Bianca manggut-manggut. "Aku setuju. Tapi, mungkin karena aku memakai gadget seperlunya, jauh dari ketergantungan."
"Salah satu pelangganku pernah protes keras. Namanya Carly Wilson. Dia batal makan dan sempat bersumpah nggak akan pernah kembali ke Serendipity. Entah gimana, Carly mencicipi masakan restoran yang dibeli salah satu temannya. Akhirnya, dia melanggar sumpah dan menjadi pelanggan tetap. Dia bahkan menangis waktu aku pulang ke Indonesia."
"Berlebihan banget," kritik Bianca.
Atilla menangkap senyum samar di bibir perempuan itu. "Aku serius," balasnya. Wajah Carly yang sekilas mirip Michelle Dockery, membayang di pelupuk matanya. Perempuan itu menjadi pelanggan tetap Serendipity selama setahun terakhir, sekaligus teman mengobrol yang mengasyikkan. Setelah Atilla pulang ke Indonesia, mereka tetap berkomunikasi.
"Apa impianmu seputar dunia kuliner? Kamu nggak mungkin ninggalin profesi chef selamanya, kan?" Nada penasaran membalut setiap kata yang diucapkan Bianca. Pertanyaan itu terasa menjentik hati Atilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alpha Romeo [The Wattys 2020 Winner - Romance]
ChickLitBianca Dhanakitri tidak banyak bermimpi untuk menemukan pasangan yang sempurna di umurnya yang ketiga puluh empat. Apalagi menjadi pasangan seorang pria tampan, perhatian, dan berkarir bagus seperti Atilla-yang tujuh tahun lebih muda darinya. *** Bi...