"Setelah ini, boleh gua pergi?" tanya Dion pada Dira.
"Apa gua terlalu melelahkan buat lu?" Dira balik bertanya.
"Nggak, ini bukan lelah. Tapi gua adalah orang yang lu butuhin dan setelah gua ngelakuin tugas gua sebagai orang yang lu butuhin. Udah gak ada lagi alasan untuk tinggal," jelas Dion.
"Bukan lelah? Tapi gak ada lagi alasan untuk tinggal? Apa penalaran lu tentang cinta sebatas itu saja? Saat nampak saling peduli? Apa cinta sesederhana itu?" Dion dihujani pertanyaan dari Dira.
"Justru karena sesederhana itu, ini rumit. Rumit karena gua tinggal tanpa pernah tahu bagaimana hati lu," kata Dion.
Dira terdiam mendengar perkataan Dion yang terakhir, ia bungkam seketika tak tahu harus mengatakan apa. Dion adalah sosok yang selalu di sisinya kapan pun ia membutuhkannya, seperti yang dikatakan Dion. Tepat, Dira amat membutuhkannya. Dia merasa bersalah atas kejadian yang kini menimpanya dan Dion, apalagi Dion merasa bertepuk sebelah tangan.
"Elu nggak ngerti, Di," ucap Dira masih memberi pembelaan pada dirinya.
"Ya, gua selalu nggak ngerti, Ra. Yang gua lakuin selalu keliru di mata lu, ya begitu saja," kata Dion yang semakin bingung dengan sikap Dira.
"Oke, terserah lu anggap gua kayak apa. Gua jelasin gimana pun, tapi saat nalar lu milih gak nerima apa yang gua jelasin. Tetap saja semuanya nol," ucap Dira yang makin kebingungan menghadapi Dion.
Tiba-tiba ponsel Dion berbunyi memecah keheningan di antara mereka. Dia pun menerima panggilan yang masuk. Terlihat Dira yang mulai pusing dengan keadaan, tapi ia mencoba menenangkan dirinya.
***
Antrian para pasien semakin dekat menuju ke giliran Dira, ia meminum air mineral agar stresnya berkurang.
"Maaf, Ra," ucap Dion sambil duduk di samping Dira.
"Untuk apa?" tanya Dira.
"Untuk yang tadi, gua nggak seharusnya bahas itu disaat seperti ini," jawab Dion.
Suara otomatis dari pemanggilan nomor antrian terdengar menyebutkan nama "Dira Dyandra Danu", Dion menepuk-nepuk bahunya mengisyaratkan kata semangat untuknya. Dira mencuri pandang kemudian berlalu.
"Gua begitu egois, karena gua terkesan maksa lu untuk natap gua dengan tatapan lain. Lain dari biasanya. Lantas harus kayak apa? Ini nyakitin. Tapi gua bakalan belajar ngepak ini lagi, karena lebih nyakitin ngelihat lu sakit. Gua harap, lu lekas sembuh," gumam Dion.
Beberapa saat kemudian, Dira keluar dari ruangan dokter dan kembali ke tempat di mana Dion duduk. Dion terlihat sedih dan menundukkan kepalanya. Dira hanya duduk dan tak mengatakan apapun.
"Pulang yuk!" ajak Dira, singkat.
"Apa kata dokter, Ra?" tanya Dion
"Nanti gua cerita, Di. Sambil jalan pulang aja," jawab Dira.
"Oke, gua muter mobil dulu. Lu tunggu di gerbang ya." Ketika memasuki mobil, Dira mulai berbicara pada Dion.
"Lain kali gua sendiri aja ya, Di."
"Oke, kalo itu yang bikin lu nyaman."
Dari dalam lubuk hati Dira, ia enggan mengatakan itu pada Dion. Ia sebenarnya kaget karena Dion mengiyakan keinginannya dengan begitu mudah.
"Tuhan, maafin Dira yang udah lakuin ini ke Dion. Tapi ini yang terbaik untuk saat ini, jika terlalu sering bareng lukanya akan semakin dalam. Gua pengen dia gak tahu apapun saat ini, ini yang terbaik," gumam Dira.
Dion melihat Dira yang terdiam begitu saja, namun tak mengatakan apapun padanya malah mengalihkan suasana yang tengah hening.
"Sebelum pulang, kita beli salad buah dulu ya," ucap Dion.
KAMU SEDANG MEMBACA
5D
Novela JuvenilKopi itu seperti kebersamaan, selalu mampu merangkul perbedaan. (5D)