3. Om Evan bikes ( Repost )

26.9K 920 23
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejaknya setelah membaca !!!

Happy reading 😊

Evan menatap Ana yang sedari tadi masih diam. Matanya menatap kosong pada makanan dihadapannya.

Evan menghela nafasnya dan mengenggam jemari Ana membuat gadis  itu terkejut. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pada Ana yang menunduk menatap jemarinya yang sedang digenggam Evan.

"Ana..." panggil Evan sekali lagi pada Ana yang masih setia menundukkan kepalanya.

Ana mendongak menatap Evan, "Kau baik-baik saja?" tanya Evan sekali lagi. Ana mengangguk kaku merasakan tangan Evan yang mengeratkan genggamannya pada jemari Ana.

"Wajahmu memerah," ucap Evan. "Kau juga terlihat grogi, apa itu karena aku menggenggam tanganmu?" lanjut Evan yang membuat Ana gelagapan.

Sial, bagaimana bisa Evan begitu mudah menebak perilaku Ana. "Apaan sih, siapa juga yang grogi." Ana mengelak dan segera menarik tangannya dari genggaman Evan.

Evan menarik sudut bibirnya melihat tingkah Ana yang malu-malu terhadapnya. Wajah Ana yang memerah ketika dia menggenggam tangannya membuat  lelaki itu gemas sendiri dibuatnya.

"Ah udah ah, Ana mau ke kamar." ketus Ana dan berlalu dari hadapan Evan sedangkan Evan hanya terkekeh melihat tingkah menggemaskan Ana.

"BILANG SAJA KAU MALU PADAKU." teriak Evan pada Ana yang baru saja memasuki kamarnya.

Ana memegang dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. "Kenapa jantung gue jadi deg-degan seperti ini? ini bukan karena gue punya penyakit jantung kan?" tanya Ana pada dirinya sendiri sambil meraba dadanya.

Ana menarik bantal yang ada di kasur dan menggigitnya, "Akh... Om Evan sialan...".

***

Ana dan Evan duduk berdampingan berhadapan dengan pak Rudi. Setelah memberi waktu pada Ana selama 2 hari untuk memikirkan keputusan mengenai wasiat ayahnya, pak Rudi datang kembali untuk meminta jawaban dari Ana.

"Jadi bagaimana nona Ana, apa keputusan Anda?" tanya Rudi pada Ana.

Tubuh Ana menegang lalu matanya menatap Evan yang juga sedang menatapnya. Jujur saja Ana masih belum yakin dengan keputusan yang akan diambilnya, dia tidak ingin menikah dengan Evan tapi dia juga tidak mungkin mengabaikan wasiat ayahnya.

Sedangkan Evan, hatinya cemas. Dia takut Ana akan menolak untuk menikah dengannya karena dia sangat berharap Ana mau menikah dengannya meski dia tahu Ana tidak mencintainya tapi bukankah cinta akan tumbuh seiring kebersamaan mereka?

Ana menarik nafasnya dalam sebelum mengatakan keputusannya. "Iyah, saya mau Pak. Saya bersedia menikah dengan Om Evan." Jawab Ana dengan satu tarikan nafas.

matanya terpejam erat saat mengatakan keputusannya. keputusan terberat dalam hidupnya diusianya yang masih enam belas tahun.

Ana hanya berharap semoga dia tidak salah mengambil keputusan dan semoga Evan juga bisa menjadi suami yang baik seperti yang ayahnya harapkan.

Mendengar jawaban Ana, tanpa sadar Evan menghela nafas lega. Akhirnya sebentar lagi wanita pujaannya akan jadi miliknya.

Walaupun dia tahu Ana terpaksa menyetujui pernikahan ini hanya karena wasiat dari almarhum sahabatnya. tapi Evan berjanji pada dirinya sendiri kalau cepat atau lambat, dia pasti bisa membuat Ana jatuh cinta kepadanya.

Evan menatap sendu Ana yang tampak murung, hatinya sebenarnya tak tega melihat wajah sendu gadis mungil yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu, tapi mau bagaimana lagi, mereka memang harus menjalankan wasiat dari Adam meskipun dalam hati kecil Evan yang sesungguhnya dia tidak merasakan keterpaksaan untuk menikahi Ana karena memang dia mencintai Ana dan berharap Ana akan menjadi istrinya.

Evan hanya tidak menyangka kalau dia akan memiliki Ana dengan cara yang seperti ini. Jalan yang tak pernah sekalipun terlintas dalam pikirkan Evan.

"Kenapa kau diam saja? apa kau menyesali keputusan mu? Jika memang iya, masih ada waktu untuk mengubah keputusanmu," tanya Evan pada Ana yang terus menunduk sejak dia mengutarakan keputusannya menikah dengan Evan.

Ana mendongakkan kepalanya menatap Evan dengan tegas. "Tidak," ketus Ana.

"Baguslah kalau begutu, lagipula kau seharusnya bersyukur bisa menikah dengan lelaki seperti ku, sementara diluar sana banyak wanita yang berusaha keras hanya untuk menarik perhatian ku." ucap Evan dengan percaya diri membuat Ana membolakkan matanya.

Sepanjang Ana mengenal laki-laki yang akan menjadi suaminya itu baru kali ini lelaki itu bersikap narsis.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?memang benar ko apa yang Aku katakan. Aku ini tampan, punya postur tubuh yang membuat wanita manapun akan meneteskan air liurnya, dan dadaku, dadaku pelukable banget kan, sangat nyaman untuk menjadi tempat bersandar." lanjut Evan semakin menunjukkan kenarsisannya membuat Ana menatap kesal kepada Evan yang berbicara dengan kepedan yang tak terhingga itu sedangkan Rudi hanya terkekeh melihatnya.

Sepertinya almarhum bosnya itu tidak salah menjodohkan putrinya dengan sahabatnya.

"Iya kau benar, kau memang tampan tapi sayang, kau sudah tua. dan Aku tidak tertarik dengan pria tua sepertimu." ketus Ana dan pergi begitu saja meninggalkan Evan dan pak Rudi yang terkekeh melihat tingkah menggemaskannya.

"Kalau begitu saya pamit dulu tuan Evan, kalian hanya perlu menentukan tanggal pernikahannya saja, biar saya yang akan mengurus semua keperluan pernikahan kalian." Rudi berdiri dan mengulurkan tangannya pada Evan

"Iya pak terimakasih." Evan memyambut uluran tangan pak Rudi dan mengantarkannya kedepan rumah.

***

Ana keluar dari kamar mandi dan terkejut melihat Evan sudah duduk di sisi tempat tidurnya,

"Om ngapain ada disini?" tanya Ana pada Evan dengan kesal. Bagaimana tidak, Evan masuk kekamarnya tanpa mengetuk pintu dan melihatnya yang hanya dalam balutan handuk. Sangat sopan sekali calon suaminya ini.

Evan meneguk ludah melihat penampilan Ana yang hanya terbalut handuk dan hanya menutupi bagian atas tubuhnya sampai separuh pahanya, bagaimanapun dia laki-laki normal yang pasti akan tergoda melihat penampilan gadis yang seperti itu terlebih Ana adalah gadis yang dicintainya.

Evan bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Ana yang kini sudah melangkah mundur, menghimpitkan tubuhnya kedinding, tangannya membelai pipi Ana terus turun sampai kerahangnya dan mengangkat dagunya,

Ana memejamkan matanya rapat, Evan membuat jantungnya tidak bekerja dengan normal, membuat darahnya berdesir hebat.

"Dadamu rata dan terlalu kecil untuk telapak tanganku yang besar," bisik Evan ditelinga Ana. setelah mengucapkan kalimat yang membuat darah Ana mendidih  itu Evan berlalu begitu saja meninggalkan Ana yang masih mematung ditempatnya berdiri.

Evan sialan, bisa-bisanya lelaki itu menghina tubuh Ana. Ana akui tubuhnya memang mungil, namun bukan berarti tubuhnya kurus dan hanya menyisakan tulang. di bagian tertentu tubuhnya tumbuh dengan sangat baik.

"Dasar om-om tua bangka. Ikh, bikes banget sih jadi orang. gue mutilasi juga nih," gerutu Ana sambil memegang kedua pipinya yang dia yakini sudah bersemu merah karena sempat berpikir Evan akan menciumnya.

"Eh, tapi kalau dia gue mutilasi berarti gue bakalan jadi JATI dong, janda ditinggal mati." Ana memukul-mukul kepalanya menyadari pikiran bodohnya. bisa-bisanya dia berpikir konyol seperti itu.

MY OLD HUSBAND (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang