"Cobalah bangkit dari keterpurukan namun dengan mata memejam. Siapa tau, kau bisa merasakan apa yang ku rasa. Semuanya gelap!"
~Liana~
______________________
Liana menggeram marah, harus sampai kapan ocehan Rasyid mengganggu gendang telinganya? Pria itu terus mengajaknya berbicara tanpa henti.
Gadis itu meragu, apakah ia dan Rasyid pernah bertemu? Sampai-sampai Rasyid hapal betul apa yang dia suka dan apa yang dia tidak suka.
"Gua tau, lu itu gak suka sama sayuran, karna menurut lu sayuran itu pait. Sedangkan diri lu manis, jadi lu gak cocok ketemu sama sayuran" Memutar bola matas malas, Liana mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Tidak mau ikut campur bersama Rasyid Permana Orken, Liana memilih bungkam seribu bahasa. Dia lebih memilih untuk menatap pemandangan di sudut kota.
Tapi tak lama, dahinya mengernyit bingung. Mengapa jalan dari sekolah ke rumahnya sangat jauh? Perasaan hanya sepuluh menit saja. Apa jangan-jangan dia di culik?!
"Heh onta! Lu mau bawa gue kemana?! Perasaan rumah gua tinggal belok kanan langsung nyampe! Kenapa ini berasa jalan dari arab saudi ke kutub utara?!"
Yang di tanya malah cengengesan tidak jelas, seolah pertanyaan Liana adalah lelucon paling lucu sejagat raya. Tak menjawab apa-apa, Rasyid malah menghadapkan kaca spionnya ke muka Liana
Membuat gadis itu jadi.....bersemu kemerahan.
Liana memukul bahu Rasyid. Dan tentunya itu tidaklah pelan. Bisa di bilang cukup kencang "Awww, lu mah dari dulu kalo mukul orang gak pernah nanggung-nanggung!"
"Dari dulu? Apanya yang dari dulu, syid? Kok tiba-tiba kepala gua puyeng ya?!"
Liana merunduk, ia mencoba mengusir rasa sakit yang bersarang di kepalanya. Sumpah demi apapun, rasa sakit ini bukanlah seperti rasa sakit biasa. Rasa sakit ini layaknya masa lalu, datang tanpa di undang.
Melihat wajah Liana yang memucat, Rasyid tersenyum samar sebelum sedetik kemudian dia berubah panik "Eh anjir! Liana lu kenapa?! Mau ke rumah sakit? Muka lo pucet banget soalnya"
Dia menggeleng samar, seberusaha mungkin ia menepis paksaan memori lama yang mulai merasuki pikirannya. Liana bingung!
"Gua gak papa, tapi boleh mampir dulu gak ke tukang mie ayam? Kayaknya gue laper deh, makannya kepala gue jadi pusing" Rasyid mengangguk ragu seraya menatap Liana dari kaca spion.
Kebiasaan gadisnya tidak pernah berubah, akan meminta Mie Ayam ketika sedang sakit ataupun sedih. Mengingat Mie Ayam, Rasyid jadi punya sedikit gombalan.
"Na, Liana!" Panggilan Rasyid membuat Liana melihat kaca spion dengan tatapan malas "Apa?!" Tanyanya sewot.
Tersenyum misterius, Rasyid bertanya "Tau gak apa perbedaan lu sama Mie Ayam?" Yang di tanya menggeleng patah-patah.
"Kalo mie ayam kan makanan---" Memang kebiasaan Rasyid yang suka menggantungkan ucapannya, menyebabkan Liana jadi gondok setengah mati.
"Terus kalo gue?!"
"Kalo lu My Ayang! Eakkkk cuit cuit!" Balas Rasyid sembari bersiul jahil, ingin ku getarkan ginjalnya! Batin Liana penuh amarah membara layaknya batu bara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Liana
Teen Fiction"Yang harusnya berjuang tuh elo! Bukan gue. Yang harusnya ngelindungin tuh elo! Bukan gue. Takdir mainin perasaan kita berdua! Hubungan ini gak bisa gua lanjutin. Sekarang! Anggap aja kalo kata Kita, gak bakal pernah ada setelah ini" "Tapi kalo sete...