Dua

450 15 0
                                    

Sejak bangun tidur tadi pagi semangatku sudah luar biasa meledak-ledak saking senangnya bisa menjamah sekolah lagi. Aku melompat turun dari boncengan ayah begitu motor beliau berhenti di depan sekolah.

"Be good, ya?"

"Siap!" jawabku sebelum kemudian mencium tangan ayah.

"Tataaa!!!!"

Dari suara cemprengnya, aku tahu siapa yang memanggilku.

"Wooiii," balasku menyambut Ei yang setengah berlari mendatangiku.

"Pagi, Ooooom." Ei menyapa lalu menyalami ayah.

Ayah tersenyum dan mengangguk ketika menerima salamnya. "Yowes, nitip Tata, ya?"

"Tenang, Om. Pasti saya jagain."

Ayah kemudian melajukan motornya meninggalkanku dan Ei yang dengan bersemangat memasuki gerbang sekolah. Baru pukul setengah tujuh, sekolah masih sangat sepi. Baru ada beberapa manusia yang datang.

"Udah ngerjain PR Matematika-nya Pak Tri?" tanya Ei.

"Udah, dong!" jawabku.

"Bisa? Hebat dong, nggak ikut pelajarannya udah bisa ngerjain PR-nya."

"Iya, dong. Kan ada Bu Guru Dewi Purnama yang dateng ke rumah minjemin buku PR-nya kemarin."

"Hebat ya Bu Dewi Purnama-nya. Pasti orangnya cantik banget, deh!"

"Ngarep!" kataku sambil menoyor kepalanya.

Kami tertawa-tawa. Tapi tawaku langsung terhenti sewaktu sampai di pintu kelas. Kedua mataku terpaku pada sosok yang duduk di bangku paling depan, tepat berhadapan dengan meja guru. Aku tidak tahu apa yang berbeda dengannya. Aku tidak tahu apa yang istimewa dari manusia yang dengan santainya duduk bersandar ke dinding, menyumpal kedua telinganya dengan earphone, dan menutup matanya, menikmati dunianya. Yang aku tahu adalah tiba-tiba sekarang detak jantungku menjadi lebih cepat dari sebelumnya dan napasku rasanya langsung berhenti hanya karena melihatnya. Dia.

Untuk pertama kalinya aku merasa dunia ini terpusat pada satu titik. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar hanya ingin memandanginya. Walaupun jantungku harus bekerja lebih berat dan napasku berhenti, kupikir aku tidak akan apa-apa asal bisa memandangnya seperti ini.

"Rekta!"

Teriakan Ei membuatku kembali bisa bernapas. Ei sudah meletakkan tasnya di bangku favorit kami, nomor dua dari belakang di baris nomor dua terjauh dari pintu masuk. Aku menelan ludah lalu mulai melangkah mendatangi bangkuku, melewati bangku manusia asing itu.

"Kenapa?" tanya Ei sewaktu aku sampai di dekatnya. Sepertinya dia menyadari napasku yang berubah cepat.

"Nggak pa-pa." Aku buru-buru duduk dan berkali-kali menarik napas panjang, mencoba menenangkan kerja jantungku.

Ei, tanpa dikomando, melihat ke arah yang tadi kulihat. Dia kemudian tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kirain apaan," komentarnya.

"Apaan emang?"

"Halah." Ei menjatuhkan diri di kursi sebelahku. "Itu, kan?" katanya sambil menunjuk ke arah pojok depan kelas dengan dagunya.

Duh, pasti tadi aku terlihat bodoh. Untung makhluk asing di pojok depan itu sedang hanyut di dunianya sendiri, jadi dia tidak perlu melihat tampang bodohku.

"Itu siapa?" tanyaku, tak lagi peduli dengan malu. Sudah terlanjur basah, mengapa tak sekalian saja?

"Siswa baru. Sama kayak kita."

Aku mendelik padanya.

"Ya kan udah bener aku jawabnyaaa." Ei memrotesku.

"Ya tapi kan pas MOS kemaren ga ada dia," balasku dengan gemas.

Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang