Sebelas

163 9 0
                                    

Aku menarik napas panjang sebelum memasuki halaman sekolah. Kalau ingat lagi semua kejadian sebelum liburan itu, sekolah sepertinya akan jadi tempat yang tak lagi menyenangkan. Dan aku benar. Semua orang menatap aneh sewaktu aku masuk ke dalam kelas. Beberapa mata bahkan mengekor sampai aku duduk di sebelah Ei yang pagi ini menoleh pun tidak waktu aku duduk di sebelahnya. Cewek itu tetap saja menekuni bukunya.

Ei.. padahal sebenarnya aku tidak marah padanya. Seminggu ini aku malah merasa bersalah banget sudah membentak dia di muka umum seperti itu. Padahal dia sebenarnya tidak salah. Dia benar sewaktu bilang aku ini penakut. Dia benar sewaktu bilang aku tak berani memperjuangkan keinginanku. Cuma...

Ponsel yang ada di saku rokku bergetar. Aku segera menariknya keluar. Mas Awan. Ini lagi. Seminggu kemarin, setelah obrolan tak menyenangkan dengannya dia malam itu, Mas Awan berubah. Seminggu kemarin dia hampir tiap hari mengajakku jalan. Bahkan futsal saja yang biasanya tak mau diganggu, mendadak dia minta ditemani. Dia juga tambah sering mengirimkan pesan-pesan seperti ini, hanya sekedar mengucapkan selamat pagi, siang, atau malam. Dia semakin sering mengecekku. Sama seperti pagi ini.


Mas Awan: udah di sekolah, Dek? Have a great day. Love you.


Aku memasukkan ponsel ke saku rok lagi tanpa membalasnya. Bel tanda pelajaran dimulai baru saja berbunyi. Lalu rasa tak menyenangkan itu bertambah lagi sewaktu aku melihat bangku di pojok depan kosong. Senja tidak masuk sekolah. Padahal aku sudah kangen banget sama dia. Padahal aku sudah ingin bertemu. Ah, bahkan setelah berhari-hari, setelah semua yang terjadi akhir-akhir ini, aku masih juga tak bisa mengeluarkan Senja dari dalam kepalaku. Aku masih saja kangen sama dia. Masih ingin bertemu dengannya.

Hari ini bakalan jadi hari yang panjang.

***

"Nggak pulang, Ta?" tanya Eko dari mejanya.

Aku memalingkan pandangan dari pintu kelas yang terus aku pandangi semenjak dilewati Ei tadi.

"Bentar, Ko. Nyelesein ini dulu," jawabku sambil nunjuk LKS yang masih terbuka di atas meja.

"Kamu udah nengokin Senja?" tanya Eko.

Aku menggeleng. Sebenarnya ingin. Cuma kalau ingat Arik menelpon hari itu, sepertinya akan jauh lebih baik jika aku tidak bertemu dengannya dulu.

"Aku sebenernya pengen nengokin, sih. Cuma udah terlanjur ada janji. Kemaren waktu dia opname, aku juga cuma sempet nengokin sekali."

"Dia opname, Ko?" tanyaku panik.

"Iya." Eko memandang heran padaku. "Kamu nggak tau?" tanyanya. Aku menggeleng. "Minggu kemaren kan dia opname. Aku juga nggak sengaja taunya."

"Sakit apa dia?"

"Nggak nanya. Kebetulan aja dia dirawat sebelahan sama sodaraku."

"Ogitu...."

"Kalau ke rumahnya, salam ya?" Eko kemudian berjalan cepat keluar kelas bahkan tanpa menunggu jawabanku.

Aku harus bertemu dengannya. Aku butuh bertemu dengannya. Tak peduli nanti harus bertemu sama Arik. Aku benar-benar tak peduli. Aku benar-benar butuh bertemu dengan Senja.

Buku-buku yang masih terbuka di atas meja langsung aku tutup, aku membereskannya bersama alat tulis yang lain, kumasukkan ke dalam tas. Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas lalu mulai mengetik pesan singkat pada Mas Awan.


Me : Mas, aq plng sma Ei, ya? Mau jln dlu sbntar.


Tanpa menunggu balasan dari Mas Awan, aku memasukkan ponselku ke dalam saku rok, menyambar jaket dari dalam laci meja, lalu melangkah cepat meninggalkan sekolah, menyeberangi jalan depan sekolah dan berbelok di pertigaan pertama di sana.

Aku berjalan cepat memasuki halaman rumah Senja dan berhenti di teras. Pintu rumah itu tertutup, tapi saat aku hampir mengetuknya, aku mendengar suara seseorang dari dalam.

"Terserahlah," teriaknya.

Pintu yang ada di depanku terbuka. Ada Arik berdiri di depanku. Kami sama-sama terkejut dan saling menatap, diam mematung. Cewek itu kemudian melipat kedua tangannya di dada, memandangku.

"Mau apa ke sini?" tanyanya galak.

Aku menelan ludah, tetap berusaha memasang senyum terbaikku, berusaha tak mempedulikan nada kasar dalam suaranya.

"Senja ada, Rik?" tanyaku.

"Senja lagi istirahat. Ada apa?" jawabnya, masih segalak sebelumnya.

Aku memaksakan senyuman. Senyuman kecewa sebenernya. Padahal aku ingi sekali bertemu dengan Senja. Padahal tadi kupikir, aku bakal ketemu dia, bakal bisa mengurangi rasa tak menyenangkan ini. Tapi malah ketemunya sama Arik yang tak beda dari biasanya, selalu membuat perasaanku tambah tak menyenangkan.

"Oh, ya udah kalau gitu, Rik. Salam aja," kataku.

Aku berbalik dan sudah bersiap pergi waktu mendengar suara pintu terbuka.

"Rekta." Suara Senja menahan langkahku.

Waktu aku berbalik, dia sudah ada di pintu. Arik mendengus kesal waktu Senja muncul di sebelahnya. Dia berbalik lalu berjalan masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan diri dengan kesal ke atas sofa di depan televisi.

"Sori, Rekta," kata Senja.

Cowok itu beneran lagi sakit. Walaupun dia masih tersenyum kayak biasanya, tapi senyumannya tidak bisa menyembunyikan sakitnya.

"Kamu kok nggak istirahat?" tanyaku.

"Udah mendingan, kok." Dia tersenyum. "Ayo masuk," ajaknya.

Sebenarnya aku ingin masuk. Tapi tatapan sangar dari cewek yang kedua tangannya terlipat di dada, yang sekarang sedang duduk di sofa itu, membuatku urung.

"Di teras aja nggak papa kan, Ja? Aku...."

"Iya. Nggak papa." Senja memotong ucapanku dengan cepat. Kayaknya cowok itu sudah bisa membaca cuaca ruang tamu siang ini. "Ya udah. Duduk," katanya sambil mengajakku duduk di kursi teras.

Aku mengikuti Senja, duduk di kursi kosong di sisinya.

"Kamu kok nggak bilang sih kalau sakit, Ja?" kataku. "Kamu sakit apa?"

Senja tersenyum. "Cuma lagi nggak enak badan, kok." Dia menundukkan kepalanya, mengubur wajahnya di kedua telapak tangannya.

"Sori aku udah gangguin kamu. Aku cuma ..." Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku tak bisa bilang kalau aku khawatir, kalau aku kangen sama dia.

Senja mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Nggak ganggu kok, Rekta. Sori aku nggak kasih kabar."

Yang ada di antara kami kemudian adalah diam. Cukup lama aku cuma diam memandanginya. Sumpah, aku kangen banget sama cowok ini.

"Rekta, are you okay?" Senja tiba-tiba memecah diam kami.

"I'm fine," jawabku setelah tarikan napas yang lumayan panjang.

"No you're not." Senja menjawab cepat. Dia menoleh ke arahku.

"Sok tau."

"Aku memang tahu. Aku tahu kamu bertengkar sama Dewi," katanya. "Kenapa?"

"Nggak papa."

"Rekta, aku tahu kamu. Memangnya Dewi bilang apa sampai kamu semarah itu sama dia?"

Aku menghela napas lagi. Great. Setelah disambut sama Arik kayak tadi, sekarang aku ganti diinterogasi. Dan aku tahu Senja. Aku tahu dia pasti akan mengorek semuanya, akan menasehatiku banyak sekali seperti hari itu.

"Rekta?"

"Aku ke sini cuma pengen ketemu kamu, Ja. Bisa nggak?"

"Memangnya kamu nggak pengen nyelesein masalah kamu sama Dewi?" tanyanya. Aku membatu. "Rekta, masalah nggak bakal selese kalau kamu selalu lari kayak gini. Kamu rela kehilangan Dewi karena hal kayak gini?"

"Dia yang salah, Ja. Harusnya dia yang minta maaf ke aku!" Akhirnya kata-kata itu keluar juga.

"Kamu nggak bayangin posisi dia?" tanya Senja. "Kepikir nggak kalau bisa aja dia sebenernya bukan nggak mau minta maaf sama kamu? Bisa aja sebenernya dia cuma takut buat dateng dan minta maaf ke kamu?"

"Terus? Aku yang kudu minta maaf?"

"Ya kenapa nggak?" Nada suaranya tetap setenang sebelumnya. "Lagian kamu pikir kamu nggak salah dengan bentak dia di depan umum gitu?"

"Ah udahlah, Ja." Aku berdiri, bersiap pergi. "Harusnya aku tadi nggak usah ke sini aja. Nambahin sumpek!"

"Rekta, masalah itu ada buat diselesaiin, bukan ditinggalin. Dia nggak bakal selesai kalau kamu terus-terusan lari kayak gini."

"Udahlah, Ja. Nggak usah sok tahu," bentakku akhirnya.

Senja tiba-tiba berdiri, tepat di hadapanku. Dia menatapku. Aku mendadak membatu, urung melangkah.

"Cukup, Rekta. Udah cukup kamu nahan semua masalah kamu. Udah, jangan kamu tahan lagi." Nadanya lembut banget waktu Senja bilang semua itu. Beda sama sebelumnya. "Aku tahu kamu capek. Jadi, udah. Jangan kamu tahan lagi. Jangan kamu tambahin lagi. Kamu selesein, ya? Kita selesein sama-sama."

Lalu tiba-tiba cairan hangat itu menetes keluar dari kedua mataku. Air mata yang selama ini setengah mati kutahan. Masalahku sama Ei, pertengkaranku sama Mas Awan, tuntutan ayah, sikap dinginnya Arik yang aku masih saja tak paham alasannya... Semuanya masalah yang numpuk itu... Lalu tentang rasaku... Ah, lagi-lagi dia benar. Aku sebenarnya memang sudah lelah dengan semuanya. It's just too much.

Aku merasakan telapak tangan Senja di pipiku. Cowok itu lumayan kaget waktu air mataku membasahi tangannya. Entah mendapatkan keberanian dari mana, aku menjatuhkan kepalaku di bahunya dan menangis di sana. Lama. Sampai akhirnya aku mengangkat kepalaku.

"Udah lebih lega sekarang?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya, makasih, Ja."

"Jadi?" tanyanya. "Kita selesein masalahmu sama Ei, ya?"

Kita, batinku. Kata itu terdengar menyenangkan sekali di telingaku.

"Iya. Aku bakalan selesaiin masalahku sama Ei."

"Good." Senja tersenyum.

Kami lantas saling diam, tak mengatakan apa pun. Aku mundur, memberi jarak di antara kami lalu berdiri bersandar pada tiang, hanya diam memandangi cowok itu, tak bisa menemukan apa pun untuk dikatakan lagi.

"Ja, makan siang dulu!" Arik muncul di pintu, menatap kesal ke arahku.

Aku melihat Senja menghela napas. "Iya, sebentar lagi," katanya.

"Ja, ini udah lewat setengah jam. Nanti..."

"Iya, Rik. Tunggu dulu, ya? Sebentar." Tak ada nada tinggi dalam suara Senja. Tapi aku mendengarnya berulang kali menghela napas.

Arik kembali masuk ke dalam rumah dengan kesal.

"Sori, Rekta."

"Nggak pa-pa, Ja." Aku menegakkan tubuhku. "Ja, kalau gitu aku pulang dulu. Kamu istirahat dulu aja. Sori udah ganggu," kataku tanpa berani mendekatinya.

"Sori ya?" katanya lagi.

"Iya, Ja. Nggak apa-apa. Aku yang minta maaf sudah ganggu kamu. Makasih. Oiya, ada salam dari Eko."

Senyuman itu masih ada di wajahnya. "Iya. Makasih."

"Nanti aku sampaikan."

Senja mengangguk. "Rekta, aku seneng kamu datang."

Detak jantung ini menyakitiku sekarang. Mendengarnya mengucapkan kata itu membuat hatiku terasa semakin sakit. Apalagi ketika sebelah tangannya membelai pipiku.

"Aku suka kalau kamu senyum kayak gini," katanya saat jempol tangannya meraba bibirku.

Ya, aku tersenyum. Aku ingin dia tahu aku sedang tersenyum. Aku juga ingin mempertahankan tangannya tetap di sini, di wajahku. Tapi tidak. Aku tidak lagi berani melakukan itu, cuma akan menambah rasa sakit ini.

"Makasih," katanya lagi. Dia melepaskan tangannya.

"Aku pulang, Ja," pamitku.

Senja mengangguk. "Hati-hati," katanya, melepaskanku pergi.

Aku melangkah cepat meninggalkan rumah itu. Waktu aku menoleh, aku melihat Senja masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Aku menghembuskan napas panjang, berusaha mengeluarkan rasa aneh yang menyelimuti hatiku.

Langkahku terhenti waktu aku merogoh saku rokku dan tidak menemukan kunci rumahku di sana. Cuma ada ponselku. Aku baru sadar. Kunci rumah aku masukkan ke saku jaket tadi pagi dan aku meninggalkan jaketku di kursi teras rumah Senja tadi. Aku, mau tak mau, akhirnya kembali ke rumah Senja. Ayah dan mamah sama-sama jaga siang hari ini. Jadi kalau aku tidak mengambil kunci itu, aku harus menunggu mereka pulang nanti malam jam sembilan untuk bisa masuk ke dalam rumah.

Aku berbalik arah, kembali ke rumah Senja. Untung pintu depan rumah itu sudah ditutup lagi tadi. Jadi, aku cukup mengambil jaketku dan bergegas pergi.

"Rik, dia itu temenku. Tolong bersikap lebih baek sama dia."

Suara Senja dari dalam ruang tamu itu membuatku mengurungkan langkah. Suaranya terdengar cukup keras dan kesal.

"Aku itu udah cukup baik sama dia, Ja."

"Tadi itu apa?" tanya Senja.

"Harusnya aku yang tanya ke kamu. Tadi itu apa?" Arik balik bertanya dengan nada tinggi.

Ada jeda cukup lama. Tak ada jawaban dari Senja.

"Ja, aku kan udah bilang. Dia itu nggak serius sama kamu. Dia itu cuma jadiin kamu mainan! Buat seneng-seneng doang!"

Dadaku rasanya sakit banget waktu dengar kata-kata Arik. Tapi dia tidak salah. Dia tidak salah menilaiku. Semua orang pasti akan menilaiku dengan cara yang sama kalau tahu apa yang sudah aku lakukan.

"Ja, aku sayang sama kamu. Aku nggak rela kalau kamu cuma dijadiin mainan sama dia. Dia itu udah punya pacar, Ja. Aku liat dengan mata kepalaku sendiri!" kata Arik lagi.

"Aku tahu."

Aku menutup mulutku dengan sebelah tangan waktu aku mendengar jawaban Senja. Dia tahu.

"Apa?" tanya Arik.

"Aku tahu. Aku udah lama tahu soal itu."

"Terus?"

Tidak. Aku tak bisa lagi mendengarkan semua ini. Aku berjalan cepat meninggalkan rumah Senja. Aku berusaha menarik napas panjang-panjang, berusaha mengurangi rasa sakit di dadaku. Tapi, dadaku terus-menerus merasakan sakit. Manusia macam apa aku ini? Aku sudah menyakiti begitu banyak orang yang sayang sama aku.

Ada getaran dari ponsel yang ada di saku rokku. Dengan cepat aku merogoh saku rok, mengeluarkan benda itu dari sana. Mas Awan.

"Dek, kamu di mana? Maaf tadi aku di jalan, baru buka hape."

"Lagi jalan sama Ei. Aku pulang sendiri aja, Mas."

"Yaudah. Kalau gitu ati-ati. I love you."

Langkahku terhenti di pertigaan dekat sekolah. Sambungan telpon itu belum juga terputus, tapi tak ada lagi yang berbicara. Dari tempatnya biasa menungguku, di atas motornya, Mas Awan menatapku, masih dengan ponsel menempel di sebelah telinganya.

***

Tak ada yang berbicara sama sekali semenjak tadi. Aku atau Mas Awan. Tak hanya semenjak kami mulai duduk di sini, tapi semenjak kami bertemu di depan sekolah siang tadi. Aku masih ingat bagaimana raut wajah Mas Awan sewaktu menyambutku tadi. Aku ingat, di kedua matanya sama sekali tak ada amarah. Yang ada di sana hanya kekecewaan. Sama seperti sekarang.

Ruang tamu rumahku mendadak menjadi tempat yang tak lagi menyenangkan. Aku tak suka suasana ini. Aku tak suka rasa ini, rasa tak menyenangkan yang muncul setiap kali aku sudah mengecewakan orang dan tak tahu harus mengatakan apa. Ah, bohong. Aku tahu harus mengatakan apa. Aku tahu seharusnya aku bilang maaf ke Mas Awan. Maaf karena aku sudah berbohong padanya siang ini. Maaf karena aku sudah mengecewakan dia. Maaf karena hatiku pada akhirnya bukan buat dia. Tapi ternyata satu kata itu adalah kata tersulit yang harus aku ucapkan. Jadi pada akhirnya kami cuma duduk diam di sofa ruang tamu, membiarkan ruang ini diisi bunyi detik jam dinding sama beberapa kali mesin kendaraan yang lewat di depan rumah.

Mas Awan masih saja diam memandangiku. Aku tak tahu apa yang lagi dia pikirkan sekarang. Yang aku tahu pasti, ada kekecewaan di sana, di kedua matanya yang sedari tadi tak berhenti memandangiku. Dan itu rasanya menyakitkan.

Lama kemudian setelah sunyi, Mas Awan tiba-tiba berdiri, berjalan ke arahku lalu bersimpuh di lantai di hadapanku. Dia mengejar tatapan mata yang semenjak tadi aku tundukkan, yang sengaja aku hindarkan darinya. Dia meletakkan telapak tangannya di kedua pipiku.

"Dek," panggilnya. Dengan terpaksa aku ngeliatin dia. Masih tak bisa mengatakan apa-apa, hanya memandanginya."Maaf."

Air mataku langsung jatuh. Mas Awan... Senja... Mereka semua orang baik. Baik banget. Tapi apa yang sudah aku lakukan sama mereka? Aku cuma bisa mengecewakan mereka, menyakiti mereka. Aku ini manusia macam apa?

"Mas.." Suaraku tercekat. Tapi bahkan sebelum aku berusaha buat meneruskan kata-kataku, Mas Awan sudah berhasil menyuruhku diam lagi.

"Maafin aku, ya?" katanya. Dia menghapusi air mata yang tak lagi bisa kutahan. "Aku selama ini nggak bisa jadi cowok yang baik buat kamu. Aku nggak bisa pahami kamu. Maafin aku ya, Dek?"

Aku semakin terisak. Kenapa malah seperti ini? Kenapa dia yang bilang maaf? Bukan dia yang salah. Aku yang salah. Aku yang harusnya minta maaf.

"Dek, kita mulai lagi semuanya dari awal, ya? Aku bakal belajar ngertiin kamu."

"Mas.. aku..."

"Please jangan bilang itu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku sayang banget sama kamu."

Aku menarik napas panjang, meletakkan tanganku di atas tangannya yang masih saja ada di kedua pipiku. Aku menarik lepas tangannya lalu menatap kedua matanya. Aku tidak bisa menyakiti cowok ini lagi. Tak bisa.

"Kita mulai lagi dari awal, ya?" Mas Awan bertanya sekali lagi dan kali ini aku mengangguk.

***

Pagi ini aku sengaja datang cepat. Aku harus menyelesaikan masalahku sama Ei. Aku akan jadi orang paling bodoh kalau sampai rela kehilangan Ei cuma gara-gara masalah kayak gini.

"Ei," panggilku sewaktu menemukan cewek itu sedang berkutat dengan LKS-nya.

Dia mengangkat wajahnya, meninggalkan pekerjaannya, lalu menatapku. Cuma itu. Tak mengatakan apa-apa selain menatapku dengan tatapan yang tak bisa kubaca, membuatku menghela napas.

"Sori," kataku pelan akhirnya.

"Yaaah, aku maafin. Tapi kalau kamu ulangin kayak gitu lagi, jangan harap kamu pulang sekolah selamet!" katanya.

Aku langsung merangkul cewek cungkring itu, memeluknya erat.

"Nggak, Ta. Harusnya aku yang minta maaf. Sori ya, Ta. Aku udah kebangetan," katanya di dalam pelukanku.

"Kalian ini kayak di dunia udah nggak ada cowok aja. Ckckckck..." Damar yang baru datang memasang tampang jijik waktu mengatakan itu.

Senja yang baru aja duduk di kursi di depanku tersenyum waktu mendengar komentar Damar. Dia kelihatan senang sewaktu tahu aku sudah akur dengan Ei lagi.

"Kalau cowoknya cuma kayak kamu sih, aku masih lebih milih Ei, Dam," balasku.

"Emang aku mau gitu sama kamu?" Ei mendorongku menjauh.

Ah, aku udah lumayan lega sekarang. Paling tidak, satu masalahku sudah teratasi. Sebenarnya, ada dua yang kurasa sudah kuatasi. Ini dan semalam. Semalam aku menyelesaikan satu masalah lagi. Kurasa.

Kurasa. Aku tidak tahu apakah aku sudah benar-benar menyelesaikan masalah atau aku sebenernya hanya lari dari satu masalah. Aku berharap setelah semalam, setelah keputusan yang kuambil, aku akan bisa menjalani hari ini tanpa perlu memikirkan dia, Senja. Tapi ternyata jam pelajaran pertama masih saja aku habiskan untuk memandangi cowok itu. Sama seperti biasanya.

"Diliatin sama Pak Warsito, tuh!" Ei berbisik dengan kedua mata yang masih menatap ke arah papan tulis.

Aku buru-buru menegakkan tubuhku, mencoba memperhatikan papan tulis yang sudah berisi coretan-coretan tangan Pak Guru itu. Mencoba bertahan. Paling tidak, sampai bel istirahat pertama berbunyi.

***

"Lemes amat hari ini?" komentar Ei begitu Pak Slameto yang mengajar di jam ketiga keluar dari kelas.

Aku membalas komentar Ei dengan senyuman yang aku paksakan.

"Iya. Kenapa, Ta?" tanya Senja. Dia menatapku.

Aku menundukkan kepala, sedang tak ingin memandangi wajahnya. Tapi ternyata, bahkan tanpa menatapnya pun sekarang detak jantungku terasa sangat cepat dan napasku hampir habis. Rasa yang biasanya menyenangkan ini, sekarang menyakitiku.

"Semalem tidur telat," kataku. Aku meletakkan kepala di meja.

"Dewi, dipanggil Pak Ngadiyo!" teriak Manda dari pintu.

"Hah? Aku?" tanya Ei sambil menunjuk hidungnya sendiri.

"Iye. Cepetan! Penting banget kayaknya."

"Oke. Makasih." Ei berdiri. "Ke kantor bentar, yak?" Cewek itu buru-buru berjalan keluar kelas.

Cuma tinggal aku dan Senja sekarang. Buat pertama kalinya, aku berharap bel tanda istirahat berakhir segera berbunyi. Aku ingin waktu cepat berlalu.

"Kamu kenapa, Rekta?" tanya Senja.

"Ja, boleh nggak aku nanya sesuatu?" tanyaku, enggan menjawab pertanyaannya.

"Apa?"

"Kalau kamu jatuh cinta, kamu bakal perjuangin cinta kamu?"

Senja tersenyum. "Cinta, ya?" katanya. "Memperjuangkan yang seperti apa?"

"Kalau kamu jatuh cinta terus ada orang lain yang mau ngerebut."

"Nggak."

Aku memandangnya heran. "Berarti kamu nggak cinta dong sama dia?'

"Kan aku udah pernah bilang. Cinta nggak harus memiliki."

Badanku langsung tegak waktu mendengar jawabannya. "Tapi kan paling nggak harusnya ada usaha buat perjuangin," protesku.

"Kamu ini kenapa?" Dia mengulangi pertanyaannya.

Aku menghela napas, diam, tak menjawabnya. Dia ini berbeda dari Mas Awan. Mas Awan begitu takut kehilangan aku. Semalam, setelah dia tahu aku sudah bohong sama dia kemarin siang dan setelah obrolan yang lumayan panjang tentang hubungan kami, sebelum pulang dia memelukku erat sekali dan mengecup keningku. Dia bilang, dia tidak ingin kehilangan aku. Dia minta maaf sama aku karena merasa belum bisa jadi cowok yang baik buat aku. Dia minta maaf. Dia bilang, dia sayang banget sama aku. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali.

Tapi cowok ini, yang tanpa melakukan apa pun bisa membuat aku menjadi gila, membuat jantungku bekerja super cepat, dan membuat dadaku sesak oleh kebahagiaan, dia bilang dia tidak akan memperjuangkan orang yang dia cintai. Dia tidak akan mempertahankan orang yang dia cintai jika ada yang ingin merebutnya.

"Ja?" panggilku lagi.

"Apa, Rekta."

"Kamu pernah jatuh cinta?"

"Iya."

"Beneran jatuh cinta? Sampe kamu ngerasa nggak bisa hidup tanpa dia?"

Ada raut heran di wajah Senja. Tapi cowok itu menjawab pertanyaanku juga. "Nggak," katanya. "Hal kayak gitu tuh nggak masuk akal, Rekta. Secinta apa pun kita sama seseorang, ya kita kudu bisa hidup tanpa dia."

Ada, Ja, batinku. Ya, ada orang yang mencintai sampai seperti itu. Mas Awan. Ah, tapi cowok ini memang bukan Mas Awan. Dia ini Senja.

Aku diam memandangi Senja. Tiba-tiba aku merasa jadi orang paling bodoh. Kalau memang dia tak akan melakukan apa pun buat mempertahankanku, lalu mengapa aku harus bertahan, harus mempertahankan dia? Jadi mungkin memang aku harus melepaskan dia, melepaskan perasaan ini.

Aku menghela napas lalu berdiri. "Laper, Ja. Aku ke kantin dulu," kataku memberi alasan. Padahal sebenarnya aku hanya sedang tak ingin memandanginya selama ini lagi.

"Iya," katanya.

Dengan cepat aku melangkah keluar kelas. Aku bertemu Ei di depan kelas, yang langsung kutarik ke kantin.

"Kamu kenapa, Ta?" tanyanya.

"Kenapa apanya?"

"Dari tadi nggak ada semangatnya gitu," komentar Ei. "Bukannya udah ketemu sama Senja? Harusnya udah ada sedikit semangat, dong!"

Aku diam, melangkah tanpa mengomentarinya. Aku tiba-tiba merasakan dia sedang menatapku. Aku menoleh dan memang Ei sedang menatapku.

"Apa?" tanyaku.

"Kamu ini kenapa, sih?"

"Nggak papa," jawabku. "Tapi, Ei, boleh nggak aku minta tolong sama kamu? Please, jangan sebut tentang Senja lagi, ya?" Aku tersenyum.

Ei kelihatan terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan.

"Maksud kamu apa?"

"Aku udah milih, Ei, Aku nggak mau nyakitin mas Awan lagi. Dia terlalu baik, terlalu baik buat aku sakitin kayak gini."

"Kamu nggak mau nyakitin mas Awan, tapi ngorbanin diri kamu sendiri gitu?"

"Dulu, sebelum kenal sama Senja, aku juga baik-baik aja, kok. Jadi, aku rasa, aku juga akan baik-baik saja."

Dia masih menatapku dengan tatapan tak percaya. "Lalu gimana sama Senja?"

"Dia lebih kuat dari mas Awan, Ei."

"Tapi..."

"Please, Ei," potongku cepat sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Aku melihatnya menghela napas kesal. Tapi, kepalanya akhirnya terangguk juga. Dia mengiyakan permintaanku.

Aku tahu ini akan sakit dan mungkin memakan waktu lama. Tapi suatu hari nanti rasa sakit ini akan hilang juga. Suatu hari nanti, entah kapan.

Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang