Tumpukan PR yang harus kukerjakan sudah menunggu di meja, tapi aku malah sibuk menjelajahi layar laptop. Tak tahu sudah laman ke berapa yang sedang aku baca sekarang. Sejak pulang sekolah tadi, aku hanya menghabiskan waktu menjelajahi internet, mencari apa pun yang ingin aku tahu tentang tuna netra. Apa pun. Aku sudah menahan keinginan ini selama hampir seminggu. Sejak Selasa kemarin, sejak dikejutkan oleh makhluk bernama Langit Senja hari itu, sebenarnya aku sudah penasaran. Sudah ingin tahu apa pun yang berhubungan dengannya.
Awalnya aku masih bisa menahan semuanya. Awalnya kupikir itu hanya keinginan sesaat yang akan hilang dalam beberapa hari. Tapi ini sudah hari keempat sejak hari itu dan rasa penasaranku tidak juga berkurang. Makanya hari ini, mumpung tidak ada aturan wajib belajar, aku habiskan waktuku di depan laptop. PR-PR itu masih bisa menunggu.
Haaaaah, mengapa harus ada manusia bernama Langit Senja? Mengapa dia harus masuk ke kelasku? Mengapa kami harus sekelas? Mengapa dia harus duduk di bangku bagian depan? Mengapa dia harus pintar? Mengapa dia harus tahu semua hal, selalu bisa jawab pertanyaan guru? Kalau tidak seperti itu kan aku tidak harus selalu menengok ke arahnya, tidak harus memperhatikan dia tiap hari. Lebih parahnya, mengapa aku harus peduli? Mengapa jantungku selalu berdenyut tak karuan setiap ada dia?
"Ish, nyebelin!," umpatku pelan, hampir menutup laptop tapi urung saat menemukan profilnya di facebook. "Hah? Dia punya facebook?" tanyaku tak percaya.
Kedua mataku menjelajahi layar laptop yang sedang menampangkan profil facebook-nya. Aaargh... aku bahkan secara tak sadar sudah mengetikkan namanya di kolom pencarian. Duh, aku ini kenapa, sih?
Tapi aku tidak berhenti, terus menjelajahi laman berisi informasi tentangnya itu. Sumpah. Aku belum pernah penasaran pada seseorang sampai seperti ini. Ini pertama kalinya.
"Dek, makan dulu." Mamah memunculkan kepala di pintu kamarku yang setengah terbuka.
Aku terlonjak. "Eh, iya, Mah."
"Kamu buka apa, sih? Kok sampe kayak gitu kagetnya?" Mama melangkah masuk ke dalam kamar, mendatangiku.
Buru-buru aku menutup laptop lalu berdiri.
"Hih, mencurigakan. Yaudah. Ayo makan!" kata mamah yang kemudian mendahuluiku ke ruang makan.
Cepat-cepat aku meninggalkan kamar, menyusul mamah ke ruang makan.
"Wah, kangkung," seruku, berusaha terdengar bersemangat sebelum dengan cepat duduk dan mengambil piring.
"Nggak pergi sama Awan?" Mamah menempatkan nasi ke atas piringnya, tak lagi membahas tentang apa yang kulihat di laptop tadi. Syukurlah.
"Lagi bikin tugas dia, Mah." Aku ikut mengambil nasi di piring dan menyusulnya dengan tumis kangkung.
"Sibuk dia sekarang, ya? Malem minggu masih juga bikin tugas."
"Yaaa gitu lah." Aku kemudian memasukkan suapan pertama ke mulutku.
"Gimana sekolah?"
"Aman terkendali."
"Terus? Terus?"
Aku mengunyah makanan yang sudah ada di dalam mulutku lalu menelannya. "Terus apanya, Mah?"
"Ya ada cerita apa lagi? Masak cuma aman terkendali? Kamu kan belum cerita apa-apa tentang sekolah. Sama sekali."
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku ceritakan ke mamah. Terutama tentang Senja. Ada banyak hal juga yang ingin aku tanyakan. Kurasa, sebagai seorang perawat yang sudah dua puluh tahun bekerja di bidang kesehatan, mamah akan bisa menjawab pertanyaanku. Tapi, aku urung, tak tahu harus memulai dari mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja
RomanceCinta itu bisa ditumbuhkan. Harus ditumbuhkan. Paling tidak, itu yang selama ini aku yakini. Tapi, kemudian aku bertemu dia, manusia yang sejak pertama kali aku melihatnya, yang bahkan tanpa melakukan apa-apa, bisa membuat jantungku berdebar tak ker...