Belum ada anggota kelompok yang datang. Sekolah sangat sepi kalau hari Minggu seperti ini. Tapi bagus juga sih. Aku memang butuh waktu buat sendiri, menikmati ketenangan buat sesaat. Makanya tadi aku menolak sewaktu Mas Awan menawarkan mau menemaniku sampai ada teman yang datang.
Aku duduk di tempat duduk semen yang ada di dekat pintu gerbang lalu memasang earphone dan membuka daftar putarku, memainkannya. Lagu The Rose membuka daftar lagu itu. Aku mulai bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar. Tapi aku menghentikannya waktu ujung tongkat itu mengenai kakiku. Aku mengangkat wajah. Dia berdiri di hadapanku, kedua telapak tangannya saling bertindihan di ujung tongkat satunya.
"Sori," katanya.
"Hai, Ja." Aku melepaskan earphone dari telinga kiriku.
Dia tersenyum. "Rekta," katanya.
"Ada tempat duduk di sebelah kiri kamu, setinggi lutut," kataku sambil bergeser, memberinya tempat duduk.
Senja meraba arah yang aku tunjukkan lalu duduk di sebelahku. Dia melipat tongkatnya, meletakkannya di antara kami.
"Belum ada yang dateng," kataku.
"Oh, biasa." Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Sama seperti laptop-nya, ponsel itu juga dapat berbicara. "Eko," katanya di dekat speaker. Dia kemudian memasang telpon itu di telinganya.
Aku diam mengamatinya. Hah, ternyata aku masih saja merasakan ini, detakan jantung yang luar biasa cepat ini, yang aku tak tahu bagaimana cara menghentikannya.
"Nggak diangkat. Mungkin masih di jalan." Senja kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Aku kira tadi aku udah yang paling telat."
Kami kemudian saling diam. Aku kembali memasang earphone di telinga kiriku dan menikmati lagu yang ada di sana. Aku menoleh pada Senja. Cowok itu mencondongkan tubuhnya ke depan, menyangga kepalanya dengan kedua tangan yang saling bertautan. Kedua matanya terpejam.
Tuhan, aku kangen sekali pada manusia ini. Sudah dua minggu ini aku berusaha keras menjauhi dia, takut rasa ini akan menyakitiku. Tapi ternyata berjauhan dari dia, menjaga jarak dari Senja rasanya jauh lebih menyakitkan. Aku tak bisa berhenti memikirkan dia. Aku tak bisa berhenti mengingat setiap detik yang pernah kuhabiskan bersamanya.
"It's just the same this miss you game," gumamku, mengikuti lagu yang sedang aku dengarkan.
Kedua mata Senja masih terpejam. Tapi dia sedikit menoleh padaku.
"Thinking of my going how to cut the thread and leave it all behind. Looking windward for my comfort. I take each day as it arrives...." Aku tak berhasil menyelesaikan gumamanku atas lagu itu.
Ini benar-benar menyiksa. Aku benar-benar kangen manusia ini. Aku ingin melihat senyumannya lagi, ingin mendengar suara tawanya sesering dulu lagi. Aku ingin memeluk dia erat lagi.
"Hei, udah lama?" Manda yang baru aja menghentikan motor di hadapanku dan Senja langsung menyapa ramah. "Yang lain mana, Ta?" tanyanya sambil melepas helm dan maskernya.
"Baru berdua," jawabku. Aku melepas earphone-ku.
"Itu Damar sama Eko." Manda menunjuk dua orang cowok yang mengendarai motornya, beriringan ke arah kami. Ada Winda di boncengan Damar.
"Sori sori telat," kata Damar. "Jemput ibu negara dulu soalnya."
Winda memukul kepala Damar pelan, membuat cowok itu meringis.
"Sori." Eko ikut menambahi. "Masuk, yuk!"
Kedua cowok itu menaiki motornya, disusul Manda di belakangnya, mendahului aku sama Senja memasuki halaman sekolah dan melapor ke satpam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja
RomanceCinta itu bisa ditumbuhkan. Harus ditumbuhkan. Paling tidak, itu yang selama ini aku yakini. Tapi, kemudian aku bertemu dia, manusia yang sejak pertama kali aku melihatnya, yang bahkan tanpa melakukan apa-apa, bisa membuat jantungku berdebar tak ker...