Senja mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Siang ini, sama seperti minggu-minggu lalu, aku mampir ke rumahnya sebelum ekskul dimulai.
"Nggak ada orang di rumah?" tanyaku.
"Nggak ada."
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala lalu mengikuti Senja memasuki rumah, segera menjatuhkan diri ke atas sofa. Senja meninggalkanku di ruang tamu, masuk ke dalam kamar sebentar, meletakkan tasnya, lalu kembali menemuiku.
"Makan?" tanyanya begitu menghentikan langkah di depanku.
"Kamu aja. Aku masih kenyang, Ja. Tadi pas istirahat nemenin Ei makan."
"Assalamu'alaikuuuuum."
"Wa'alaikumsalam." Aku dan Senja kompak menjawab salam itu.
Wajah ceria Arik mendadak hilang sewaktu kedua mata kami beradu. Arik segera menundukkan pandangan ke arah sepatu yang sedang berusah dia lepaskan, tapi kentara sekali bahwa dia sengaja memalingkan pandangan dariku.
"Tumben udah pulang?" tanya Senja.
"Modul bimbel ketinggalan." Arik menjawab dengan dingin. "Udah makan, Ja?" Arik menghentikan langkah di hadapanku.
"Belum," jawab Senja enteng.
Arik langsung melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. "Jam segini belum makan?" Nada suaranya naik.
"Biasa aja, sih!" Senja sepertinya tidak menyukai cara Arik berbicara.
"Kamu nih kebiasaan, deh!" Arik mengomel sambil memasuki kamar yang ada di sebelah kamar Senja. "Kamu kan tahu kalau kamu tuh nggak boleh telat makan. Nanti..."
"Iya. Aku tahu." Senja dengan cepat memotong kata-kata Arik dengan cepat.
Awkward. Sumpah. Aku sekarang berada dalam posisi paling canggung dalam hidupku. Aku hanya diam, membuka-buka ponsel, pura-pura tidak ada di sini dan baru berani mengangkat wajah dari layar ponsel sewaktu kedua mataku menatap sepasang kaki berdiri di hadapanku. Arik. Kedua tangannya sibuk merapikan rambut, membuat cepol dengan sembarangan. Kedua matanya menatap tak suka ke arah Senja.
"Kamu pernah ketemu Rekta kan, Rik?" tanya Senja.
"Hmm.. Ya." Arik menjawab sambil lalu. Dia segera masuk ke bagian belakang rumah bahkan tanpa menyapaku.
Tak lama dia kembali ke ruang tamu. "Cek dulu," katanya dengan ketus sambil melangkah ke dalam kamar Senja.
Senja menghela napas. "Bentar ya, Rekta," pamitnya sebelum mengikuti Arik ke dalam kamar.
"Hobi kok bikin orang khawatir."
Aku masih bisa mendengar omelan Arik dari luar kamar.
"Aku nggak pernah minta kamu buat khawatir," sahut Senja.
Manusia itu.
"Ya kamu emang nggak minta, tapi kelakuanmu itu selalu bikin orang khawatir!"
"Ya salah sendiri."
Sudah. Arik tak mengomel lagi. Tak juga Senja. Tak lama Arik sudah keluar dari kamar, melewatiku seolah aku tak terlihat, segera masuk ke ruang makan. Aku masih duduk di sofa. Membeku. Hanya bisa mengekorkan pandangan ke arah Arik yang baru saja menghilang dari ruang tamu.
Heran. Iya, aku memang baru sekali bertemu dengannya. Hanya sekali, sewaktu di toko buku dulu itu, setelah itu walaupun aku sering main ke rumah Senja sebelum ekskul, tidak pernah sekali pun aku bertemu dengannya. Tapi, paling tidak, setelah pertemuan pertama yang lumayan menyenangkan itu, apalagi setelah meminjamkan novel yang kujanjikan padanya, seharusnya aku boleh kan mengharapkan pertemuan yang sama menyenangkannya dengan hari itu? Bukannya tatapan mata yang seperti mau membunuhku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja
RomanceCinta itu bisa ditumbuhkan. Harus ditumbuhkan. Paling tidak, itu yang selama ini aku yakini. Tapi, kemudian aku bertemu dia, manusia yang sejak pertama kali aku melihatnya, yang bahkan tanpa melakukan apa-apa, bisa membuat jantungku berdebar tak ker...