Masih tak ada kabar dari Senja. Sejak pulang dari pergi bersamaku dua hari yang lalu, ponselnya tidak aktif. Dia juga tadi tidak ke sekolah. Entah kenapa.
"Mau jalan?" tanya mamah.
Aku meletakkan ponselku, menoleh padanya. "Nggak, mah."
"Oh, kirain lagi janjian mau jalan. Dari tadi liatin hape terus."
"Hehehe.." Aku berdiri, mendatangi mamah yang sedang sibuk menyelesaikan rajutannya. "Bikin apa, mah?" tanyaku.
"Ini, ada temen mamah yang minta dibikinin baju buat bayinya. Bagus nggak?" Mamah memamerkan hasil rajutan pakaian bayi cewek yang sudah hampir jadi.
"Bagus bangeeet."
"Oiya. Ngomong-ngomong, tadi mamah liat ada dress oranye di jemuran. Baju baru?" Mamah bertanya tanpa menghentikan rajutannya.
Mendadak aku salah tingkah. "Eh, anu... Itu..."
Mamah menoleh padaku, menghentikan gerakan kedua tangannya. "Kamu beli baju baru?"
Aku menggeleng.
"Terus?"
"Dikasih."
"Oh.. seleranya Awan bagus juga." Mamah kembali melanjutkan merajut.
"Senja." Bego!
Mamah tersenyum."Ooooooh..."
Mukaku pasti merah padam sekarang. Rasanya sudah panas banget. Tidak tahu kenapa, aku merasa maluuuu sekali. Seharusnya aku tadi tak usah bilang saja. Biar mamah tetep mengira dress itu dari mas Awan. Untungnya, ponsel yang kuletakkan di sofa depan televisi berbunyi, jadi aku punya alasan buat berdiri dan buru-buru meraihnya, membawanya ke kamar di lantai dua.
"Apa, Ei?" tanyaku begitu menerima panggilan.
"Jalan yuuuuuk!!! Boseeeeeen. Sumpah. Di rumah nggak ada orang."
"Ke mana?"
"Ya jalan aja. Ngemol. Sekalian nyari sepatu."
"Ntar, ya? Aku bilang Mas Awan dulu."
"Oke." Ei mematikan sambungan.
Aku kemudian memanggil nomor Mas Awan. Tak sampai tiga nada sambung, telponku sudah diangkatnya.
"Ya, Dek?" tanyanya. Ada suara lumayan ramai di belakangnya.
"Mas, aku mau keluar sama Ei."
"Ke mana?"
"Nemenin beli sepatu aja di mall."
"Mall mana?"
"Belum tahu. Tapi kayaknya Solo Square."
"Berdua aja?"
"Iya."
"Yaudah. Ati-ati. Pulangnya jangan malem-malem."
"Iya."
Aku lantas memutuskan panggilan dan dengan cepat mengetikkan pesan singkat di BBM.
Me: Ya udah. Aku ke rumah. Mumpung motornya mamah nganggur.Ei: Aseeek. Aku tunggu
Ponsel itu sudah hampir kulempar ke atas kasur. Aku urung, ganti membuka aplikasi pesan singkat dan mengecek laporan pengiriman pesan terakhirku pada Senja dua hari yang lalu. Pesan itu terkirim. Sebelum nomornya tidak bisa dihubungi, pesan singkat itu memang sudah terkirim. Dan biasanya, jika memang tidak ada apa-apa, cowok itu pasti menghubungiku. Tapi ini....Aku menekan tombol panggilan di nomor Senja. Nomor itu masih aja tak aktif. Hah, menyebalkan. Padahal aku kangen sekali padanya.
Aku menghela napas, memasukkan ponsel ke dalam tas kecil yang sudah berisi dompet lalu dengan cepat mengganti pakaian, dan bergegas menuruni tangga.
"Mah, boleh pinjem motor, kan? Ei ngajakin ngemol."
"Pulangnya jangan malem-malem tapi."
"Ay ay, Captain!"Aku mencium pipi mamah, membiarkannya mencium pipiku, lalu berjalan cepat keluar rumah setelah menyambar kunci motor dari tempat kunci.
Langit agak mendung sore ini. Tapi semoga tidak hujan. Paling tidak, bagian barat kota tidak hujan. Aku paling malas kalau harus keluar waktu hujan. Ribet.
"Aku sayaaang banget sama kamu deh, Taaaaa..." Ei menyambutku dengan senyuman super lebar. Helm bergambar spongebob sudah nangkring di kepalanya.
"Kalau ada maunya aja," cibirku.
Senyuman cewek itu jadi semakin lebar. Dia lantas naik ke boncenganku tanpa mengatakan apa-apa lagi sampai aku memarkirkan motor di tempat parkir motor Solo Square yang tak berbeda dari biasanya: penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja
RomanceCinta itu bisa ditumbuhkan. Harus ditumbuhkan. Paling tidak, itu yang selama ini aku yakini. Tapi, kemudian aku bertemu dia, manusia yang sejak pertama kali aku melihatnya, yang bahkan tanpa melakukan apa-apa, bisa membuat jantungku berdebar tak ker...