Lima Belas

161 11 0
                                    

Getaran dari ponsel yang kusimpan di saku rok membuatku bergegas merogohkan tangan dan mengeluarkan benda itu dari sana.

"Udah sampe rumah?" tanya Mas Awan begitu aku menerima panggilannya.

"Belum," kataku.

"Ayah belum jemput?" Ada nada kekhawatiran di dalam suara.

"Belum. Ayah jam dua baru bisa dari rumah sakit."

"Kamu sama siapa di sekolah?"

"Sendiri," jawabku. Paling tidak, bukan aku yang mengatakan bahwa aku masih di sekolah.

Ada helaan napas di sana. "Ya udah. Ntar kalau udah nyampe rumah kasih kabar, ya?"

"Iya."

"I love you."

Aku menghela napas. "Me, too," jawabku sebelum mematikan sambungan dan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku rok.

Sekali lagi aku mengamati wajahku di cermin. Kedua mataku masih merah sisa tangis barusan, benar-benar tidak bisa disembunyikan. Berulang kali aku membasuh wajah, bekas tangis itu masih saja ada di sana. Ah, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Aku akhirnya keluar dari kamar mandi.

Umi menyambutku di luar kamar mandi. Beliau tersenyum.

"Maafin Umi ya, Rekta?" katanya. Beliau sudah bersiap memelukku tapi aku berusaha menghindar. Aku tahu, kalau aku membiarkan umi memelukku, sudah pasti tangisku bakalan pecah lagi. "Ya udah. Umi ngerti, kok," kata umi sambil tersenyum.

Aku menarik napas panjang sebelum tersenyum lalu melangkah mendahului umi ke ruang tamu. Ponselku kembali bergetar, panggilan dari ayah. Aku memang sempat mengirimkan pesan singkat padanya waktu mau ke rumah Senja tadi.

"Ya, Ayah?" sapaku begitu menekan tombol terima.

"Ayah baru mau keluar dari rumah sakit. Rumahnya di sebelah mana? Ayah jemput ke situ aja."

"Pertigaan dekat sekolah itu ke selatan, nanti pertigaan kedua belok kanan. Rumahnya nomor tiga, kanan jalan."

"Ya udah. Tunggu di luar ya?"

"Iya." Aku kemudian mematikan sambungan.

"Sudah dijemput?" Senja berdiri di pintu kamarnya.

"Ayah masih dari rumah sakit. Baru mau ke sini." Aku memakai jaket, memasukkan ponsel ke sakunya, lalu menggendong ransel. "Aku mau nunggu ayah di teras aja."

"Ya udah. Aku temenin." Senja berjalan ke pintu, mendahuluiku, lalu duduk di kursi teras yang paling dekat dengan pintu.

Aku menyusulnya, duduk di kursi kosong sebelahnya, terpisah oleh meja kecil. Yang kami lakukan berikutnya adalah diam. Aku benar-benar sudah tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Rasanya jadi rikuh banget, jadi aneh banget. Cowok itu juga cuma diam. Dia tidak mengajakku mengobrol, tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya semua yang perlu kami bicarakan sudah benar-benar kami bicarakan. Semuanya. Sepertinya semua masalah di antara kami benar-benar sudah selesai.

"Rekta?" Senja menoleh padaku, membuatku buru-buru membuang muka. "Jemputanmu?" tanya Senja.

"Eh, iya." Aku bergegas berdiri. "Aku pulang dulu, Ja," kataku. Aku melihat ayah melepas helm, lalu berjalan mendatangi kami.

Senja berdiri, tahu ayah mendatangi kami.

"Ayah, ini Senja." Aku memperkenalkan keduanya.

"Pak," sapa Senja seraya mengulurkan tangan yang dengan cepat disambut ayah. Aku bisa melihat keterkejutan di wajah ayah waktu beliau tahu Senja tidak bisa melihat.

Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang