Tre

11.1K 1.3K 16
                                    

"Semuanya stand by!" seru seseorang dari arah meja monitor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Semuanya stand by!" seru seseorang dari arah meja monitor.

Seketika itu pula semua orang seolah segera menempati posisi masing-masing, karena kesibukan yang tadi amat terasa mendadak berhenti.

"Kamera! Lampu," aba-abanya lagi.

Lampu-lampu besar menyala. Mata Amaya langsung menyipit demi menghalau cahaya lampu yang menyinari dirinya.

"Kamu bisa duduk sekarang, Amaya," ujar Jacob sambil menarik kursi.

Amaya mengangguk dan duduk. Dia memperbaiki posisi kursinya, lalu memandang sekeliling. Perempuan itu masih merasa canggung berada di depan kamera dan menjadi pusat perhatian semua orang.

"Santai saja, Amaya. Kita akan bersenang-senang sebentar lagi," ujar sang sutradara yang kini juga tak dapat dilihat Amaya akibat cahaya lampu yang terlalu terang menyinari dirinya. "Kamera sudah on, dan dia akan merekam segalanya, sampai nanti lampu-lampu dimatikan. Setelah shooting selesai kamu bisa melihat kembali rekaman adegannya, dan meminta beberapa bagian di hapus jika dirasa sangat menganggu privasimu."

"Oke," sahut Amaya ringan.

"Kamu terlihat luar biasa, Amaya," puji Shulan.

Sayangnya, Amaya tak mampu menemukan keberadaan Shulan di balik cahaya lampu yang benderang itu. Amaya melempar senyum.

"Ya, kamu terlihat luar biasa, Amaya," sambung sebuah suara.

Mata Amaya terbelak ketika melihat sosok pria yang muncul dari balik lampu. Mulutnya seolah terkunci, dan jantungnya berhenti berdetak.

Bercandaan macam apa yang sedang dimainkan Shulan kali ini, pikirnya.

Pria yang membuat Amaya seperti tersambar petir itu menarik kursi dan dengan santai duduk di hadapannya.

"Hai, Amaya. Lama tidak bersua. Apa kabar?"

"B—baik. Apa kabar, Petra?" Amaya tergagap.

"English, please," tegur Shulan dari balik kamera.

Terdengar beberapa suara tawa dari belakang kamera.

"Sorry," ujar Amaya kikuk.

Amaya memandang kembali pria yang ada di hadapannya. Degup jantungnya belum juga stabil saking terkejutnya. Pertemuan dengan Petra di tempat ini sama sekali tidak terduga. Setahu Amaya, pria ini tidak tinggal di kota yang sama, bahkan tidak juga di negara bagian yang sama. Pria dengan mata hazel indah itu tinggal di kota yang berjarak 2.000 mil darinya. Lagipula, sepanjang yang diingatnya, mantan semasa uni-nya itu tidak mau menemuinya lagi setelah mereka berpisah empat tahun lalu.

"Oke, boleh perkenalkan nama kalian masing-masing?"

Amaya tahu itu aba-aba untuk menatap kamera dan memperkenalkan diri sebelum permainan dimulai. Dalam permainan lain yang pernah dia mainkan bersama Slash, perkenalan seperti ini memang selalu dilakukan.

"Saya, Amaya Harding," ujarnya seraya menatap kamera.

"Saya, Petra Adhirajasa," sambung sang mantan.

Amaya mengalihkan pandangannya pada Petra. Tatap mereka bertemu, dan semua rasa, yang dikira Amaya telah hilang, perlahan muncul kembali. Sikap dingin Perta setelah mereka berpisah, rasa sakit yang dulu Amaya rasakan, bahkan tahun-tahun yang telah berlalu, ternyata belum cukup untuk membuat hatinya memahami bahwa mereka tidak ditakdirkan untuk bersama. Tanpa sadar Amaya menggigit bibirnya dengan cemas.

"Dan kalian adalah ..." Sutradara segera mengisi kesunyian yang terjadi selama beberapa detik itu.

"Kami pernah berkencan saat di Uni dulu," jawab Petra tanpa melepaskan pandangannya dari Amaya.

Mata itu masih sama intensnya seperti yang diingat Amaya. Tajam. Seolah mampu masuk ke dalam diri Amaya dan membaca segala hal yang sedang berusaha dia sembunyikan. Namun, keteduhan yang juga terpancar dari sorot itu selalu mampu membuat perasaannya lebih tenang.

"Should we toast before we start?" tawar Perta.

"Ya, aku butuh minuman," jawab Amaya yang dengan segera menuangkan tequilla ke sloki.

Ketegangan Amaya membuatnya menuang terlalu banyak, untung saja kecepatan tangan Petra menyelamatkan dirinya dari bencana. Pria itu menangkup ujung botol, dan mengambil alih dengan sangat lembut. Tak ada decak atau seruan dari balik kamera, seolah tak ada yang melihat kegugupan Amaya dan segalanya baik-baik saja.

"Untuk pertemuan kembali," ujar Petra sambil mengangkat gelasnya.

"Untuk semuanya yang sudah dan akan terjadi," timpal Amaya.

Keduanya mengangguk, dan mengadu sloki mereka hingga berdenting, sebelum menenggak habis cairan getir itu.

Truth or Date [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang