"Aku tidak semabuk itu. Aku masih ingat dengan detail apa saja yang terjadi di pernikahan Logan. Coba tanya saja pada Shulan," tukas Amaya. "Benarkan yang kubilang, Shulan?"
"Sedikit banyak memang itu yang terjadi," ujar Shulan yang tidak nampak batang hidungnya.
Kondisi yang setengah mabuk membuat lampu studio itu semakin tidak bersahabat dengan mata Amaya.
"Nah! Itu saksi matanya."
"Aku tidak membuang muka saat melihatmu, aku diajak bicara oleh Hugo. Aku juga sama sekali tidak tahu menahu soal Fiona menghampirimu."
"Jangan menyangkal," tuduh Amaya.
"Ya, aku harus mengakui bahwa aku memang tidak menyapamu saat kita sedang menunggu mobil. Rasanya sangat canggung bertemu denganmu lagi di pernikahan Logan, semua orang di sana mengenal kita sebagai sepasang kekasih sejak kuliah, namun alih-alih datang bersama, kamu malah datang bersama Shulan, sedangkan aku bersama Fiona."
"Tunanganmu sangat cantik. Seingatku malam itu dia yang mendapat lemparan bunga pengantin, kan? Sayang kalian tidak jadi menikah." Amaya menepuk-nepuk tangan Petra dengan prihatin.
"Kamu benar-benar menyayangkan kegagalan pertunanganku?"
"Ya, kalau saja pertunangan kalian tidak batal, seharusnya permainan ini akan jauh lebih mudah jika kumainkan dengan mantanku yang lain," jawab Amaya jujur. "Setelah kupikir-pikir, rasanya memang tidak mungkin kamu menemuiku jika kalian masih bersama. Kamu tahu, itu hanya akan memperumit keadaan kita."
"Oh ya, dia benar-benar mabuk," ujar Shulan dari belakang kamera.
"Tidak terlalu," sahut Amaya.
Perempuan itu tidak berbohong. Dia tahu wajahnya memerah karena bisa merasakan panasnya, dengung yang memekakkan juga begitu mengganggu kepalanya, tapi dia merasa belum terlalu mabuk karena ingatannya masih sangat jelas. Sakit di hatinya setiap kali nama mantan tunangan Petra keluar dari bibir pria itu juga menunjukkan bahwa dirinya masih punya sisa kesadaran. Seharusnya pilu itu tidak terasa lagi saat dirinya mabuk, kan?
"Masih ada beberapa kartu lagi," ujar Amaya sambil menghitung sisa kartu di meja. "Tiga, lebih tepatnya. Mari kita lanjutkan."
Diambilnya sebuah kartu dari tumpukkan, kemudian dia mengerjap, berusaha memfokuskan pandangan matanya yang mulai kabur.
"Apa yang paling kamu rindukan dari hubungan kita?" tanya Amaya seraya meletakkan kartu di atas tumpukan yang sudah dijawab. "Hmm... itu pertanyaan yang cukup sulit."
"Tolong jangan pilih minum lagi," pinta Petra.
"Tidak. Aku akan menjawabnya, tapi kamu yang duluan."
Tatapan intens pria itu membuat Amaya ingin segera kabur dari tempat ini. Entah sudah berapa menit yang berlalu sejak sapaan pertama mereka, rasanya masih sama canggungnya bagi Amaya. Bahkan lebih buruk lagi karena kali ini dirinya mulai mabuk, padahal bahkan saat di universitas dulu mereka jarang sekali berpesta dan mabuk-mabukan.
"Aku rindu masakanmu. Amaya bisa memasak." Petra menatap kamera saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Semua orang juga bisa memasak, Petra. Tergantung menu apa yang kamu bicarakan," ujar Amaya.
"Iya, aku juga bisa kalau hanya ramen atau bbq, tapi kamu benar-benar ahli di dapur."
"Sebuah berkat terlahir sebagai separuh Indonesia, aku dikenalkan dengan dapur dan segala urusan di dalamnya sejak kecil. Mama dan nenekku masih berpendapat bahwa perempuan harus bisa memasak, jadi ya memang aku cukup bisa memasak."
"Masakan Indonesiamu rasanya luar biasa," puji Petra.
"Kamu satu dari sedikit orang yang beruntung karena pernah mencicipinya. Beberapa tahun terakhir aku sudah jarang masak masakan Indonesia. Terlebih karena Mama selalu menawari masakannya hampir setiap hari."
"Oh, aku juga sangat merindukam rendang buatan Mama," ujar Petra.
"Boleh aku jawab pertanyaannya?" tanya Amaya berusaha mengalihkan pembicaraan. Jauh di dalam hati, dia takut pembicaraan Petra tentang masakannya dan masakan Mama akan membuat pria itu punya ide gila untuk bertemu dengan Mama. "Mungkin satu-satunya yang aku rindukan dari hubungan kita adalah perbincangan aneh di saat-saat paling tidak terduga."
"Di tengah malam buta membahas kenapa Hercules dan Megara tidak termasuk dalam katagori prince and princess Disney?" tebak Petra.
"Iya, dan banyak hal lainnya yang sering kita bicarakan di waktu-waktu yang aneh itu."
"Setelah aku pikir-pikir, aku juga merindukan pillow talk kita yang aneh itu," aku Petra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Date [Terbit]
Romance[SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT KATA DEPAN] RUNNER UP Author Rising 2020. -- Amaya tak pernah menyangka bahwa menyetujui permintaan Shulan untuk mengisi acara untuk channel YouTube tempat sahabatnya itu bekerja akan mempertemukan kembali dirinya de...