Musim Dingin, 2015.
"Amaya."
Amaya, yang sedang meletakan mangkuk berisi buah, terlonjak saat mendengar suara parau yang menyebut namanya itu. Padahal dia sudah berusaha melangkah sepelan mungkin agar tidak mengganggu istirahat sang ayah.
"Papa tidak tidur?" tanya Amaya seraya mendekat ke pembaringan dan duduk di sisi ayahnya. Diperbaikinya posisi selimut agar menutupi dada Papa dengan sempurna. "
Bukannya menjawab pertanyaan Amaya, Papa justru balik bertanya, "Bagaimana kondisimu hari ini, Amaya?"
"Aku baik-baik saja, Pa. Sudahlah, Papa istirahat saja, tidak usaha terlalu memikirkanku," ujar Amaya.
"Bagaimana mungkin Papa bisa berhenti memikirkan kamu? Kamu itu anak perempuan yang paling Papa sayang," ujarnya.
Amaya tersenyum. Kalimat itu adalah candaan yang selalu digunakan Papa sejak dia kecil. Menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarga ini, dengan hanya memiliki satu kakak laki-laki membuat Amaya menjadi anak perempuan yang paling disayang, sama seperti Adam yang menjadi anak laki-laki kesayangan Papa dan Mama.
"Kamu sudah coba hubungi Petra lagi?" tanya Papa.
Amaya menggeleng. Mendengar nama itu disebut Papa ternyata lebih menyakitkan dibanding mengingat-ingat hubungan yang baru kandas beberapa bulan lalu.
"Dia tidak mau menerima teleponku," jawab Amaya. "Mungkin memang sudah seharusnya begini, Pa. Maaf."
Papa mengangkat tangannya untuk mengusap kepala Amaya. Pandangannya meneduhkan meski justru semakin menghancurkan hati perempuan itu. Belum pernah sekalipun dalam hidupnya, Amaya menyusahkan orang tuanya. Selama dua puluh satu tahun terakhir, Amaya selalu menjadi anak yang bisa dibanggakan, tapi sebuah kebodohan yang disusul dengan kebodohan lainnya menorehkan luka pada seluruh keluarga. Dan kini, Amaya tidak punya cukup kekuatan untuk mengubah apapun.
"Semuanya akan baik-baik saja, Maya." Papa menepuk-nepuk tangan Amaya seolah berusaha menenangkannya. "Jika memang sudah ditakdirkan seperti ini, maka kita akan jalani bersama. Kamu jangan takut, ada Papa, Mama dan Adam yang akan selalu ada di sisimu."
Papa terbatuk setelah kenyelesaikan kalimatnya, dengan cepat Amaya meraih gelas di nakas dan memberikan minum pada ayahnya.
"Sudahlah, lebih baik Papa istirahat dulu, nanti kita ngobrol lagi," ujar Amaya. "Kesehatan Papa lebih penting. Jangan khawatirkan aku.
Amaya bergerak untuk beranjak dari kasur, tapi gengaman tangan Papa menahannya.
"Kamu tahu, seorang ayah hanya punya dua tugas di dunia ini. Memastikan kebutuhan anak-anaknya tercukupi dan melindungi keluarganya," lirih Papa. "Jangan minta Papa untuk berhenti mengkhawatirkan kamu. Kamu tetap gadis kecil Papa, sebesar apapun kamu sekarang. Melihat kamu bersedih membuat Papa merasa gagal menjadi ayah."
"Tapi semua yang terjadi padaku bukan kesalahan Papa."
"Papa seharusnya bisa membantumu melewati semua ini, bukan malah sakit dan semakin menyusahkanmu."
"Aku tidak merasa Papa menyusahkan. Kami semua merawat Papa karena kami menyayangi Papa."
"Papa tahu. Tetap saja sangat sulit harus terus berbaring dan tidak bisa melakukan apa-apa di saat kamu membutuhkan Papa."
"Jangan begitu, Pa. Aku membuat kesalahanku sendiri, dan aku akan bertanggung jawab terhadap apa yang sudah kulakukan, meski sendirian," ujar Amaya sambil menahan air matanya.
Papa tersenyum. "Semua manusia pernah berbuat salah, Amaya. Dan kamu tidak akan pernah sendirian."
Hati Amaya remuk. Bukan karena kesalahan fatal yang telah dilakukannya, bukan karena tanggung jawab yang kini harus dijalaninya, bukan pula karena Petra yang menghilang seperti ditelan bumi, tapi karena melihat sorot kesedihan di mata Papa. Begitu berat rasanya melihat Papa yang sakit, dan kini hanya bisa terbaring di tempat tidurnya sepanjang hari, masih harus memikirkan tentang dirinya. Seandainya bisa, Amaya rela menukar apa saja demi menghapus kesedihan Papa. Amaya mau melakukan apa saja agar Papa bisa memulihkan diri dengan lebih tenang dan tak perlu mengkhawatirkan dirinya dan segala kebodohan yang telah dia perbuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Date [Terbit]
Romance[SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT KATA DEPAN] RUNNER UP Author Rising 2020. -- Amaya tak pernah menyangka bahwa menyetujui permintaan Shulan untuk mengisi acara untuk channel YouTube tempat sahabatnya itu bekerja akan mempertemukan kembali dirinya de...