Sette

9.7K 1.1K 18
                                    

Penghujung Musim Panas, 2016

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penghujung Musim Panas, 2016.

"Kamu yakin belum ingin membuka diri untuk orang lain? Ini sudah hampir setahun, dan Petra sudah ganti pacar tiga kali!" cerocos Shulan yang tiba-tiba muncul di pintu apartemen Amaya.

Amaya pikir sahabatnya itu sedang sibuk bekerja, ternyata malah nongol siang-siang begini. Shulan mwmang setengah jam lalu menelepon untuk menanyakan keberadaannya, tapi mereka tidak sempat ngobrol banyak via telepon karena Amaya sedang sibuk merapikan tempat tinggalnya yang seperti kapal pecah.

"Shhttt!" protes Amaya sambil melirik ke arah kamar.

"Sorry," ujarnya merendahkan suaranya. "Tapi serius deh, Amaya. Ini sudah waktunya kamu membuka diri, cari pasangan yang baik untukmu, daripada terus berdiam diri dalam ingatan tentang cowok itu. Aku muak melihat fotonya bersama kekasih terbarunya di lini masa media sosialku."

"Biarlah, dia sudah dewasa, itu bukan urusanmu, dan sama sekali bukan urusanku."

Shulan membelak. "Serius kamu bisa sesantai ini? Petra kan ..."

"Mantanku," potong Amaya. "Seperti yang kamu bilang tadi, sudah hampir setahun yang lalu aku dan dia putus. Kalau sekarang dia punya pacar, ya biarkan saja. Lagipula kita sama-sama tahu kalau dia tidak ingin berhubungan lagi denganku."

Secara reflek Amaya menatap ke arah kamar. Tempat tinggalnya memang seperti dihantui oleh ingatan keberadaan Petra. Mantan kekasihnya itu beberapa kali menginap di sini sebelum mereka putus, tapi Amaya masih memilih tetap tinggal di apatermen ini. Paling tidak hingga dia mampu membeli apartemen yang lebih besar.

"Apa kamu tidak lihat foto-fotonya? Aku saja yang bukan mantannya merasa jengah. Waktu bersamamu, dia tidak pernah seberlebihan itu mempublikasikan hubungan kalian."

"Aku tidak melihat apapun. Sudah lama aku memblokir sosial medianya," aku Amaya.

"Serius? Kamu memblokirnya? Kapan? Kenapa?" Shulan memberondong lebih banyak pertanyaan lagi untik Amaya.

Alih-alih menjawab pertanyaan sahabatnya, Amaya justru beranjak menuju dapur, mengisi panci, lalu meletakannya ke kompor. Dikeluarkannya bahan-bahan makanan dari dalam kulkas, kemudian dia mulai memotong dan mencincang sayur-sayuran.

"Sekarang kamu rajin masak, ya," ledek Shulan.

"Pengiritan. Kamu tahu sendiri kalau pengeluaranku sedang banyak-banyaknya belakangan ini," sahut Amaya santai.

"Kenapa sih kamu tidak pindah saja dengan Adam?"

"Dan menjadi adik yang menyedihkan untuk pasangan pengantin baru itu? Tidak, terima kasih."

"Oh, come on! Tidak ada yang menganggapmu menyedihkan. Kamu selalu bisa mengatasi segala hal dengan baik. Coba lihat dirimu dicermin, seorang pebisnis, kamu bekerja untuk brand-mu sendiri. Bagian mana yang menyedihkan dari kondisi itu?"

Amaya hanya menghela napas seraya melempar senyum singkat. Memang benar apa yang dikatakan oleh Shulan, saat ini dia sedang mengembangkan sebuah bisnis perhiasan kecil-kecilan. Berbekal ilmu desain yang didapatnya dari uni Amaya mendesain perhiasannya sendiri, dan berkat dukungan koneksi yang dimiliki oleh kedua orangtuanya, dia bisa mendapatkan bahan baku dengan mudah, menemukan beberapa pengrajin yang kini bekerja sama dengannya, dan memperluas marketnya. Namun, meski dengan segala kemudahan yang dia miliki tidak serta-merta membuatnya bisa bersantai, bekerja keras adalah hobi barunya saat ini. Amaya sudah sangat bersyukur jika bisa meluruskan pingangnya sebelum jam 11 malam, dan di hari-hari tertentu dia juga akan dengan senang hati mendapat kesempatan bangun cukup siang untuk membayar semua lelahnya.

Menjadi pebisnis dan memiliki brand perhiasan sendiri memang tidak pernah ada dalam angan-angan masa muda Amaya. Kehidupan yang memaksanya memilih jalan itu, dan setengah mati dia berupaya untuk dapat menjalani hari demi hari yang tak pernah mudah ini. Lelah yang dirasakannya, waktu tidur yang minim, dan kondisi finansial yang benar-benar membuatnya harus ikat pinggang erat-erat, adalah proses yang dia harap akan menciptakan masa depannya sendiri. Urusan laki-laki bisa menunggu, saat ini Amaya hanya ingin fokus dengan apa yang menjadi kewajibannya. Seberat apapun beban yang ditanggungnya, sebesar apapun bayaran yang harus dilunasinya, yang terpenting adalah dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Truth or Date [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang