Bawa Aku Pergi. Part. 00.00

3.2K 179 11
                                    

10 Agutus 2011

"Ku mohon lepaskan aku." Jeritan dari sosok wanita itu menggema memenuhi lorong hotel yang sepi.

Ia terus menggerang kesakitan dengan terus mencekal tangan suaminya yang mencengkram erat rambutnya sembari menyeret dirinya. Di sepanjang lorong wanita itu pun tak henti-hentinya memohon ampunan, namun suaminya seolah tuli. Pria itu tetap menyeretnya tanpa peduli jeritan penuh penderitaan yang keluar dari mulut sang istri.

Sesampainya di depan kamar mereka, pria itu membuka pintu dengan kasar. Dibantingnya tubuh sang istri begitu saja. Kemudian ia berkacak pinggang. Menatap rendah sosok yang tengah meringkuk kesakitan di hadapannya.

"Gerald, ampun. Maafkan aku ... jangan hukum aku." Tangis wanita tadi ketakutan saat melihat pria bernama Gerald itu tengah melepaskan ikat pinggangnya.

Tanpa pikir panjang ikat pinggang itu mendarat dengan kencang di punggung wanita itu. Tak cukup sekali dua kali. Gerlad terus mencambuki dan memukul wanita di hadapannya dengan bengisnya.

"Cih, mengapa baru sekarang kau memohon ampun, hah!" Bentak Gerald terus menghujami Erlinda dengan siksaan.

Mengabaikan segala jeritan dan permohonan maaf yang telah menggema memenuhi kamar itu. Tak peduli meski sosok itu kini telah terbaring lemah di lantai dingin tersebut. Ia terus menyiksanya hingga perasaan puas memenuhi hatinya.

Sedang dari sudut pandang lain. Erlinda berusaha mempertahankan posisinya yang dalam keadaan meringkuk. Biarlah punggungnya yang jadi pelampiasaan amarah sang suami. Asalkan bukan bayi yang dikandungnya.

"Kasihanilah aku Gerald!" Jeritnya sangat tersiksa.

Ia merasa putus asa dengan semua yang ia lalui malam ini. Batin dan fisiknya telah benar-benar lelah.

Mengapa semua berusaha menjatuhkannya?

Apa salahnya hingga ia harus mendapatkan semua ini?

Apakah takdir memang tak mengijinkannya bahagia?

"Hentikan ... kumohon, Gerald."

Untuk kesekian kalinya Erlinda terus memohon ampun. Namun, seolah tuli Gerald tak mempedulikannya. Ia masih terus menyakitinya.

"Terus siksa aku! Lalu biarkan aku mati setelahnya!" Jeritnya pasrah akan hidupnya. Akan lebih baik jika dirinya mati saat ini juga. Paling tidak rasa sakitnya akan berhenti ketika ia tiada.

"Argh!" Gerald membanting ikat pinggangnya ke sembarang arah.

Tak merasakan pecutan panas yang sejak tadi mencium kulitnya. Erlinda mendongak pelan menatap sang dalang utama dalam penderitaannya.

"Mengapa berhenti? Ayo pecut aku, tendang aku, dan biarkan aku mati!"

Hati Gerald berdesir aneh mendengar hal itu. Namun, ia memilih acuh. Persetan dengan rasa kasihan, ia hanya tak ingin mendapatkan masalah apabila wanita di hadapannya itu mati.

Situasi saat ini sedang sangat rumit. Beberapa awak media terus saja menguntitnya sejak beberapa bulan yang lalu. Berbahaya jika sampai mereka mengetahui tabiatnya terhadap Erlinda.

"Di mana letak otakmu itu, hah?" Cibir Gerald mencengkram kedua bahu istrinya yang bahkan sudah tak sanggup untuk duduk tegap.

"Lalu di mana letak hatimu?!" Balas Erlinda tak kalah sengit berhasil membuat Gerald terkejut.

Istri yang selama ini selalu pasrah dan menurutinya kini berani membalas ucapannya.

"Hah, sepertinya kau sudah gila."

Mendengar cemoohan itu membuat Erlinda tertawa getir. "Memangnya manusia mana yang tidak akan gila jika disiksa?"

"Cepat bunuh aku!" Desak Erlinda terlalu putus asa.

Bersamaan dengan itu pintu dibuka dari luar kamar. Menampakkan sesosok wanita sexy bergaun merah.

"Sayang. Kenapa lama sekali? Apa kamu mulai menyukainya, huh?" ucap wanita itu menghampiri Gerald.

Gerald berdecih jijik. "Ayo kita keluar. Tidak baik satu ruangan dengan kuman sepertinya," ajak Gerald menggandeng tangan wanita bergaun merah itu lembut.

Meninggalkan Erlinda yang sesenggukan menatap kepergian dua onggok sampah itu. Menjijikan. Batinnya terus berujar melihat tingkah tak tahu malu mereka yang terlihat bangga memperlihatkan perselingkuhan keduanya.

Air mata terus mengalir dari kedua manik indahnya. Sakit. Rasanya sangat menyakitkan, baik batin maupun fisiknya. Terutama pada bagian perutnya yang terasa nyeri sejak tadi.

Pintu kembali dibuka dari luar. Erlinda yang masih menunduk tak melihat siapa yang telah masuk ke dalam kamar. Ia hanya diam, berpikir bahwa pemilik langkah kaki yang tergesa-gesa mendekatinya itu adalah salah satu pesuruh Gerald untuk membawanya ke rumah sakit seperti biasa.

"Erlinda, apa yang terjadi padamu?" Tanya sosok tadi.

Mendengar suara berat dan sentuhan hangat di kedua bahunya, Erlinda sontak mendongak. Sorotnya nampak terkejut melihat siapa orang yang kini merengkuhnya.

Tanpa sadar dadanya terasa semakin sakit. Tangisnya pun semakin menjadi saat pandangan keduanya bertemu. Erlinda menangis sejadi-jadinya di bahu bidang itu. Merasa kecewa sebab orang yang selalu mendekapnya erat justru bukan orang yang dicintainya.

"Bawa aku pergi dari sini."

Revisi : 27 Juli 2022

 Vendetta || SUDAH TAMAT (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang