Fiona's POV
Seperti biasa, aku berangkat sekolah diantar bang Zayn. Bang Zayn yang sudah memulai kuliah nya setahun yang lalu, sekarang baru menginjak semester tiga. Jurusan matematika, tapi tampang lebih cocok jadi ustadz.
Tampang ustadz, tapi otak hentai semua isinya. Kan ga lucu, akhirnya karena pencocokan isi hati dan juga pikiran, dan karena menang lotre juga, bang Jen terjebak di jurusan matematika. Sukurin.
"Sini cium tangan majikan dulu!"
"Ogah njing,"
"Monyet! Udah gue anterin juga. Adek laknat lo, pagi-pagi udah toxic, gue bilangin mamah nih," ancam bang Jen diatas motor matic warna pink.
"Yaelah lu nape si? Pms? Biasanya juga gue anjingin santuy aja," ucapku nggak kalah ngegas.
Aku dan bang Jen sudah berdiri di depan gerbang sekolah. Obrolan kami barusan ternyata cukup keras, membuat siswi-siswi yang lewat akhirnya menyadari kekhilafan tampang dari Abang tidak tahu diri ini.
"Gans bangetsi,"
"Definisi tampan,"
"Wadoo, nikahin Dede bang,"
"Rahim gue anget masa,"
"Boleh tuh minta no. plat polisi nya. Eh, no. Hp deng,"
Dan apa yang bang Jen lakukan?
Bukannya dia enyah dari sini karena akan mengundang datangnya demogorgon, dia malah ngerling kanan ngerling kiri. Sok ganteng banget emang.
"Eh ada kakak ipar. Ohayo,"
Suara dari setan yaitu anak iblis berhasil menembus pendengaranku. Tidak salah lagi, itu si Charlie bocah laknat.
Dengan tampang sok cari muka, Charlie dengan tas tulisan qallazo warna hitam dan garis merah mencium punggung tangan bang Jen dengan muka pengen ditampol.
Bencana dua satu ini mah.
"Kakak ipar pala Lo Char," semprotku.
"Dek nggak boleh gitu sama calon imam," tambah bang Jen yang semakin membuatku kesal.
Yang benar saja, di sana bang Jen dan Charlie sedang berkoalisi dan tersenyum penuh kemenangan menatap ku yang menekuk wajah. Padahal hari ini sangat cerah, seperti senyum miper. Tapi terasa gelap seperti terhalang masalah hidup yang begitu besar dan pasti akan bertahan lama.
"Sana masuk. Sekolah yang bener dek. Char, jagain Adek gue ya," bang Jen mewanti-wanti.
Najis. Sok baik.
Biasa juga dirumah nyiksa.
Akhirnya, bang Jen pun pergi meninggalkan aku dan si aneh. Eh, maksudnya Charlie.
Charlie senyum-senyum sok-sokan kayak tai anjing, terus tangannya tiba-tiba meraih dan menggenggam tanganku.
Wah apaan ini? Nggak ijin lagi.
"Lepasin woy. Gue bukan kambing ye," aku menarik tangan yang sudah dipatenkan menjadi milikku sejak aku lahir.
"Eh sori sori. Buat pemanasan aja Fio," ucap Charlie seenak jidatnya yang lebar. Aku mendelik ke arahnya.
"Pemanasan apaan dah? Nanti kalo dilihat guru gimana? Mau tanggung jawab Lo emang,"
"Berarti kalo nggak dilihat guru, gue boleh dong gandeng Lo."
Sial, pakai acara salah ngomong segala lagi nih bibir.
"Nggak!"
Daripada makin gila, lama-lama bareng Charlie mending lebih baik aku masuk ke kelas.
Untung saja, aku dan Charlie beda jurusan. Sengaja, biar nggak ribet urusannya sama fans-fans Charlie yang buta itu.
"Fio! Ntar pulsek bareng gue kuy. Gue bawa motor," pekik Charlie.
Hadeh, hobi banget dah teriak-teriak. Kek di hutan lu, Char.
"Gue basket."
Heran. Kenapa tuh bocah nggak nyerah-nyerah udah ditolak berkali-kali. Udah ditolak pakai gaya dada, gaya kupu-kupu, gaya punggung, tetep aja kekeuh.
Heran lagi.
Hai sobat ambyar;v
Jangan lupa vomment:*Btw, gimana perasaan kalian kalo beneran ada cogan eh ternyata abang temen sendiri. Kan bacot banget, pasti malah susah. Hehe
Dahla mls. Pamit ye, besok Sabtu nih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Imam [END✓]
Fanfictionc h a r l i e p u t h fanfiction "Bisa nggak sih Lo jauh-jauh dari hidup gue?!" bentak Fiona. "Gue nggak bisa, Na. Nanti Lo kangen sama gue. Siapa yang repot? Gue juga. Nanti bulu mata gue rontok semua gara-gara Lo kangen," Charlie tertawa renyah. G...