-05-

42 6 0
                                    

Oh sekarang Charlie udah jago ngalus. Pasti ketularan virus-virus suram dari bang Zayn yang ga tanggung jawab mulai mewabah nih.

"Ntar belokan di depan belok ke kiri Char," telunjukku menuding ke arah yang aku katakan.

"Car? Pacar?" dasar botak.

Karena merasa sesuatu panas menjalar di pipiku, aku menjitak kepala Charlie yang terbungkus helm cukup keras. Hingga sang empu mengaduh, aku tetap memukuli kepala Charlie tanpa ampun.

"Aduh aduh! Sakit woy Fi. KDP lu mah.. kalo blushing ya nggak usah nggebukin gue dong,"

CHARLIE SIALAN!1!1!

"DASAR CHARLIE CHARLIE YES PAPA!" jitakan terakhir begitu keras sebagai penutupan kriminal kali ini.

"KDP apaan dah?"

"Emm.. itu.. anu.. kekerasan dalam pedekate," balas Charlie tak kalah kreatip.

Anaknya pak Charles jago juga ngegembel. Eh, ngegombal.

Aku dan Charlie hanya diam. Rumahku yang cukup jauh dari sekolah, cukup memakan waktu untuk sampai di sana. Untung saja, rumah Charlie dan aku searah. Jadi ya, setidaknya aku tidak akan merasa tidak enak dengan si botak.

DUARRRR (suara gledek)

"Eh kayaknya mau hujan deh, Fi. Kita neduh dulu skuy," ucap Charlie lalu motornya menepi di salah satu minimarket bernama ind*april.

"Waduh.. Deres juga ya hujannya kayak rindu," celetuk Charlie.

Lama-lama anaknya Bu Debra bucin juga. Pasti efek dari gledek barusan.

"Lawak Lo badut."

Aku memasukan jaket yang sedikit basah ke dalam tas. "Dingin banget njir kayak sikap dia."

"Lo tunggu sini Fi. Gue ke dalem bentar." Charlie nampak buru-buru lalu mengangkat telpon sambil berjalan ke dalam minimarket.

Layaknya seorang gembel, aku duduk di emperan dengan memeluk kedua lutut menatap hujan yang tak kunjung reda.

Charlie memang baik. Tapi kalo nggak cinta? Ya mau gimana lagi.

"Nih," sebuah susu kotak rasa stroberi tiba-tiba menyentuh pipiku.

"Buat gue?"

"Buat monyet," sewot Charlie. "Tapi monyet cantik. Yang mirip di sinetron-sinetron gitu, Fi."

"Kadang Na, terus Fi, terus Fio. Lu kalo manggil gue yang Istiqomah dong," tegasku. Karena aneh, jika panggilan berubah-ubah begitu.

"Kalo gue panggil Anata boleh?"

"Hah? Anata?"

"Sayang."

"Ngaco Lo!" bisa-bisanya Charlie ngalus begitu. Untung aku pandai menyembunyikan pipi sialan ini yang semakin memanas.

"Jantung aman. Kalem Fio, kalem.. jangan gampang baper," batinku menyakinkan.

"Bukan. Sayang tuh susu nya Lo tumpahin begitu," jelas Charlie yang berhasil membuatku beralih ke susu kotak yang tinggal setengah karena aku salah memegang posisi bungkusnya sehingga lubang yang sudah dibuat dengan sedotan berada di bawah.

"Apa ini Fiona? Harga dirimu sudah diinjak-injak. Lebih baik sekarang datang badai, lalu aku ikut nebeng pergi bersamanya."

Tangan kananku tergerak membalik posisi susu kotak nahas itu. Lalu memukul lengan Charlie cukup keras, mampu membuatnya mengaduh dan meminta maaf.

"Hujannya udah reda nih. Masih mau di sini atau balik aja?" tanya Charlie.

"Pulang aja deh. Lagian gue harus belajar matematika. Ada tugas lagi. Soalnya remedial gue nggak guna, nilai nya tetep ancur."

"Mau gue bantuin?"

"Emang Lo nggak belajar? Kita kan beda jurusan."

"Gampang lah gue mah. Masalah beda jurusan, matematika itu mutlak, Fio. Di mana pun Lo berada matematika itu bakalan selalu sama," tegas Charlie dengan senyum yang begitu manis.

"Ini si botak kenapa pakek acara senyum-senyum segala lagi."

"Ya udah nih. Pakai helm-nya. Cus kita kemon," Charlie menyodorkan helm kepadaku.

Aku menerimanya dengan senang hati.









Hai, wasap.
Akhirnya cerita ini update lagi ya aseik. Tangan gatel banget pengen nulis, padahal ini masih pagi.

Mwehehehe.

Yodah, gitu aje. Jangan lupa vomment:*

I'm nothing without you guys 💕

Calon Imam [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang