8. Surat Izin?

50 9 2
                                    


"Ehem."

"Meow."

"Mou jangan ikut-ikut" bisik Angkasa pelan.

Azura menoleh.

"Ngeluarin nyawa jangan ditahan-tahan." gumamnya tajam.

Nusuk banget.

Ekspresi Angkasa tetap datar seperti biasanya. Berusaha mencari cara agar bisa membujuk gadis itu tanpa membuatnya terusik.

"Lo butuh sesuatu?" tuding Azura sinis. Tetangga macam apa yang memasuki kamar seorang gadis sembarangan?

"Sini duduk."

Sebuah kursi dari meja makan ditarik Angkasa. Tangannya menepuk kursi, mengisyaratkan kepada Azura untuk duduk. Sedangkan Mou tetap anteng memandang mereka sambil duduk di sebelah kaki Angkasa.

"Apa? Ngapain? Buat apa?"

"Bawel."

Dengan gemas Angkasa mendorong kedua pundak Azura hingga terduduk kemudian membelakanginya.

"Cara pake hair dryer gimana si?" tanya Angkasa dengan tampang polos.

Kedua alis Azura sempat bertaut bingung beberapa detik. Tapi setelah ia kembali datar.

"Colokin kabelnya, pencet tuh tombol." jawabnya acuh tak acuh.

Pasalnya bagaimana bisa seorang Angkasa tidak tau cara menggunakan hair dryer?  Memakai hair dryer tidak sesulit memakai catokan bukan?

"Trus gimana?" tanya pria itu lagi.

"Tinggal arahin ke rambut yang basah." Azura mulai jengah.

Telinga sensitif nya mendengar suara angin ribut, tandanya Angkasa telah berhasil menyalakannya. Tapi kemudian, hamparan angin terasa hangat di sekitar leher gadis itu. Berarti Angkasa sedang mempraktekkannya di rambut Azura.

Kerja bagus Angkasa!

Mission success✓

"Kaya gini terus sampe kering?"

Tanpa curiga Azura menjawab santai.

"Hm."

Leher Azura pegal.

Dibalik rambut Azura, pria itu tersenyum kecil. Dia dapat dua keuntungan. Pertama, misinya berhasil. Kedua, bisa mencium dan menyentuh rambut indah sang dewi es.

Setelah beberapa menit berlalu, rambut biru yang lurus itu sudah sepenuhnya kering.

"Besok-besok gue cobain lagi boleh ga?" modus Angkasa sambil menekan tombol off dengan tampang cool.

"Ga. Pergi lo."

"Pelit."

***

"I'm going under and this time I fear there's no one to save me.

This all or nothing really got a way of driving me crazy.

I need somebody to heal...

Somebody to know...

Somebody to have...

Somebody to hold...

It's easy to say...

But it's never the same...

I guess I kinda liked the way you numbed all the pain.

Now the day bleeds...

Into nightfall...

And you're not here...

To get me through it all...

I let my guard down...

And then you pulled the rug...

I was getting kinda used to being someone you loved~"

Suara petikan gitarnya berhenti, tanda bahwa sang pemetik telah menyelesaikan lagu indahnya.

Sepasang manik hijaunya beralih menatap rembulan, berharap bisa terbang lalu menyentuh sang lentera malam.

Hidupnya dikelilingi banyak siluman yang bernama kegelapan. Tempat ini sunyi, tapi malah kesunyian itulah yang paling berisik di telinganya.

Tiba-tiba ingatannya beralih pada laut, tempat tercintanya sejak dulu. Angin hangat yang mengacak-acak rambutnya, ombak kecil yang memberi sensasi dingin pada kakinya, pemandangan indah yang mampu menghipnotis sepasang mata hijau miliknya, dan juga...

Perasaan menyenangkan saat bermain air dengan bidadarinya.

Ah, sampai lupa. Gadis itu alasannya. Sampai Angkasa bisa merasa senang setiap melihat laut.

Gadis yang tak pernah diketahui identitasnya itu, sayangnya tak pernah bertemu dengan Angkasa lagi.

Angkasa memegang kepalanya yang terasa berdenyut.

"Dia lagi." gumamnya terkekeh pelan.

Ngomong-ngomong soal laut, ia juga teringat pada tetangganya, Azura. Bukan, lebih tepatnya pada suntikan itu. Angkasa penasaran.

Tangannya mencoba mengeluarkan suntikan kecil dari kantong celananya. Dari baunya, seperti bau obat-obatan. Sebelumnya, ia pernah menemukan benda seperti ini di tas para berandalan. Setelah di cek, hasilnya positif narkoba.

"Apa mungkin... dia juga?"

Balkon di sebelah nya tampak sepi. Lampunya juga sudah padam. Pasti gadis itu sudah terlelap.

Ting tong.

Malam-malam begini?

Siapa?

Gitarnya ia sandarkan, lalu suntikan itu ia sembunyikan lagi di kamarnya. Sambil berjalan kearah pintu, otaknya berfikir.

Cklek.

"Kelamaan." keluh gadis mungil yang tiba-tiba membuka pintu, kemudian duduk di sofa.

Gadis itu menenteng sebuah Tote bag kecoklatan.

"Apa?" tanya Angkasa datar.

"Nih."

Ia menyodorkan Tote bag nya.

Melihat raut wajah Angkasa yang bingung, ia menjelaskan.

"Ini surat izin ke orang tua sama formulir buat study tour. Disini ada 3 tempat. Siswa dan siswi nya boleh milih sesuai keinginan. Nah lo juga dikasi nih. Formulirnya kan ada 2, yang satu buat tetangga lo si Ratu es best pren gue. Lo kasi sendiri deh,  itung-itung pendekatan hehe. Dan juga ni surat izin butuh tanda tangan lo, pak ketos."

Angkasa membaca surat undangan nya secara teliti. Ia juga terlihat berpikir.

"Ga kejauhan? China, New York, Jepang? Lo pikir pertukaran pelajar?"

Gadis itu tertawa.

"Yaelah jadi orang kaya pelit amat. Gapapa kali, sekali seumur idup ginian ama temen-temen. Masa ke Bali, Bogor, atau Jogja lagi, bosen dong. Gue sama Dion aja mainnya ke Mars."

Angkasa menatapnya malas.

"Terserah lo deh bocil."

Ia merebut pulpen dari tangan sang gadis, lalu menandatangani surat izin tersebut.

"LO BILANG APA BARUSAN?!"

Glek.

"Maksud gue Cil, Cila imut."

Walaupun dingin, Angkasa juga ngeri terhadap Cila. Tubuh kecilnya sangat menipu kepribadiannya. Percaya atau tidak, suatu hari pulpennya pernah hilang. Ia menuduh semua orang dikelasnya. Untung saja saat itu ada Dion yang menenangkan. Tapi keesokan harinya, ia mematahkan tangan temannya yang piket hanya karena mereka tidak menemukan pulpen Cila yang hilang. Merinding mengingatnya.

Oh iya, Cila juga anggota OSIS loh. Dia memegang jabatan sekretaris 1 di organisasi ini. Keren deh.

Mata Cila menyipit.

"Oke deh, gue balik. Dahh~"

Blam.

"Kaget anjing."

GEMINI [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang