Laki laki dengan kaos putih lengan panjang itu menyesap rokoknya dalam dalam, di ruangan sempit ini ia kembali merasa lega karna rasa sakit di kepalanya telah mereda seiring dengan hilangnya puzzle ingatan yang abstrak. Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, sebentar lagi waktu makan malam. Dengan segera ia mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah, mengganti kaosnya dengan kaos lengan pendek hitam, dengan jam tangan yang selalu ia pakai. Laki laki 19 tahun itu adalah Yohan, tubuh jangkungnya sangat pas dengan style sederhana celana jins hitan dan kaos hitam, menambah derajat ketampanannya.
Yohan mengambil permen mint yang ada didalam laci, dan menyemprotkan parfume beraroma senada. Tentu saja hal itu ia lakukan untuk menghilangkan bau rokok yang melekat pada tubuhnya. Dengan langkah ringan ia segera keluar dari kamarnya dan turun ke ruang makan, dilihatnya seluruh anggota keluarga telah berkumpul, dengan sisa satu kursi untunya.
"malam ma, pa, bang" sapanya sembari tersenyum memamerkan gigi kelincinya.
"malam sayang, jangan terlalu memaksakan diri, istirahatlah" Izza memandang anak bungsunya merasa sedikit bersalah karna Yohan yang semakin hari terasa semakin kurus saja. Ia yakin anak bungsunya itu terlalu banyak belajar untuk tes masuk perguruan tinggi.
"mama benar Yohan, papa yakin kamu bisa masuk ke fakultas itu, saingannya juga tidak begitu banyak dan kamu anak yang pintar" ucap Ardi membenarkan istrinya.
Yohan hanya tersenyum, dalam fikirannya sedang berkecamuk banyak hal. Apa ia harus mengungkapkannya saat ini.
"pa, ma, kenapa Yohan nggk masuk fakultas teknik aja, kata bang Rama dulu Yohan sekolah di SMK teknik ?" akhirnya kalimat itu keluar lirih dari bibir Yohan.
"NGGAK" semua yang ada di meja makan terhentak karna terikan Ardi.
"siapa bilang kamu boleh ambil fakultas Teknik, papa nggk setuju" ucap Ardi masih dengan penuh penekannan.
Sedangkan Yohan yang tersentak dengan teriakan Ardi sedikit merasa keget. Ini adalah kali pertama papanya berteriak padanya semenjak ia membuka matanya setahun silam.
Yohan memijit pelipisnya ketika rasa pening itu mulai menyerang kepalanya. Ardi yang melihat keadaan Yohan langsung beranjak dari duduknya dan memegang tangan dingin anak bungsunya. Ia sadar tidak seharusnya ia berteriak, Yohan saat ini bukanlah Yohan yang dulu ia kenal, yang akan baik baik saja dengan bentakan ataupun caciannya, Yohan saat ini hanyalah putra bungsunya. Anak baik baik dan penurut, setidaknya itu adalah doktrin yang setahun belakangan ia berikan pada Yohan.
"maksud papa kamu adalah penerus bisnis ini, peternakan papa dan mama. Kamu tahukan bang Rama sudah sibuk dengan perusahaanya. Jadi papa minta sama kamu buat nurut ya, Yohan anak baik, pasti mau kan nurut sama papa" ucap Ardi dengan lembut.
Yohan mengangkat kepalanya tersenyum dan mengangguk, menghiraukan pening yang semakin gencar menyerang.
Dalam fikirannya, Yohan masih merenungkan beberapa hal. Ada banyak hal yang mengganggu fikirannya semenjak ia puzzle ingatan itu mulai menghantuinya.
Sembari menyuapkan makanan ke mulutnya Izza mengamati Yohan yang makan dengan tangan kiri yang terus memijat pelipisnya. Ia tahu pasti saat ini Yohan sedang tidak baik baik saja.
"Ram, ambilkan obat Yohan di kamarnya" titah Izza pada si sulung.
Rama segera menghentikan makannya dan ikut mengamati Yohan yang sudah mulai pucat.
"lo taruh mana han ?" Tanya Rama pada sang adik yang sepertinya sedang menahan pening.
"Laci meja belajar bang" ucap Yohan yang memang sedang menahan rasa sakitnya, dengan perlahan ingatan abstrak itu kemabali menghantuinya.

YOU ARE READING
Memory
Genel KurguYohan baru saja terbangun dari komanya, namun naas ia sama sekali tak mengingat apapun. Selama itu doktrin anak baik baik dilekatkan oleh sang ayah kepadanya. Namun ia kehilangan ingatannya bukan menjadi bodoh. Ia tau dirinya yang dulu bukanlah anak...