Bulan dan bintang tak ada henti-hentinya saling beradu memancarkan cahayanya.
Menyorot pada air danau dan memaparkan cahayanya pada air jernih itu. Bersama suara-suara hewan malam yang menyeruak di seluruh telinga para pejalan kaki yang menyusuri taman kota malam ini. Walaupun sudah jam sembilan malam, taman masih cukup ramai.
Seperti dua sosok remaja yang terlihat masih setia memanjakan diri mereka di bawah naungan cahaya temaram dari bintang dan bulan.Arthalita adalah salah satu dari kedua sosok itu. Pandangannya hanya tertuju pada satu arah, tapi ini tidak meyakinkan. Antara dia memandang ke arah danau atau sesosok lelaki yang tengah merentangkan tangannya dan memandang ke arah langit, sambil menikmati tiupan tiupan angin malam.
Dia Revan, sahabat yang selalu setia ada di sisinya sejak kecil hingga sekarang."Athala! Coba Lo lihat kelangit!" Perintah lelaki itu yang baru saja membuka suaranya menyuruh Arthalita dan masih dengan posisinya. Athala adalah nama panggilan dari Revan untuk Arthalita.
Gadis itu hanya mengikuti saja, memandangi langit dengan lekat.
"Malam dan siang butuh waktu untuk bersatu. Kala senja tiba, menggabungkan keagungan keduannya. Tapi tidak pasti, karna selalu ada hujan yang datang mengganggu. Yakinlah Kita akan seperti itu, butuh waktu untuk bertemu bahkan mungkin tak ada waktu dan minim ada halangan yang membiarkan kita untuk tidak bertemu, dan itu akan terjadi saat kita meraih apa yang ingin kita sukseskan."
"Lo terlalu drama Van! Haha" Ucap Arthalita seraya tertawa renyah.
"Haish... gue ngomongin kebenaran Tha!"
Revan menjatuhkan tangannnya lalu berbalik berjalan ke arah sahabatnya itu.
"Ngapain juga gue dengerin. Lo kan janji buat ada di sisi gue terus!."
"Berarti kalau gue jauh dari Lo? Lo ingin tetap di samping gue gitu?"
"Iyalah, Lo itu sahabat sekaligus kakak Gue yang paling bikin gue bahagia. Dan berarti dengan Lo, gue itu bahagia."
"Lo nggak bakal bahagia Athalaaaa...!"
"Ih, kok gitu. Lo itu udah janji selalu ada buat Gue. Berarti Lo bisa bahagiain Gue. iya kan?"
"Terserah Lo deh, gue nggak tahu, 4 bulan lagi kita bakal lulus. Dan itu nggak bisa nentuin gue bakal terus di sisi Lo atau enggak. Lagian ada Dio juga yang bisa jagain dan selalu ada buat Lo."Entah kenapa Arthalita seketika murung mendengar penuturan Revan. Menurutnya Revan seperti menjauh darinya. Arthalita berfikir, apakah dirinya itu mengesalkan bagi Revan?, atau mungkin Revan jenuh dengan dirinya yang sangat haus perhatian, atau bisa jadi Revan sudah tak ingin bersahabat dengannya lagi?. Banyak sekali pertanyaan yang menyelubungi otaknya tentang keburukan dirinya.
Revan yang menyadari Arthalita yang murung, ia hanya menghembuskan nafasnya kasar. 'Lo hanya tahu pada siapa Lo menempatkan diri untuk berpeluh kesah, tapi Lo nggak tahu menempatkan dimana di ri Lo mendapatkan kenyamanan' , 'Lo hanya bisa mendengarkan cinta dari dia dan membalaskannya dengan kata cinta pula, tapi Lo nggak bisa merasakan apa yang dia rasakan saat mengatakannya, dan apa yang Lo rasakan saat menerimanya' bantin Revan.
Dialog singkat yang berakhir dengan kecanggungan pun terjadi, walau terjadi hanya singkat saja. Sebab sosok Artahlita tak akan mampu jika sejam saja tidak menegur sahabat tersayangnya itu.
"Van, maafin Athala kalau udah nyusahin!" Ucap Arthalitah merasa bersalah. Padahal dirinya tak salah apapun, hanya Revan yang salah telah merangkuh Arthalita sebagai kenyamanannya selama ini.
"Nggak usah minta maaf Tha, Gue yang harus minta maaf. Karna Gue nggak bakal tahu, kalau Gue bisa nepatin janji Gue buat di sisi Lo terus apa engga." Ucap Revan sambil menarik kepala Arthalitah ke dalam pelukkannya. Arthalitha hanya membalas dengan anggukkan di dalam pelukkan Revan.
Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di danau. Mereka pun pulang melewati jalan besar yang masih sedikit ramai.
Gadis berambut hitam panjang sepunggung dengan kaos putih dan rok merah selutut itu. Berjalan lebih dulu di depan Revan sambil memegangi jaket merah kotak-kotak nya.
Sedangkan Revan dari jauh menatap lekat punggung yang terlapis kain warna putih itu.
"Lo nggak akan pernah sadar, Gue sedang berusaha menjauh agar bisa lupa dengan kedekatan, kebersamasan, kebahagiaan kita yang layaknya kertas pada buku dan sampulnya. Jika di turuti maka Gue akan slalu sakit hati, sebab kadang kertas jika sudah bertemu dengan pulpen akan lupa pada sampul yang senantiasa melindunginya, di banding pulpen jika habis isinya jelas akan berganti dengan yang baru, sampai lupa pada pelindung yang lebih dulu." Batin pria itu tanpa sadar ternyata sudah mengehentikan langkahnya beberapa menit yang lalu. Namun tersadar oleh gadis cantik nan manis bergingsul itu.
"Kenapa Van?" Tanya gadis itu sekitar dua meter dari arahnya.
Tapi Laki-laki itu hanya memilih diam. Lalu melanjutkan langkahnya mendahului Arthalita. Arthalita hanya menatap lelaki itu dengan bungung.
"Woy! Van tungguin!" Kaki mungil itu berlari mengejar lelaki yang sudah sedikit jauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams And Longing
Ficção Adolescente"Kamu, aku, adalah kita. Serta mimpi dan rindu menjadi milik kita berdua" -Revan Andara "Sekarang, waktu tidurmu hanya untuk memimpikanku, dan biar aku yang merindukanmu." -Arthalita Reynata