Bel istirahat telah berbunyi, satu persatu penghuni kelas meninggalkan kelas mereka menuju sebuah tempat yang mereka nanti-nantikan sehak jam oelajaran tadi, apalagi kalau bukan tujuan mereka saat ini adalah kantin.
"Sayang, ke kantin yuk!" Ajak Dio berdiri di samping meja Arthalita, seraya memandangi kekasihnya itu membereskan buku-buku dari atas mejanya.
"Tunggu dulu ya Di, aku mau tanya Revan dulu" Jawab Arthalita melirik Revan sekilas yang masih duduk di pojokkan tidak ada niatan untuk pindah secepatnya ke mejanya, padaha Deri sudah memberontak ingin mendudukki kursinya."Mau nanya apa emang?" Tanya Dio lagi, kali ini menatap Arthalita tak suka.
"Emm..Masalah yang tadi, kenapa dia pindah ke belakang." Jelas Arthalita sambil menggigit bibir bawahnya.
"Nggak perlu Tha! Paling nanti dia balik pindah kesini lagi."
"Tapi Dio....."
"Nggak ada tapi-tapi!... Yuk kita ke kantin"
Tegas Dio, langsung menarik tangan Arthalita keluar kelas.Sedangkan Revan, hanya menatap nanar kepergian Arthalita. Baru kali ini Arthalita tidak terlalu berusaha mengatasi kecanggungan akibat masalah sepele antara mereka berdua 'fikirnya'.
"Nggak peka banget sih jadi orang! Mau sampe kapan gue harus berjuang Athala..!"
Maki Revan entah kepada siapa, karna saat ini kelas benar-benar kosong. Mungkin pada raga Arthalita yang masih tertinggal.Revan mengacak rambutnya frustasi. Dia
pusing dengan sikapnya yang sekarang ini.Revan benar-benar tidak ada niatan kekantin, bukan hanya sekarang tapi sudah sebulan terakhir.
Untuk apa dia ke kantin membeli makanan jika nafsu makan saja tidak ada, karna pemandangan yang di dapatinya hanyalah Tawa orang yang sangat dia sayangi bersama orang lain 'fikirnya'............
"Tha, kok baksonya nggak dimakan? Nggak enak ya?" Tanya Dio pada Arthalita cemas.
"Emm...aku nggak ada nafsu Di!" Jawab Arthalita menatap nanar bakso di hadapannya.
"Kenapa? Gara-gara Revan?" Tukas Dio menatap Arthalita sinis. "Begitu penting kah Revan buat kamu? Sampe kamu nggak pengen marahan sama dia?" Dio membesarkan suaranya. Mungkin sekarang penghuni kantin sedang menontoni mereka saat ini.
"Revan itu sahabat aku Dio...nggak mungkin kan, kalau kita berdua itu harus marahan. Gimana nanti kalau mama sama papa aku nanya?" Jawab Arthalita memelankan suaranya karena malu dilihat banyak orang.
"Yaudah, Pentingin aja sahabat kamu daripada aku!" Kesal Dio lalu meninggalkan kantin entah kemana.
"DIO!..." Arthalita mengejar Dio yang menuju ke rooftop.Arthalita menemukan Dio yang tengah berdiri sambil memijat mijat keningnya yang tak sakit.
"Dio...aku minta maaf!" Lirih Arthalita berdiri di belakang Dio. "Aku takut kalau aku nggak punya sahabat sebaik Revan lagi!. Tapi, bukan berarti kalau aku itu lebih mentingin Revan daripada kamu." Arthalita menghembuskan nafasnya pelan "Maafin Atha ya!...Lagian Pacar aku itu kamu Di!"
"Arthalita....Kamu itu nggak ngerti gimana rasanya jadi aku!" Balas Dio menekan kata-katanya. "Aku itu kadang cemburu lihat kamu sama Revan berduaan, sedangankan yang berada di posisi 'pacar kamu' itu aku, Tha. Aku!" Dio membalikkan badannya sehingga berhadapan langsung dengan Arthalita. Dio menatap Arthalita penuh harapan.
"Kalo kamu emang lebih mentingin aku dari pada Revan, aku butuh pembuktian. Tolong jauhin Revan! Kamu bisa?."
Kekang Dio pada Arthalita.
"Kok gitu sih?" Tanya Arthalita merasa tidak mungkin.
"Nggak bisa kan? Yaudah...terserah kamu!" Ucap Dio lalu berjalan menuju arah pintu, juga sempat menabrakkan lengannya dengan bahu Arthalita.
"Dio, kamu mau kemana?" Tanya Arthalita melihat Dio yang pergi.
"Nggak Tau, aku males lihat kamu!" Balasnya, lalu benar benar meninggalkan tempat itu dan Arthalita yang tinggal sendirian.
"Kejamnya kamu Di!" Gumam Arthalita setelah kepergian Dio.Arthalita berjalan ke arah kursi sofa yang sudah rusak, yang di letakkan di rooftop.
Dia menduduki bagian kursi yang masih bagus. Lalu meremas kepalanya yang tidak sakit dengan kedua tangannya.
"Sebagian hidup gue ada di Lo Van!" Monolog Arthalita, menarik nafasnya lalu menghembuskan nafasnya pelan beriringan dengan air matanya yang jatuh mengalir di kedua pipinya seketika. Benar, Arthalita sudah tak mampu menahan buliran itu yang sejak tadi di tahannya.
"Dan sekarang Dio marahan sama gue, Dia nyuruh gue buat ngejauhin lo Van! Nggak mungkin kan?, hiks...hiks....Dio gila! Hiks...hiks... sekarang gue harus gimana?....gue nggak tahu..hiks.. Van...Lo dimana sekarang? Hiks...hikss..." Lirih Arthalita dalam isak tangisnya.✏✏✏
Revan yang ingin ke rooftoop, hendak membuka pintunya tiba-tiba tertahankan ketika mendengarkan lirihan dari suara yang sangat familiyar di telinganya, siapa lagi kalau bukan suara sahabat sekaligus gadis kesayangannya. Revan memilih untuk tetap berdiri di depan pintu rooftop untuk mendengarkan apa yang di tangisi gadis itu.
Revan mendengarkan apa yang telah membuat gadis itu sedih."Dan sekarang,,,, Dio marahan sama gue van, Dia nyuruh gue buat ngejauhin lo Van! Nggak mungkin kan?, hiks...hiks....Dio gila! Hiks...hiks... sekarang gue harus gimana?....gue nggak tahu..hiks.. Van...Lo dimana sekarang? Hiks...hikss...dan sekarang gue butuh Lo...Lo dimana Van...hiks..hiks..." Lirih Arthalita dalam isak tangisnya.
Revan mengehembuskan nafasnya pelan.
"Gue disini Tha, benar kata Dio. Lo harus ngejauhin gue! Itu yang gue harapin dari dulu. Bukan gue nggak sayang sama lo, gue sayang banget sama lo Tha, tapi gue juga sayang sama hati gue yang nggak boleh terluka terus!. Maafin gue, yang udah nggak bisa merhatiin Lo lagi, sekarang udah ada Dio yang bisa bahagiain lo. Kalau lo nggak bisa ngabulin pemintaan Dio, biar gue yang ngabulin, biar gue yang ngejauhin lo. Kalau bisa, sampe lo bisa lupain kalau gue itu pernah jadi sahabat terbaik Lo. Thanks Tha, Lo udah ngajarin gue tentang 'harapan yang tak bisa untuk di paksakan' gue udah nggak mau semena-mena menetapkan orang di hati gue sebagai kenyamanan yang berakhir sesaat. Bye Arthalita, see you again...." Monolog Revan dalam gumamannya. Lalu meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang bercampur aduk atas apa yang telah dikatakan oleh hatinya dan keinginannya...........
"Eh, kenapa mata lo merah Van?" Tanya Deri yang melihat mata Revan yang merah saat memasuki kelas yang langsung duduk di tempat duduknya.
"Merah? Masa sih?" Revan balik bertanya bingung kenapa matanya bisa merah. 'Apa tadi gue nangis?, ah nggak mungkin, gue nggak ngerasaain air mengalir di pipi gue tadi' Ucapnya dalam hati.
"Lo nahan tangis ya?" Tanya Deri lagi.
"Ah enggaklah!" Bantah Revan
"Sapa taukan, soalnya merahnya nggak biasa. Nggak mungkin juga kan, kalo lo nyentuh barang haram." Tuduh Deri
"Nggak usah mikir aneh-aneh. Nggak mungkin gue nyentuh barang kek gituan!" Bantah Revan jujur lalu menoyor kepala Deri. Ya walaupun Revan anak yang sedikit nakal, tapi dia tidak pernah menyentuh barang haram itu."Der, Lo bawa motor ?" Tanya Revan serius.
"Hem..kenapa emang?" Tanya Deri balik.
"Gue balik barang lo yah?"
"Lah, terus Arthalita lo kemanain?"
"Gue tadi berangkat sekolah naik mobilnya Athala. Nanti gue serahin kunci mobil ke dia" jelas Revan.
"Oh....gitu.!"
"Sekaligus deh, gue mau nginap di rumah Lo. Soalnya mama sama papa gue pulangnya nanti lusa." Tambah Revan lagi.
"Lah..tumben. biasanya kalau nggak tidur sendirian di rumah, ya paling lo kerumanya Arthalita. Ada masalah Lo berdua?" Curiga Deri pada Revan yang tidak biasanya seperti ini.
Deri adalah satu-satunya teman Revan yang paling mengerti dan paling dekat dengan Revan setelah Arthalita. Deri juga sudah seperti saudara bagi Revan. Hanya Derilah tempat curhat Revan selama ini. Dan tentunya Deri mengerti bagaimana isi hati Revan.
"Nggak usah difikirin Der! Bucin gue udah basi"
"Hahaha, nyesek banget lo bro!. Yaudah, nanti balik kerumah gue aja!"
.................
Hai hai hai...
Sorry guys banyak typo, mohon di maklumi ya hehe.Jgn lupa vote and komennya, subscribe juga boleh biar berlangganan wkwk.
Ngomong-ngomong si Revan Bucinnya udah basi. Wkwk. Nyesek kali yak! Hehe.....
Next.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams And Longing
Fiksi Remaja"Kamu, aku, adalah kita. Serta mimpi dan rindu menjadi milik kita berdua" -Revan Andara "Sekarang, waktu tidurmu hanya untuk memimpikanku, dan biar aku yang merindukanmu." -Arthalita Reynata