ZJM 2

98 36 4
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

Zayn mengamati isi dalam ranselnya, mencoba memastikan semua keperluan yang ia butuhkan telah berada di sana dengan aman. Dia merasa ada yang kurang, namun tak tahu apa itu.

Berusaha memutar otak tapi tetap tak kunjung teringat, akhirnya tangan Zayn menutup risleting ransel dengan gerakan ragu.

Saat beberapa senti lagi ransel abu-abunya tertutup, seketika ia mengingatnya. Dengan cepat ia berjalan ke arah laci nakas di samping ranjangnya. Diambilnya benda itu, namun satu hal lagi membuatnya ragu.

Benda yang berupa selembar kertas itu bukanlah sembarang kertas yang di atasnya berisi tulisan biasa. Tulisan tersebut adalah segala pendaman dan beban yang ia simpan selama belasan tahun lamanya. Tulisan yang begitu ia rahasiakan dari siapapun, bahkan Giselle sekalipun.

Lantas, haruskah ia membawanya? Haruskah ia memberikannya pada sang tujuan yang sebenarnya?

"ZAYNNNN! MAHASISWA SUDAH BERGERAK SEJAK TIGA PULUH MENIT YANG LALU! ASTAGA, KAU INI LAKI-LAKI TAPI LAMA SEKALI!"

Pekikan Giselle di depan rumahnya membuat lamunannya buyar. Dengan gerakan cepat ia memasukkan kertas itu ke dalam ransel lalu menutup risleting. Menyampirkannya di salah satu pundaknya, Zayn bergegas menyusul Giselle yang kini tengah memainkan bibirnya dengan kesal sambil sesekali melirik arloji di pergelangan tangannya.

"Memangnya hanya para gadis saja yang bisa lama dalam bersiap?" tanya Zayn menantang begitu ia sudah di hadapan Giselle.

Gadis itu mendongak untuk menatap Zayn. "Tapi tak seharusnya lelaki itu lama. Bahkan lelaki seharusnya lebih sederhana dari para gadis."

Satu alis tebal milik Zayn terangkat. "Katakan padaku mengapa gadis selalu rumit?"

Giselle memutar bola matanya. "Itu jelas karena banyaknya perawatan yang mereka lakukan."

"Skin care?"

Giselle mengangguk mantap. "Nilai seratus untukmu," katanya dengan mengacungkan ibu jarinya di depan wajah Zayn.

"Termasuk kau?" tanya Zayn dengan nada geli.

"Tid-" Giselle merapatkan bibirnya, lalu melanjutkan, "Y-yeahh, tentu saja. Kenapa tidak? Aku juga gadis, kan?" Gadis itu gelagapan sendiri di tempatnya.

Zayn tertawa geli melihat tingkah Giselle yang menurutnya menggemaskan. "Good liar, girl," sindir Zayn. Bahkan Zayn adalah orang pertama yang mengetahui betapa buruknya skill berias yang dimiliki Giselle.

Wajah Giselle perlahan memerah, entah karena menahan malu atau marah. Kemudian gadis itu berjalan mendahului Zayn.

Sambil tergelak, Zayn menyamai langkah Giselle. "Simpulkan saja begini. Para gadis lama karena merawat kulit mereka, jika aku lama karena merawat mahkotaku," celetuk Zayn sambil meniup sehelai rambutnya yang jatuh menyentuh dahinya.

Tak bisa dipungkiri oleh Giselle bahkan oleh siapapun, bahwa Zayn adalah tipe lelaki yang perfeksionis terhadap rambutnya. Karena hal itulah kini segala jenis perawatan rambut memenuhi kamar mandi lelaki itu.

Giselle tersenyum licik, sedangkan Zayn menatap Giselle bingung. Sejurus kemudian tangan Giselle bergerak nakal mengacak rambut Zayn yang sudah disisir sedemikian rupa oleh lelaki itu. Dengan gesit Giselle berlari menjauh dari Zayn.

"WHAT THE HELL, G?!" teriak Zayn kesal, tak peduli akan tatapan beberapa orang yang menatapnya aneh bahkan tak suka. Lelaki itu merapikan kembali rambutnya dengan jemarinya seraya bersumpah serapah untuk Giselle.

Giselle sendiri kini tertawa di tempatnya yang berjarak sepuluh langkah dari Zayn. Namun justru hal itu membuat Zayn termenung di posisinya.

Kedua mata cokelat milik Zayn tak lepas dari Giselle yang masih menutupi mulut dan perutnya karena gelakan tawa yang dikeluarkannya. Entah apa yang membuat gadis itu seakan semakin bersinar di mata Zayn ketika tertawa. Walaupun pemandangan seperti itu sudah seperti santapannya setiap hari, tetapi tetap saja menjadi favoritnya hingga sekarang.

Lima belas tahun bersahabat, bagi Zayn tak ada yang berubah dari Giselle. Baginya, Giselle masih seorang gadis kecil terbahak keras saat tertawa, dan cemberut saat merajuk. Benar-benar tak ada yang berubah.

Ya, tidak ada yang berubah satupun, termasuk perasaan Zayn yang sesungguhnya pada Giselle. Demi kekuatan persahabatannya, ia berikrar tak akan menyuarakan hatinya, kecuali jika Semesta berkata lain di suatu kesempatan. Zayn pun tahu, cepat atau lambat Giselle akan menyadarinya.

Yang menjadi perdebatan batin di diri Zayn adalah, apakah salah jika ia mencintai sahabat sejak kecilnya sendiri?

---

AspirationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang