[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]
---
6:00 PM.
Langit mulai gelap. Sisa sinar matahari yang membentuk semburat kejinggaan di langit seakan membuat langit sangat tenang. Awan-awan tipis membuat kesan tambahan untuk dipandang.
Langit di atas sana menunjukkan hal yang sangat banding berbalik dengan yang ada di bawahnya.
Sebagian mahasiswa dan kepolisian yang masih saling melawan membuat keadaan semakin ricuh. Karena itu, korban yang terluka semakin banyak.
Harry mengatur napasnya yang terengah-engah. Ini memang cukup melelahkan. Tapi tak kunjung membuat kobaran api kemarahan di dalam dirinya padam.
Lelaki itu memandang kedua tangannya yang terdapat banyak luka bakar akibat menyentuh lachrymator yang dilempar oleh kepolisian. Kedua matanya bahkan memerah akibat asap dari gas kimia itu. Walaupun sedikit perih, tapi itu tak seberapa dengan korban-korban tak sadarkan diri yang sempat ia lihat tadi.
"Awas!"
Harry sontak menoleh ke belakang ketika salah seorang temannya berteriak padanya. Dengan gesit, lelaki itu melompat ke samping, dan berhasil menghindari lachrymator yang kini telah mengeluarkan asap di mana ia berdiri tadi.
Dengan geram, Harry meraih benda kimia itu dan melemparnya balik ke arah gedung dewan. Dia tak peduli dengan tangannya.
Bibir Harry menyunggingkan senyum miring. "Kami tidak akan kalah, wahai para pejabat tinggi," gumamnya sarkastik.
Raut wajahnya berganti menjadi bingung ketika melihat banyak mahasiswa yang berlarian ke lawan arah. Harry menahan salah satu dari mereka dan mencoba bertanya, namun tidak ada satu pun jawaban yang ia dapat. Mereka seolah harus pergi dari sana secepatnya.
Ketika Harry hendak berlari mengikuti teman-temannya itu, tiba-tiba terdengar suara tembakan dua kali.
"Merunduk!" teriak salah satu dari temannya.
Harry sontak berjongkok seraya memegangi belakang kepalanya. Napasnya semakin menderu akibat ketekerjutannya.
Suara tembakan itu membuat seluruh mahasiswa semakin berhamburan ke segala arah yang tak mengarah ke gedung dewan. Begitu pula dengan Harry, lelaki itu mulai berlari menerobos kepulan asap yang masih tersisa dengan berandalkan insting.
"Harry!"
Suara teriakan itu menghentikan langkah Harry. Harry mengedarkan pandangannya untuk mencari sumber suara, dan matanya membulat terkejut ketika menangkap siluet wanita berlari ke arahnya. Tentu ia tahu siapa pemilik siluet itu.
"Karlie, apa yang kau lakukan di sini?!" pekik Harry cemas ketika dia dan Karlie saling berhadapan. Kedua tangannya meremas bahu Karlie. Tatapan matanya penuh kecemasan dan ketakutan.
Sambil menangis, Karlie berujar, "Aku mengkhawatirkanmu, Harry. Aku takut. Maafkan aku."
Senggukan mulai terdengar dari bibir mungil Karlie, membuat Harry semakin kalut. Harry menghela napas sejenak, lalu membawa tubuh gadis itu ke dalam rengkuhannya. Tangannya mengusap rambut panjang Karlie dengan lembut.
"Sshh. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja seperti yang kau lihat sekarang," kata Harry pelan.
Karlie hanya diam dan mencoba mengatur napasnya. Harry melepas pelukan mereka, lalu mengusap air mata yang mengalir di pipi gadis itu.
Mata Karlie tak lepas dari wajah Harry. Memikirkan betapa khawatirnya ia dengan lelaki yang masih berstatus sebagai mantan kekasihnya itu.
Lalu, secara tiba-tiba mata Harry menatap lurus ke arah belakang Karlie. Wajahnya yang memucat membuat Karlie mulai cemas. "Harry, kau kenapa?" tanya Karlie.
Gadis itu hendak membalikkan badannya, namun Harry kembali menarik gadis itu untuk tetap menghadapnya. Kedua tangan Harry menangkup wajah Karlie. Sepasang iris hijaunya menatap mata Karlie dengan lekat.
"Karl, jika aku memintamu berjanji, apakah kau akan menepatinya?"
"Harry, apa maks-"
"Cukup jawab saja, Karlie."
Meskipun bingung, Karlie menganggukkan kepalanya. Harry tersenyum, senyum yang baru pertama kali Karlie lihat dari wajah Harry. Senyum yang Karlie tak mengerti apa maksudnya.
Tanpa ia duga, Harry mendekap tubuh Karlie, dengan kepala Karlie yang disandarkan ke dadanya. Karlie merasakan tangan Harry yang memeluknya sangat erat, seolah tak ingin dia pergi.
"Karlie, berjanjilah padaku kau akan menjaga orang tuaku, menemani mereka, dan menyayangi mereka seperti kau menyayangi orang tuamu sendiri," kata Harry dengan suara yang bergetar. "Berjanjilah padaku, Karl."
Firasat Karlie mulai menerka-nerka dengan liar. "Harry, tentu saja aku akan melakukannya. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tuaku sendiri."
Dengan posisi yang seperti itu, Karlie dapat dengan jelas mendengar detak jantung Harry yang berdegub kencang. Sama sepertinya.
"Bagus. Terima kasih, Karlie. Aku mencintaimu," ucap Harry.
"Aku juga," sahut Karlie. "Kita akan menemani orang tuamu bersama-sama," ujarnya kemudian.
Tak ada sahutan dari Harry, membuat Karlie bingung. "Harry, kau menangis?" Ia hendak mendongak, namun Harry menahannya.
"Tidak."
"Harry, ada ap-"
Ucapan Karlie terhenti ketika secara tiba-tiba Harry memutar posisi mereka dengan gerakan yang sangat cepat, dan-
Dor! Dor!
Tubuhnya menegang ketika mendengar suara tembakan beruntun itu. Napasnya tercekat, disertai tubuhnya yang bergetar. Dia tak tahu apa yang terjadi, karena tubuhnya masih berada di dalam dekapan Harry. Entah kenapa, suasana seketika hening. Tak ada suara apa pun, bahkan Harry tak kunjung bersuara.
Semakin lama, tangan Harry yang melingkar di tubuhnya mulai mengendur, tetapi tetap tak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Harry?" cicit Karlie pelan.
Dia hendak menarik diri namun terurungkan ketika tubuh Harry seketika lemas dan ambruk di pelukan Karlie, membuat gadis itu terduduk dengan Harry telungkup di pangkuannya.
Karlie terhenyak dan menutup mulut dengan tangannya. Air mata yang sedari tertahan, tak mampu lagi terbendung. Kepalanya menggeleng. "Ti- tidak."
Dadanya terasa terhimpit dinding besar ketika melihat pakaian Harry yang basah karena cairan merah darah segar di punggungnya.
"Harry!" pekiknya seraya membalikkan tubuh Harry perlahan.
Mata Harry terpejam, seolah tak ingin melihat reaksi dari Karlie. Tubuh Karlie semakin bergetar. Tangisnya semakin memilukan.
"Harry, bangun!"
Karlie terus mengguncang tubuh Harry, berharap lelaki itu bangun dan mengatakan bahwa ia tengah bercanda. Karlie menundukkan kepalanya, dan menempelkan telinganya di dada lelaki itu. Dia memejamkan matanya erat ketika tak ada suara apa pun di dalam dada Harry. Tidak ada deguban, tidak ada debaran, dan tidak ada detakan jantung Harry yang seperti melodi bagi Karlie.
"Harry, jangan tinggalkan aku! Harry! Kau bilang kita akan menemani orang tuamu, kan? Maka buka matamu, Harry!" jerit Karlie.
Karlie mendekatkan wajahnya pada Harry, membuat kening keduanya saling menyentuh. Tangannya meremas pakaian Harry. Gadis itu masih dengan derai tangisnya yang semakin keras.
Tak ia sangka, lelaki yang begitu ia cintai setelah Ayahnya pergi darinya untuk yang kedua kalinya. Bahkan, di waktu yang kedua, tak akan ada lagi harapan lelaki itu untuk kembali.
---
so kripi yikes
KAMU SEDANG MEMBACA
Aspirations
FanficBukan tentang kisah perjuangan seorang pejuang negara. Bukan tentang negara yang merdeka atau pun sebaliknya karena pembelaan rakyat. Hanya tentang para mahasiswa dengan segala aspirasi mereka. Tentang sebuah arti kebersamaan yang sesungguhnya, ser...