[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]
---
6:33 PM.Tangan lelaki bersurai pirang dengan sepasang mata sebiru samudera itu tak henti-hentinya mengelus lembut bahu seorang gadis yang tak lain dan tak bukan adalah adik dari sahabatnya sendiri. Walaupun ia bukan seorang wanita, tetapi setidaknya ia juga seorang adik. Jadi, Niall mengerti apa yang Shiny rasakan.
Hari semakin gelap. Felix belum juga menampakkan dirinya, atau bahkan mengabarinya sekalipun. Meski beratus-ratus kalimat menenangkan terlontar dari bibirnya kepada Shiny, tak tertampik pula jika benaknya mulai cemas dan tak keruan.
"Niall..."
Niall sontak merendahkan posisi tubuhnya agar posisinya setara dengan Shiny yang duduk di bangku. Ditatapnya wajah Shiny lekat-lekat. "Ada apa? Kau lapar? Haus?" tanya Niall.
Bibir Shiny menyunggingkan senyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja." Gadis itu menghela napas pelan. "Kenapa Felix lama sekali? Padahal Bibi hanya mengizinkan kami sampai sebelum matahari terbenam."
Lagi. Pertanyaan itu lagi-lagi keluar dari Shiny. Jika Niall menghitungnya, mungkin ini sudah yang ke puluhan kalinya dalam satu jam terakhir.
Tangan Niall bergerak menyelipkan beberapa helai rambut Shiny ke belakang telinga gadis itu. "Aku belum bisa memastikan, tapi kita jangan berhenti berdoa yang terbaik, ya. Semuanya akan baik-baik saja."
Bahu Shiny merosot, lalu kepalanya mengangguk enggan. Bukan itu jawaban yang ia inginkan. Dia hanya ingin kakak satu-satunya itu kembali secepatnya.
Walaupun tahu benak Shiny masih tidak cukup tenang, Niall tetap menampakkan senyumannya.
"Shiny, kau tunggu di sini dulu, ya."
Belum sempat Shiny menjawab, Niall sudah pergi. Shiny terus memperhatikan Niall yang berjalan mendekati seseorang yang ia asumsikan teman sekampus Niall dan Felix.
Niall menghampiri salah satu temannya yang baru saja tiba dari arah gedung dewan. "Josh," panggilnya sambil menepuk bahu Josh.
Josh berbalik. "Ah, Niall."
Niall menyerngitkan dahinya, menyadari raut wajah Josh yang sedikit kalut dan seperti sedang menahan amarah atau mungkin sedih. "Bagaimana keadaannya? Di mana Felix?"
"Pihak tentara sudah mulai mengontrol, tapi masih belum bisa dikatakan kondusif," jelas Josh.
"Di mana Felix?" tanya Niall. "Josh, kenapa kau diam saja?"
Josh menyentuh satu pundak Niall, membuat level kebingungan Niall semakin meningkat. "Niall--"
"Minggir! Beri jalan!"
Ucapan Josh terpangkas teriakan seorang petugas medis bersama beberapa rekannya yang tengah menggotong seseorang menggunakan tandu mereka.
Pandangan Niall terpaku pada pada sepatu seseorang di atas tandu tersebut. Dia sangat mengenal sepatu abu-abu dengan tiga garis putih itu.
Dengan pandangannya yang terus terpaku, tubuh Niall mulai bergetar. "J- Josh, ap--"
"Felix diserang oleh beberapa polisi gadungan."
Satu kalimat yang menjelaskan semuanya. Tapi tidak mampu membuat Niall menemukan penjelasan yang harus ia katakan pada Shinny.
"Tunggu," cegah Niall pada petugas medis yang menggotong tubuh Felix.
"Tapi kita ha--"
"Tidakkah kau mendengarku? Aku bilang tunggu!" bentak Niall, membuat para petugas medis itu terbungkam. Niall jika sudah marah akan sangat menyeramkan.
Para petugas itu pun meletakkan tandu di tanah dan membiarkan Niall mendekati mereka. Niall bersimpuh di samping tubuh Felix yang terbujur.
"Apakah masih bisa selamat?" tanyanya dengan aura dingin yang menguar.
Tidak ada jawaban, membuat napas Niall semakin menderu.
"Jawab!" bentak Niall, namun tatapan matanya masih mengarah pada wajah Felix yang berlumuran darah.
Sentuhan tangan dibahunya membuat Niall menoleh.
"Niall, dia sudah pergi," kata Josh pelan, tangannya yang berada di bahu Niall masih berusaha menyalurkan ketenangan.
Tatapan Niall kosong, kepalanya menggeleng beberapa kali. Jika tahu begini, dia seharusnya melarang keras Felix untuk pergi. Bukan berarti Felix ketua, tapi dia pantas mendapatkan ini. Ini tidak adil.
Tapi, kembali pada takdir. Semuanya sudah diatur. Semuanya sudah memiliki waktunya masing-masing. Rezeki, jodoh, dan juga ajal.
"Kak Felix!"
Niall langsung memeluk tubuh Shiny yang tiba-tiba bersimpuh di sebelahnya. Gadis itu menangis. Air matanya yang terus membentuk aliran sungai kecil di kedua pipinya, tubuhnya yang bergetar, bibir yang mengeluarkan senggukan dan tangisan yang kian tedengar memilukan. Membuat Niall memejamkan matanya, ini terasa begitu menyakitkan.
"Niall... He's gone... He left me alone," lirih Shiny dengan meremas pakaian Niall. Dadanya terasa begitu sesak.
"I'm here. I'll never let you alone," bisik Niall yang masih mendekap tubuh Shiny.
Sahabat satu-satunya harus menjadi salah satu korban jiwa di aksi demontrasi mahasiswa seperti ini. Dia tidak pernah menyangka ini akan terjadi sebelumnya.
Semua orang yang ada di sana hanya diam, bahkan ada yang turut menangis meyaksikan seorang sahabat dan seorang adik yang kehilangan orang tersayangnya.
Niall masih memeluk Shiny yang masih menangis keras dengan sangat erat, berharap dengan begitu semua rasa sakit di hati Shiny berpindah ke dirinya.
"Niall, k- kau bilang semuanya akan baik-baik saja," kata Shiny terbata-bata dengan suara yang teredam di dalam pelukan Niall. Matanya terpejam, tak sanggup menyaksikan darah yang bersimbah di tubuh Felix.
Niall tidak menjawab. Dia tidak tahu harus menjawab apa di saat dirinya juga bertanya-tanya, kenapa semuanya harus berakhir begini.
Tiba-tiba tangisan Shiny berhenti karena kesadarannya yang menghilang. Niall mengguncang pelan tubuh Shiny dan beberapa kali memanggil nama gadis itu.
Lalu Niall menginteruksikan Josh dan para petugas medis untuk mengurus jenazah Felix. Sementara dia menggendong Shiny dan membawa gadis itu ke rumah sakit yang sama yang akan menangani Felix.
---
kok nayel bisa galak?:(
KAMU SEDANG MEMBACA
Aspirations
FanfictionBukan tentang kisah perjuangan seorang pejuang negara. Bukan tentang negara yang merdeka atau pun sebaliknya karena pembelaan rakyat. Hanya tentang para mahasiswa dengan segala aspirasi mereka. Tentang sebuah arti kebersamaan yang sesungguhnya, ser...