LWT 3

96 29 10
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

4:11 PM.

Suara keributan dari gedung dewan mengalihkan perhatian Louis dan Emmily yang tengah berdebat mengenai nama kucing tetangga Louis. Emmily hendak mendekat, namun pergelangan tangannya dicekal oleh Louis.

"Kau mau kemana?" tanya Louis.

"Aku ingin melihat apa yang terjadi di sana, Lou," jawab Emmily sembari berjinjit seolah dapat melihat apa yang ada di balik kerumunan mahasiswa di depannya.

"Tidak, ketua BEM sudah memberi komando agar kita pulang," tolak Louis dengan gelengan kepala.

Emmily berdecak. Akhirnya gadis itu mengalah sambil membuang muka dari Louis. Louis tersenyum simpul.

"Kita tanyakan saja pada dia," kata Louis sambil menunjuk salah satu mahasiswa yang tengah berjalan dari arah berlawanan.

Emmily hanya diam, membiarkan Louis melakukan apapun yang cowok itu inginkan.

"Hey, bung!" panggil Louis. Mahasiswa tersebut menoleh dan berjalan menghampiri Louis dan Emmily.

"Apa yang telah terjadi di sana?" tanya Louis.

"Beberapa detik setelah pembubaran, tiba-tiba ada sekelompok mahasiswa yang menyerang gedung dewan," cerita mahasiswa tersebut, lalu bergidik ngeri entah karena apa.

"Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Louis lagi. Emmily hanya diam mendengarkan.

"Pihak kepolisian berusaha mempertahankan tameng agar bisa menahan mahasiswa-mahasiswa yang menerobos masuk," jelas mahasiswa itu lagi. "Baiklah, aku tidak bisa berlama-lama, karena ada yang harus kuurus di sana," pamitnya.

Louis dan Emmily mengangguk serempak, lalu mengucapkan terima kasih.

"Dengar? Keadaan sedang tidak aman," celetuk Louis, membuat Emmily menoleh cepat ke arahnya.

"I know right," desis Emmily kesal. "Tapi, aku hanya ingin melihat sekilas saja," rengeknya kemudian.

"Ya sudah, kau lihat saja dari sini," ujar Louis santai.

Emmily mendengus. "Kuharap kau sadar kau pun tak setinggi itu."

Louis hanya mengangkat bahu acuh.
Dia sadar baik dia mau pun Emmily sama-sama tak memiliki tinggi badan yang ideal. Tetapi dia tak mempermasalahkannya, dia menyebutnya sebagai kekompakan yang harfiah.

"Lou, aku ingin lihat," rengek Emmily lagi, kali ini lengkap dengan wajah memelasnya.

Louis yang paling tak bisa dengan wajah memelas milik Emmily pun akhirnya menghela napas pasrah. "Baiklah, hanya sebentar. Jika tidak, i don't like you anymore," ancam Louis.

Emmily menaikkan kedua alisnya, dia mengulum bibir untuk menahan tawanya. Ancaman macam apa itu? Apakah Louis pikir mereka adalah pasangan kekasih yang masih berusia sepuluh tahun? Emmily tergelak dalam hati.

"Okay, hanya sepuluh menit."

"Lima menit," potong Louis.

"Lou-"

"Jika tidak mau, ya sudah tak usah," ucap Louis.

Akhirnya Emmily pasrah dan mendengus. Gadis itu pun mulai berjalan mendekati kerumunan mahasiswa yang berada di seberang.

"INGAT! HANYA LIMA MENIT!" teriak Louis dari tempatnya.

Emmily menghadap Louis kembali dengan tatapan jengkel. "YA, AKU TAHU, TUAN!" sahutnya juga berteriak. Kemudian dia memutar kedua bola matanya sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya.

Louis terkekeh pelan sambil mendudukkan dirinya di bangku terdekat, menunggu Emmily kembali. Dia mengatur penghitung waktu di ponselnya lima menit dari sekarang.

Lelaki itu mengedarkan pandangannya pada suasana yang sedikit menegangkan. Kemudian dia mencari keberadaan Emmily yang ternyata masih berada di barisan paling belakang. Dari posisinya, Louis masih dapat menjangkau Emmily yang berusaha berjinjit, bahkan sampai berusaha menerobos.

Gelakan singkat keluar dari mulut lelaki itu, dia bahkan tak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang yang lewat.

Tak lama kemudian, ponselnya bergetar, menandakan bahwa lima menit telah berlalu. "Tak lama juga," kekeh Louis sembari memasukkan benda pipih itu ke dalam sakunya.

Baru saja Louis akan melangkah untuk menyusul Emmily, dia dikejutkan dengan suara debaman yang begitu memekakkan telinga, disusul asap yang mengepul di dekat gedung dewan. Seluruh kerumunan mahasiswa dan mahasiswi seketika berlarian, tak sedikit pula yang memekik terkejut dan ketakutan.

Louis sendiri mulai panik di tempatnya. Tidak. Dia tidak panik akan dirinya sendiri, dirinya panik akan Emmily yang belum juga terlihat.

"Semuanya, kenakan masker kalian! Dan utamakan perempuan!" perintah ketua BEM dengan pengeras suara. Louis pun segera mengenakan maskernya.

Setelahnya, Louis berlari ke arah di mana tadi Emmily berada. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, tetapi ia tak melihat gadis itu.

Jantung Louis seketika berdebar tak keruan. Rasa khawatir dan cemas yang berlebih melingkupi seluruh benaknya. Cowok bermata biru itu berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang berkeliaran di kepalanya.

"Fuck, seharusnya aku tadi menemaninya!" makinya pada dirinya sendiri. Kakinya terus berjalan cepat, dengan tatapan yang fokus mencari. Dia tak bisa membayangkan jika dirinya tak bisa menemukan Emmily.

Kemudian terdengar suara debaman itu lagi. Louis pun baru menyadari jika itu adalah serangan lachrymator  dari aparat. Aparat sialan, batinnya mengumpat kesal.

Hingga senjata kimia tersebut terlempar di dekatnya dan asap yang mulai menutupi pandangan Louis, dan membuat matanya terasa perih. Lelaki Capricorn itu terbatuk ketika asap tersebut menyekat tenggorokannya. Baru ia akan berlari, sepasang matanya menangkap sosok seorang gadis yang terlihat lemas.

"Emmily?!" panggil Louis dengan suara keras. Ada kelegaan di dalam dadanya.

Gadis itu tak menjawab apa pun selain terbatuk. Tahu bahwa gadis itu tak baik-baik saja, Louis menarik cepat tangan gadis itu dan membawanya menjauh dari sana.

Louis mendudukkan gadis itu dan dirinya di salah satu bangku yang jauh dari pelemparan lachrymator, punggungnya menyandar pada dinding bata di belakangnya. Dia menurunkan maskernya, peluh mulai membanjiri hampir seluruh wajahnya. Baik napasnya maupun napas gadis itu sama-sama terengah-engah.

"Em, you okay?" tanya Louis, kepalanya menengok ke samping dan alangkah terkejutnya ketika ia menyadari gadis itu bukanlah Emmily. Seketika rasa cemas kembali merayapinya, bahkan lebih ganas dari sebelumnya.

Tetapi, karena ia telah terlanjur menolong gadis yang tak dikenalnya ini, maka ia tak bisa meninggalkan gadis ini begitu saja. Deru napas yang tak teratur dan wajah yang pucat dari gadis itu lagi-lagi membuatnya mengkhawatirkan Emmily.

Berharap keras dalam hati agar Emmily baik-baik saja, tanpa berucap apa pun Louis memapah gadis itu ke tim medis terdekat setelah menaikkan maskernya kembali.

"Em, tunggu aku, kita akan bertemu," batinnya meracau resah.

Satu gas terlempar tepat di sebelah mereka membuat Louis dan gadis itu sontak merunduk.

Louis berdecak tak suka. "APARAT BAJINGAN! JANGAN HANYA BERANI PADA WANITA! PENGECUT!" umpat Louis tak tertahankan, tak peduli jika bahkan suaranya tak terdengar saking berisiknya suasana saat ini.

Menyadari gadis di sampingnya dan juga dirinya semakin kesulitan bernafas, Louis mengalungkan tangan gadis itu di lehernya, kemudian membantunya berjalan dengan perlahan.

---

AspirationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang