Dahulu sempat mengukir kisah, dimana sejarah sederhana antara dua anak manusia kala kecilnya. Perkara janji yang tak pernah dituntut ketika dewasa, soal perasaan yang tak pernah disadari sejak dahulu kala. Mungkin bukan peristiwa penting yang patut diperingati, atau kejadian luar biasa yang harus dihormati. Setidaknya, perkara ini sangat membakas di hati dua anak cucu Adam yang sudah ditakdirkan bersama sejak kecil. Sebagai bentuk nyata eratnya hubungan antara keduanya.Riyan, bocah lelaki kecil bertumbuh sedikit gembul itu, menangis. Berteriak meraung-raung tanpa berniat untuk menghentikan isakan pedihnya. Bukan perkara kelaparan atau tak dapat uang jajan. Bukan juga pasal tak diberikan makan atau ditelantarkan. Melainkan hanya karena satu kalimat yang diucapkan oleh sahabat karibnya.
"Aku bakalan pergi. Ada keluarga yang mau adopsi aku." Bocah berumur sepuluh tahun biasanya tak mau peduli. Mungkin hanya bersedih sejenak kemudian menganggap semuanya hanya mimpi. Toh, dia punya banyak teman. Seharusnya perkataan itu tak mampu membuat Riyan terluka.
Namun kenyataannya, Riyan tak pernah setuju. Bibirnya mengorasi protes juga tangisan yang menyendu. Ia tak mau kehilangan sahabatnya. Pun tak bisa jika sahabatnya jauh dari jangkauan.
"Enggak! Kamu nggak boleh pergi! Siapa yang kasih ijin?!!" Permen lollipop kesukaannya itu Ia lempar dengan marah, menatap nanar pada sang sahabat yang tampak begitu arogan.
"Umi." Jawab Dana, sang sahabat yang Riyan tak pernah izinkan untuk pergi. "Umi?!!! Kok bolehin Lele pergi?!! Umi jahat!!" Riyan berteriak marah kemudian pada wanita yang dari maniknya, terlihat rasa bersalah yang amat sangat ketika menatap Riyan.
"Bukan salah umi!! Aku yang mau pergi! Aku mau punya orang tua, punya keluarga baru. Kamu nggak ada hak buat larang aku!" Riyan emosi mendengar itu, bibirnya berteriak marah dan sekon selanjutnya tubuh Dana Ia dorong dan Riyan memilih untuk berlari ke kamarnya. Ia benci pada Dana.
Meski tak sepenuhnya benci.
Tidak, Riyan tak pernah bisa membenci Dana.
Bagaimana Ia membenci seseorang yang menemani ketika masa sulitnya. Bagaimana bisa Riyan membenci seseorang yang sudah jadi bagian dari hidupnya.
Ketika itu hujan deras turun, hari terakhir Dana berada di panti asuhan. Hari terakhir Riyan bisa melihat Dana. Namun ketika Dana hendak pergi, Riyan tak ada ditempat. Seakan memperingatkan bahwa bocah itu tak akan pernah setuju akan keputusan yang diambil Dana. Pergi darinya.
Bukan, Riyan bukannya berdiam diri di kamar sembari menangis meratapi kepergian Dana. Bukan pula mencari tempat tersembunyi untuk menenggelamkan diri. Melainkan anak itu berdiri di depan gerbang utama panti asuhan. Terguyur hujan yang kala itu sangat deras, hingga bibir Riyan mengigil sebab dingin yang menusuk tulang, meski hari masih sore.
Riyan pikir, jika Ia berkorban sejauh itu, Dana tidak akan meneruskan niatnya. Jika Ia basah kehujanan, Dana akan memilih untuk tidak pergi dan tetap tinggal bersamanya.
Namun sekali lagi, kenyataan menampar pipi gembul bocah itu. Dana sama sekali tak melakukan apapun. Hanya memandangnya yang balas menatap nanar pada Dana yang duduk didalam mobil. Dana tak mau hirau akan bibirnya yang membiru. Akan tubuh kecilnya yang gemetar. Akan seluruh badannya yang basah kuyup.
"LELE!! KAMU JANJI GAK BAKALAN NINGGALIN AKU!! TAPI KAMU PERGI!!" Riyan berteriak, sekeras mungkin menerobos derasnya hujan di langit sore menjelang malam itu. Paksaan untuk kembali ke dalam rumah oleh Umi tak Ia indahkan, Riyan hanya ingin Dana tak jadi pergi. Tak boleh pergi.
Meski sia-sia, Riyan tak pernah beranjak dari tempatnya. Walau Dana tetap memilih pergi, Riyan sama sekali tak berkutik. Meski tubuhnya tak mampu menahan lelah, yang akhirnya tumbang dan kalah. Harapannya masih berlanjut.
"Lo waktu itu ingkar janji." Persik Riyan yang masih terlihat pucat itu berujar pelan, ingatan lama meminta eksistensi kembali. Pening kepalanya masih terasa.
"Tapi gue akhirnya balik kan. Janji gue masih utuh." Dana menyanggah, kemudian memberikan elusan pelan pada punggung tangan Riyan.
"Halah, kalo gue gak sekarat. Lo gak bakalan mungkin balik. Lo nggak tau apa gimana capeknya gue nungguin lo balik waktu itu? Bego banget gue dulu, mau aja hujan-hujanan segitu lamanya." Dana melirik pemuda itu sembari tersenyum tipis, melihat Riyan sudah bisa mengomel kembali membuka Ia bisa bernafas lega.
"Itu tau sendirinya bego. Suka banget bikin orang khawatir." Riyan mendelik tajam, bibirnya tipisnya mencibir. "Kalo gue gak gitu, lo mungkin gabakal pernah balik Lele!"
Dana terdiam. Masih Ia ingat dengan jelas saat dimana Riyan demam tinggi, bahkan nyaris kehilangan nyawanya. Jika saja waktu itu Ia tetap egois, mungkin sekarang Ia akan dicekik rasa sesal. Bahkan sekarang pun, Dana merasa sangat bersalah. Ketika melihat Riyan sakit saat hujan turun, membuatnya menjadi orang paling buruk di dunia. Karena Ia lah penyebab keadaan Riyan seperti sekarang. Semacam trauma. Sebab ketika hujan datang, alam sadar Riyan berpikir bahwa Dana akan pergi meninggalkannya. Ketakutan terbesar seorang Riyan Baskoro.
"Makasih, kalo waktu itu lo gak tolol buat tetep nungguin gue, mungkin sekarang gue bakalan nyesel."
"Apaan dah,, santuy. Anggap aja dulu gue khilaf. Gak usah ngerasa bersalah gitu, nggak cocok bego." Manakala Riyan tersenyum, Dana bersusah payah menjaga pertahanannya yang hampir tak pernah runtuh, terakhir kali ketika Riyan demam tinggi dahulu.
"Yan, jangan tinggalin gue ya. Lo harus disamping gue sampai kapanpun. Bukan cuma sebagai teman, tapi pendamping. Pendamping hidup Argadana Pahlevi. Mau kan?"
Riyan mengerti. Meski tak ada tuntunan soal status ataupun peningkatan jenjang akan hubungan keduanya, Riyan mengerti apa yang dimaksudkan oleh Dana. Toh memang Riyan tak perlu lagi penjelasan, sebab sejak kecil keduanya sudah tak mampu dipisahkan. Jika hati sudah meminta ranah, semesta tak akan mampu memisah. Takdir pun tak mampu menyanggah, hanya bahagia yang didapat.
"Iya. Gue mau."
-Selesai-
Nggak gantung kan? :") Semoga saja :")
Maafkan kalo aneh ya :")
고마워 ㅇㅇㅇㅇㅇㅇ 💜💜💜
KAMU SEDANG MEMBACA
[12]Petal Fortune 🌼 - Hyunjin x Changbin √
Fiksi Remaja[COMPLETE] Hampir seluruh dari anak cucu Adam dan Hawa sering terjebak dalam hubungan "friendzone". Klasik memang, dan mungkin terkesan mainstream dan membosankan. Tapi disetiap cerita punya masalah tersendiri, yang terkadang jarang sekali dialami...