Mungkin

145 25 0
                                    


Ada keheningan di antara kecanggungan. Kata-kata yang dilontarkan Sarah dan Hana sama sekali tidak membuat Windu sakit hati. Ucapan keduanya terkesan menyindir tapi Windu tidak merasakan apa-apa. Mungkin karena gadis dengan rambut lurus sebahu itu tidak mengerti.

Atau secara kasar dan juga frontal, Ziyanan mengatakan bahwa sikap Windu adalah bodoh.

Satu pertanyaan singkat di akhir sesi presentasi yang Windu lontarkan menjadi asap dari keheningan ini. Dan jawaban atau lebih tepatnya tanggapan dari Ziyanan menjadi api yang terlanjur terbakar, kemudian memanaskan keadaan kelas di tengah teriknya mentari di siang bolong dan juga kipas angin yang rusak.

Sudah tiga minggu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di kelas 1-C Sastra Indonesia berlangsung, dan sudah tiga minggu pula Windu selalu bertanya. Sesuatu yang wajar untuk dilakukan seorang mahasiswa, tetapi seolah dosa jika Windu yang melakukannya.

Wajahku yang tertunduk sedikit terangkat untuk menatap dosen kami yang masih terdiam di meja kebanggaannya. Pak Hanif, pria paruh baya yang benar-benar tidak banyak bicara dalam hal membahas mata kuliah, tapi sangat aktif untuk memberi ceramah kepada mahasiswanya itu tampak mengusap tengkuknya bingung.

"Karena waktunya tinggal sepuluh menit lagi, teman-teman kelompok dua silakan menutup presentasinya, " kata Pak Hanif. "Pertanyaan yang belum terjawab, akan saya bahas minggu depan."

Keheningan itu hilang berganti dengan tepuk tangan meriah untuk mengapresiasi presentasi dari kelompok dua. Ada beberapa orang yang tidak bertepuk tangan. Aku salah satunya. Begitu pula Windu, dan juga Ziyanan.

Sarah yang membawa laptop kembali duduk ke bangkunya. Melewati Windu dengan tatapan sinis dan juga amarah yang tertahan, "Dasar caper. Banyak nanya biar keliatan pinter, tapi pertanyaannya ngawur."

Aku yang duduk di sebelah Sarah bisa dengan jelas mendengar curahan emosinya. Entah dengan Windu yang duduk di bangku depan sana. Yang bisa kulihat dari sosok Windu sekarang adalah punggung kecilnya tampak lebih bungkuk juga gemetar dan kepalanya ikut tertunduk, tanpa minat untuk melihat Pak Hanif yang sedang sibuk mengevaluasi materi. Surai-surai hitam yang biasanya menyampir di balik telinganya tampak jatuh satu-per satu menutupi sisi kiri wajahnya.

"Pak, saya izin ke belakang,"

Belum sempat Pak Hanif buka suara, Windu lebih dulu berdiri dan pergi. Windu menutup pintu kelas dengan perlahan, kemudian berjalan menjauh tanpa sempat menunjukan wajahnya. Ekspresi simpati tiba-tiba tercipta dari wajah-wajah kesal yang selalu merutuki kelas Pendidikan Kewarganegaraan karena kehadiran Windu dan pertanyaan-pertanyaan anehnya.

Teman-teman sekelas yang awalnya sama-sama membidik Windu dengan anak panah mereka, tiba-tiba berpaling dan mengarahkannya pada satu sosok yang lain. Ziyanan.

Bisik-bisik tentang betapa keterlaluannya ucapan dan sikap Ziyanan menjadi topik pembicaraan. Tapi Pak Hanif hanya diam. Sama sepertiku, menutup mulut dan tidak ingin bergabung dengan manusia-manusia labil di kelas ini.

Aku sering kali diam. Atau mungkin, terlalu sering diam. Karena sikap diam itu, aku terbiasa untuk memperhatikan.

Ziyanan adalah pemuda cerdas yang pintar berbicara. Selalu menarik perhatian dosen dan teman-teman sekelas karena kecakapannya. Aku setuju.

Sosok cerdas yang selalu senang ketika mendapat pujian itu seolah-olah dipaksa untuk meredupkan lampu yang menyinarinya. Ziyanan tampak suram. Dan dingin.

Tidak ada raut kesal atau menyesal dari wajah Ziyanan ketika kawan-kawan yang biasa mengaguminya malah sibuk berbisik-bisik tentang sikap buruknya. Walau pun terkesan tidak peduli, aku sebenarnya ingin melihat Ziyanan meminta maaf.

CatastropheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang