Bagian 1: Dari Windu
Ketika seseorang menangis dan merasa lelah hanya karena 'menangis', tidur adalah langkah yang biasa diambil selanjutnya. Begitu pun aku. Saat bangun, yang kurasakan adalah kantuk yang makin terasa menjadi-jadi dan juga pusing di kepala. Di luar cuacanya panas. Tapi kamar Windu cukup sejuk karena ada kipas angin kecil yang bertiup di samping lemari bajunya.
"Makan?"
Pertanyaan pertama yang Windu lontarkan padaku. Kulihat Windu tengah menyendok sesuap sereal cokelat dan susu vanilla ke dalam mulutnya. Aku hanya menggelengkan kepala. Perutku kenyang.
"Sholat nggak?"
Aku menggeleng lagi. Sudah hari kelima aku haid.
"Mau berangkat jam berapa?"
Oke. Kali ini, aku tidak bisa menjawab dengan gelengan kepala. Aku berpikir sejenak sembari mengedipkan mata dengan bingung. Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. "Jam empat...?" tanyaku ragu. Windu menyipitkan mata untuk melihat jadwal yang tertempel di tembok. Kelas masuk pukul 16.10. Ada waktu sepuluh menit untuk berjalan ke gedung perkuliahan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kosan Windu.
"Oke." Balasnya singkat. Aku masih terduduk di atas ranjang Windu dengan bertumpu pada tangan kananku. Kepalaku memiring untuk memperhatikan Windu yang tengah lahap makan serealnya.
"Tadi aku ketemu Sion di warung,"
Apa aku harus memberi tanggapan?
"Waktu Anin tidur." Lanjutnya. Aku tidak jadi bertanya karena Windu sudah memberikan keterangan lebih padaku.
"Iya." Satu kata yang keluar dari mulutku sebenarnya tidak berguna. Sampai Windu kembali bicara dan aku hanya diam, kemudian sesekali menanggapi karena selebihnya aku hanya mendengarkan.
"Sion nyariin Anin. Katanya, flashdisk punya Disa ketinggalan di gue."
"Terus gimana?"
"Aku bilang, biar aku aja yang bawa. Soalnya Anin ada di kosan aku. Eh... Sion malah balik nanya,"
"Nanya apa?"
"Ngapain Disa diem di sana?"
"Kamu jawab apa, Win?"
"Tidur. Anin kecapean, makanya ikut tidur di kosan. Gitu..."
Seulas senyum jelas muncul di wajahku. Cara Windu bercerita, dan cara aku menanggapi, seperti hal nya kakak yang berbincang dengan adiknya yang masih kecil. Aku bersyukur karena Windu tidak mengatakan aku menangis. Atau mengatakan aku sakit. Aku senang karena Windu mau percaya padaku.
"Flashdisk-nya... apa kabar?"
Aku tiba-tiba iseng bertanya. Windu tampaknya agak kaget. Gadis Jakarta itu berhenti menyuap serealnya, kemudian menoleh ke arahku, "Lupa. Habis belanja, aku langsung pulang aja..."
Aku terkekeh geli melihat ekspresi Windu yang polos. Mungkin, aku bisa meminta flashdisk itu nanti pada Sion.
***
Bagian 2: Alkami
Waktu sepuluh menit untuk berjalan ke gedung kuliah sepertinya terlalu sedikit untuk seseorang dengan jalan yang lamban sepertiku. Meski Windu bisa saja berjalan lebih cepat, tapi Windu tidak meninggalkanku. Windu malah mengajakku mengobrol, dan sesekali bercanda tentang tetangga kosannya yang bawel.
Saat sampai di lantai tiga, menuju kelas kami, kulihat lorong sudah agak sepi. Kami mempercepat jalan, dan masuk ke dalam kelas. Beruntung karena dosen kami sepertinya baru datang juga. Aku dan Windu mengambil tempat duduk di jajaran paling depan. Terpaksa, karena jajaran belakang sampai kedua sudah penuh. Mengambil mata kuliah sore berarti harus melawan kantuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catastrophe
General FictionAku ingin bercerita. Bukan tentang aku, tetapi tentang Windu. Tentang Alkami. Dan juga tentang Ziyanan. Untuk menyebut mereka sebagai teman, aku ragu. Karena mereka bertiga punya kehidupan dan cerita yang tidak bisa aku mengerti sampai kapan pun. Wi...