Suatu Pagi

101 25 5
                                    


Mata kuliah pagi adalah jadwal yang paling sering dihindari kebanyakan mahasiswa. Mau itu mahasiswa yang kost atau pun pulang-pergi. Tapi, di universitas ini, mahasiswa semester satu tidak punya pilihan selain mengikuti jadwal yang sudah ditentukan pihak kampus. Tahun depan, akan beda lagi ceritanya. Karena mahasiswa semester dua punya hak untuk memilih jadwal kuliahnya sendiri dalam sebuah perang yang disebut "Pengisian Kartu Rencana Studi".

Semua hal yang dijelaskan di atas, Ziyanan sudah tahu sejak awal. Pun begitu, mau jadwal pagi atau pun siang dan sore, ia tetap berangkat sedari subuh. Dengan Damri dan angkot sebagai kendaraan utama, Ziyanan harus rela menahan kantuk agak tidak kesiangan sampai di kampus. Dan selama beberapa bulan terakhir hidup sebagai seorang mahasiswa baru, Ziyanan tidak pernah mengeluh atau mencoba protes pada siapa pun. Terlebih lagi ayahnya. Meminta motor dan berkendara sendiri seperti Sion juga agaknya tidak mungkin. Dia tidak punya SIM.

Rutinitas pagi Ziyanan saat sampai di kampus biasanya adalah diam. Duduk menyendiri di kelas sampai kawan-kawan yang lain satu per satu berdatangan. Pagi itu, rutinitasnya agak sedikit berbeda. Ada orang lain yang datang lebih awal darinya, tengah tertidur pulas dengan menangkup kepala di atas meja.

Wajahnya mungkin tidak terlihat, tapi Ziyanan tahu itu siapa dilihat dari tas selempang kecil hitam yang menggantung di sandaran kursi.

"Windu...?"

Panggilan yang berupa bisikan itu sudah jelas tidak akan terdengar. Dan Ziyanan memang sengaja agar Windu tidak terbangun.

Ziyanan berjalan perlahan menghampiri gadis itu dan berdiri tepat di depannya. Lama Ziyanan memperhatikan puncak kepala Windu yang tertutupi sura-surai hitam panjang. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyeruak. Windu yang masih terlelap, bergerak menggeser posisi tidurnya. Kepala Windu berputar menyamping ke arah kiri, membuat wajahnya bisa terlihat jelas oleh Ziyanan. Windu nampak tenang. Beberapa helai rambut menempel di kedua pipinya.

Ziyanan masih memperhatikan bagaimana Windu terlihat begitu polos ketika tertidur. Tanpa sadar, ia ikut terduduk di samping Windu. Matanya seakan melekat pada objek tidak bersalah yang sudah ia sakiti di kelas Pendidikan Kewarganegaraan saat itu. Ziyanan menarik bangku yang ada di hadapannya, kemudian menyenderkan kepalanya menyamping agar bisa melihat Windu.

'Maafin gue...'

Gerakan bibir tanpa suara yang tidak akan pernah terbaca sampai kapan pun jika sang lawan bicara tengah tertidur pulas. Ziyanan tahu itu bodoh. Tapi kata-kata sederhana yang harusnya sejak awal ia katakan pada Windu hanya akan menjadi alasan kenapa mereka secanggung ini. Ia tidak bisa mengucapkannya secara langsung. Ia pengecut. Dan itu kesimpulannya.

Ziyanan terbangun dari posisinya, menatap sekeliling kemudian berdiri. Dia berjalan ke arah pintu dan kembali melihat sekeliling.

Sepi.

Sepi sama dengan aman.

Jika Ziyanan tidak bisa berbicara secara langsung, mungkin perbuatan bisa menjadi pilihan.


***


Aku berdiri diam di pelataran lantai satu gedung kuliah sastra. Harusnya, aku segera naik ke atas, ke lantai tiga, kemudian beristirahat agar nafasku tidak terengah-engah saat waktunya masuk kelas. Tapi perhatianku teralihkan pada sosok Ziyanan yang terlihat kebingungan di depan mesin penjual minuman yang baru seminggu lalu datang ke sini.

"Ngapain?" pertanyaanku mungkin mengagetkan Ziyanan karena cowok tinggi itu tiba-tiba tersentak dan melangkah mundur.

"Gue kira hantu!" Ujarnya sambil melotot. Aku mengedipkan mata dan dengan cuek mengalihkan pembicaraan pada pilihan minuman Ziyanan,

CatastropheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang