Jurit Malam dan Drama

84 18 0
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bagian 1: Jurit Malam

Aku selalu suka jurit malam. Bukan karena aku suka dimarahi, tapi aku suka melihat orang lain berakting marah. Semenakutkan apa pun kakak kelas di saat jurit malam, nyatanya mereka cuma pura-pura. Sebelum berangkat ke Lembang, pernah aku tanya apa alasan Windu tidak mau ikut ospek karena jurit malam, Windu jawab itu salah satunya

Windu bilang kalau mentalnya mungkin lemah karena Windu terlalu over thingking terhadap segala ucapan dan perbuatan orang lain kepadanya. Windu selalu cemas dan takut jika dia berbuat salah.

Menjadi orang seperti Windu bukan hal yang buruk 'kan? Memangnya siapa juga yang mau punya sifat seperti itu jika bukan hal bawaan?

Namanya Azizi.

Teman sekelas, yang juga teman sekelompokku di ospek jurusan. Salah satu teman yang baik, aktif dan pintar bersosialisasi. Azizi cukup akrab dengan banyak orang, termasuk Ziyanan. Walau pun banyak perbedaan antara Windu dan Azizi, tapi sifat over thinking Azizi mengingatkan aku pada Windu.

"Emangnya gue salah, ya, Dis? Tadi Kak Sinta kok ngeliatinnya gitu? Kalau dia musuhin gue di kampus, gimana, Dis? Gue takut..."

Aku menggelengkan kepala sembari mengusap-usap pundaknya. Saat semua kelompok sedang berbaris di tengah lapangan, Azizi sedikit mengobrol dengan teman yang berdiri di sampingnya. Azizi juga sempat bercanda dengan guide kami, walau pun cuma sebentar. Sebenarnya bukan hanya Azizi saja yang mengobrol, tapi banyak yang lain. Mungkin gadis itu sedang sial. Dan Sinta –salah satu anggota Komdis langsung mendelik tajam mengisyaratkan Azizi untuk diam.

"Namanya juga komdis, Zi. Kalau nggak judes, nggak diterima." Kataku dengan sok tahu. Ya mana ada persyaratan jadi komdis harus jadi orang judes dulu?

Azizi tampak lebih tenang. Sikap tenangnya itu kembali membuatku teringat pada Windu. Walau pun sedang cemas dan ketakutan, mereka tidak menangis. Hanya saja mereka terlihat panik.


"Kelompok tujuh, delapan, sembilan! Masuk barengan! Jagain temennya, jangan sampai hilang! Kalau ada yang hilang di hutan, kalian yang tanggung jawab!"

Teriakan dari salah satu panitia bergema, membuat nama kelompok yang dipanggil berdiri dan segera berbaris rapi untuk memasuki hutan. Hutan yang dimaksud tentu bukan hutan belantara sungguhan. Hanya saja tempat itu gelap, penuh dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang dan semak belukar dimana-mana.

Aku menengok ke arah samping ketika melihat kelompok Sion juga bersiap. Kami masuk beriringan ke dalam hutan. Bermodalkan satu senter yang dipegang orang paling depan, kami harus berpegangan pada pundak satu sama lain agar tidak terpencar.

Baru lima puluh meter berjalan, tiba-tiba sekelompok panitia lelaki berhamburan di depan kami dengan pakaian serba hitamnya. Aku pernah dengar tentang kegiatan ini dari salah satu kakak kelas yang bilang kalau mereka akan mengambil senter kami dan menarik tangan kami agar terlepas dari barisan. Kelompok yang tidak lengkap atau kehilangan anggota akan diberi hukuman di depan api anggun –biasanya dimarahi dengan dikelilingi semua peserta. Sedangkan kelompok yang lengkap akan diberi dua senter tambahan.

CatastropheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang