Parasit

79 25 0
                                    


Sejak kecil sampai sekarang, aku belajar bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian. Sekali pun aku pendiam dan lebih suka menyendiri, aku tetap butuh orang lain. Seiring waktu berjalan, artinya manusia bertambah tua. Bertambah tua seharusnya juga bertambah dewasa. Circle pertemanan yang awalnya terdiri dari beberapa orang, lambat laun juga akan berkurang. Setidaknya, itu yang aku rasakan.

"Mau ke kosan nggak?"

Sehabis mata kuliah pagi ini, tiba-tiba Windu mengajakku mampir ke kosannya dengan alasan yang bisa aku tebak. Windu pasti tahu kalau aku tidak punya teman dekat yang bisa aku kunjungi kamar kosnya, lalu tidur dan makan seolah-olah aku si pemilik kamar. Walau pun aku cukup dekat dengan Ninda, dengan Bella dan dengan Tia, aku tidak bisa seenak jidat berkunjung ke kosan mereka. Ketiganya punya circle pertemanan masing-masing. Dan aku, tidak mau masuk di antara ketiganya.

"Nanti, deh. Kapan-kapan. Aku mau ke perpus aja dulu..."

Kulihat wajah kecewa terlukis di wajah Windu. Sudah tiga kali Windu mengajakku ke kosannya, dan sudah tiga kali pula aku menolak dengan alasan yang berbeda.

"Nanti itu kapan, Anin?" tanya Windu agak memaksa.

"Ya..., kapan-kapan. Hehe..."

Windu menggembungkan pipinya dan kembali berjalan menuruni tangga bersamaku. Saat sampai di lantai bawah, ada Ziyanan dan temannya –yang juga teman sekelasku. Namanya Sion.

"Dis, pulang?" tanya Sion padaku. Aku refleks menggelengkan kepala. Perhatianku malah tertuju pada Ziyanan yang tampak canggung dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ke arah mana pun, selain tempat dimana aku dan Windu berdiri untuk menunggu ucapan Sion selanjutnya.

"Kerkom, yuk. Di fakultas."

Aku menautkan kedua alis, menatap Sion dengan tatapan bingung. Cowok itu balik menatapku sambil berkata, "PKN..."

"Ah..."

Aku mengangguk-angguk bodoh karena lupa tentang tugas kelompok itu. Kalau boleh memberi alasan, aku memang sengaja ingin melupakannya. Satu kelompok dengan tiga anak laki-laki yang belum terlalu aku kenal, jujur saja, aku tidak nyaman.

"Emang Anin sekelompok sama dia juga?" Aku menoleh saat Windu berbisik padaku. Lalu berganti menoleh pada Sion.

"Aku, Sion, Arief, Dicky. Empatan 'kan?" tanyaku memastikan.

"Iya, berempat doang. Si Jiyan mah ikut-ikutan hungkul, Dis."

"Ikut-ikutan?"

"Iya. Ditinggal di kosan si Arief, katanya nggak mau sendirian. Kalau kamu yang diajak ke kosan, bahaya. Ya, kali, kita bawa anak cewek ke kosan khusus cowok..."

Aku lagi-lagi mengangguk. Kulihat Ziyanan kali ini sedang mencuri-curi pandang pada Windu yang tengah menunduk untuk memainkan ponsel di tangannya. Kata-kata sederhana itu belum sempat terucap dari mulutnya. Yang aku tahu, Ziyanan ingin mengungkapkannya sesegera mungkin. Tapi ada sisi egois dari dalam dirinya yang membuat kata-kata sederhana itu tidak pernah tersampaikan pada Windu.

"Win, mau ikut ke fakultas nggak?"

Windu tersentak saat aku tiba-tiba bertanya. Sekilas, Windu melirik Ziyan yang ada di depannya kemudian menatapku sembari menggelengkan kepalanya, "Aku pulang aja deh. Mau beli makan dulu, belum sarapan..."

Alasan yang bagus, pikirku.

Windu tidak mau dekat-dekat dengan Ziyanan. Sebisa mungkin, Windu akan menghindari Ziyanan. Hanya itu yang aku tahu.

Setelahnya, aku berjalan pergi, meninggalkan Windu yang masih nampak diam di dekat mesin penjual minuman. Aku melambaikan tangan pada Windu, dan Windu membalasnya. Ketika aku berjalan semakin jauh, aku kembali menoleh hanya untuk melihat Windu. Perasaanku tidak enak. Windu masih tersenyum dengan kedua tangannya yang masih sibuk melambai ke arahku.

CatastropheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang