Sebuah Buku

70 21 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jakarta."

"Lu dari Jakarta juga? Sama, gua juga dari sana. Jakarta Timur. Lu dimana?"

"Saya dari Jakarta Utara."

"Oh..."

"Nama kamu Windu 'kan? Mau jadi temen saya, nggak? Saya punya kenalan dari kelas yang lain, tapi dari kelas C belum ada."

Windu tersenyum sumringah kemudian mengangguk, "Boleh. Gua juga nggak punya temen dari kelas lain."

Seperti mendapatkan jack pot, Windu mulai membuka diri pada sosok lelaki yang sedari tadi mengajaknya mengobrol tetapi ia hanya menanggapi seadanya. Mendengar nama kota tempat kelahirannya, Windu merasa senang.

Di jurusan Sastra Indonesia angkatan sekarang, hanya ada tiga orang mahasiswa yang berasal dari Jakarta. Arief, salah satu teman sekelasnya juga dari sana. Tapi Windu tidak terlalu suka ada di dekat cowok itu. Dia terlalu akrab dengan Dicky dan kawan-kawannya, termasuk Ziyanan.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan Ziyanan selalu Windu coba untuk hindari. Tapi segala sesuatu tentang kelas ini selalu berpusat pada Ziyanan. Pada akhirnya, Windu sendiri lah yang terhindar dari kelas ini. Beruntung karena Anindisa ada untuknya, juga mau menjadi temannya.

"Suka baca buku, ya?" tanya Windu dengan antusias. Windu tahu kalau Alkami berasal dari kelas lain. Jika Windu tidak bisa mendapatkan lebih banyak teman dari kelas ini, maka Windu akan coba untuk mencarinya dari kelas Alkami.

"Suka. Hobi." Jawab Alkami seadanya. Alkami menatap Windu lama saat gadis itu tengah terfokus pada buku yang ada di atas mejanya.

"Mau pinjam?"

Windu sedikit tersentak. Matanya berkedip bingung sembari memperhatikan buku tebal yang sekarang tengah dipegang Alkami. Warnanya gelap, campuran antara hitam, merah dan... cokelat?

AMBA.

Tertulis judul besar berwarna putih di halaman depannya. Windu sedikit menimang-nimang. Ia teringat pepatah yang mengatakan bahwa kita tidak boleh menilai buku dari covernya saja.

Iya. Windu tidak pernah begitu jika dalam makna konotosi atapun denotasi. Karena pada kenyataannya, Windu menilai suatu buku dari tebalnya.

"Itu berapa halaman?" tanya Windu sebagai pengalihan.

Alkami membuka halaman terakhir dan menunjukan angka 494 pada Windu. Windu tersenyum palsu sebagai balasan. Windu benar-benar ingin punya teman dari kelas lain. Kalau Windu menolak, Windu merasa tidak enak. Kalau Windu terima, berapa lama waktu yang harus Windu habiskan untuk membaca buku ini?

Windu tidak betah menatap buku lama-lama. Apalagi kalau ceritanya berat. Jika dalam sehari ia membaca satu halaman –bukan satu kertas, maka dalam setahun Windu hanya akan menyelesaikan 365 halaman. Ah... Windu ingin mengeluh rasanya. Tapi Windu tidak mau mengeluh di depan teman yang baru ia kenal dalam kurun waktu beberapa menit ini.

CatastropheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang