Yang Sebenarnya dan Robi Bala

120 17 1
                                    


Bagian 1: Yang Sebenarnya

Dulu aku pernah bilang kalau aku menganggap Windu hanya sebatas teman sekelas, tidak lebih dan tidak kurang. Sampai hari ini pun tetap begitu. Aku juga pernah bilang kalau semakin dewasa seseorang, lingkaran pertemanannya pun juga akan semakin berkurang. Hanya beberapa orang yang kita anggap penting, dan menganggap kita penting saja yang akan bertahan. Sebenarnya, aku tidak tahu ini benar atau tidak. Aku hanya asal bicara.

Membahas tentang circle atau 'kubu' dalam pertemanan, hari ini aku merasakan kebebasan yang nyata dari istilah tersebut. Tiga orang –yaitu aku, Windu dan Azizi adalah sebagian kecil dari orang-orang yang tidak 'berkubu' di kelas kami, sedang mengerjakan tugas kelompok yang anggotanya dipilih secara acak oleh kosma.

Kami benar-benar kerja kelompok. Tugas yang ada dibagi secara merata, kemudian dikerjakan masing-masing sesuai perintahnya. Walau pun terkesan individu, tapi ini lebih baik daripada kerja kelompok biasanya.

Selama tiga puluh menit, kerja kelompok kami berjalan lancar. Azizi dan Windu kali ini tidak banyak bicara, padahal aku selalu menjadi pendengar setia yang baik untuk keduanya. Mungkin mereka canggung.

Bagimana pun, Windu dan Azizi tidak terlalu dekat seperti aku yang dekat pada keduanya. Sebenarnya, bisa saja aku jadi penengah di antara mereka untuk menjadi dekat. Tapi aku tidak mau jadi Mak Comblang dadakan yang hanya akan membuat mereka tidak nyaman, dan merasa jauh lebih awkward.

Azizi juga bukan merupakan bagian dari orang-orang kelas yang 'menghindari' Windu. Hubungan timbal balik antara Windu dan Azizi ada ketika mereka punya kepentingan satu sama lain. Mereka akan berkomunikasi ketika ada butuhnya saja. Dan itu tidak jadi masalah. Begitu pendapatku.

Setelah hampir satu jam mengerjakan tugas –ditambah obrolan-obrolan ringan yang tidak penting, akhirnya Azizi mulai buka suara kembali. Topik pembicaraan yang dia bawakan cukup menarik perhatian Windu –yang dengan segera memberhentikan pekerjaannya.

"Tapi janji, ya, kalian jangan cerita ke siapa-siapa?" Azizi memulai dengan memberikan sebuah syarat. Windu langsung setuju, sedangkan aku yang masih fokus mengerjakan tugas hanya ikut-kutan saja dengan cara mengangguk. Bagus kalau mereka saling mengobrol satu sama lain. Biarkan aku menjadi pendengar yang sesekali menguping pembicaraan mereka.

"Waktu osjur kemarin, banyak maba yang nggak ikutan 'kan? Makanya, dana itu kebanyakan habis buat logistik, konsumsi dan lain-lain. Duit buat sewa tempat cuma sisa dikit, jadi panitia cari-cari tempat yang murah. Terus aku denger-denger nih, villa yang kita pake itu sebenernya udah di-black list hampir semua jurusan dari UP."

"Villa-nya 'kan bagus. Bersih sama keliatan mewah lagi. Kenapa di-black list?" Windu bertanya dengan heran. Setelah melihat-lihat foto yang aku kirim via chat waktu itu, Windu bahkan bilang dia ingin liburan ke sana bersama keluarganya.

"Soalnya berhantu. Katanya sih, dulu itu tempat orang-orang bundir gitu,"

"Jangan nakut-nakutin, ah, Zi! Kamu tau darimana?"

Aku melirik sekilas pada ekspresi Windu yang tidak percaya sekaligus takut di waktu bersamaan.Kemudian pada Azizi yang berwajah datar, namun terlihat serius.

"Gue dapet info ini dari temen di jurusan fisika, Win. Dia diceritain kakak tingkatnya yang pernah ospek di sana. Dulu sih banyak banget kasus kesurupan, soalnya waktu itu mereka belum pada tau gimana angkernya villa itu..."

"Tapi, waktu osjur kemarin nggak ada yang kesurupan 'kan?" tanya Windu memastikan. Azizi berpikir sejenak, sebelum kembali bicara dengan nada yang ragu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CatastropheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang