•03. Demam•

20.7K 1.2K 37
                                    

"Kamu terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti."

-Barrabas Mahesa-

°°°°°°°°°°°

"Heksa! Heksa! Heksa! Heksa!"

"Iya, Ma." Heksa meletakkan pensil yang ia gunakan untuk menggambar lalu berlari kecil menuju kamar mamanya karena mendapat panggilan yang seperti sedikit menuntut.

Dari nada suara Killa, Heksa bisa memastikan bahwa ada sesuatu yang penting terjadi. Sama seperti waktu itu. Killa kontraksi saat di rumah hanya ada Heksa saja. Heksa masih ingat bagaimana perjuangan seorang ibu kala itu. Meskipun, Heksa waktu itu masih terlampaui kecil, ia mengetahui hal-hal yang seharusnya tak diketahuinya.

Hidup Heksa penuh keberuntungan sejak bertemu Barra dan Killa. Dua insan yang membawa cahaya terang dalam hidupnya.

"Ma, ada apa?"

"Heksa, kamu tolong ambilin hape Mama di laci bawah meja," Killa menepuk-nepuk pantat Rere yang tengah merintih diselingi isak tangis pilu dari bibir tipisnya. "Rere, apanya yang sakit? Kenapa nangis terus."

"Hua... hua... hua..." Rere malah semakin menangis kencang.

Al yang tidur di box bayi mulai menggeliatkan tubuhya, terganggu karena suara kencang Rere.

"Kamu telepon Papa kamu. Suruh pulang sekarang."

Heksa mengangguk. Mengikuti perintah Killa untuk menghubungi Barra. Di detik-detik pertama sambungan teleponnya terhubung, belum ada niatan untuk diangkat. Sudah lebih dari lima panggilan Heksa lakukan. Namun, Barra tetap tidak meresponsnya.

"Papa kamu itu kebiasaan, teleponnya pasti ditinggal-tinggal pas meeting," gerutu Killa kesal.

"Rere kenapa, Ma?"

"Kayaknya mau pilek ini dia, demam juga," Killa hampir menangis saat ini. Matanya memerah. Bingung tidak bisa menenangkan Rere.

"Al, sini main sama Kakak." Heksa membawa Al turun dari box bayinya, sebelum adiknya itu menangis karena tak mendapat perhatian dari mamanya.

"Heksa, kamu tolong ambilin sirup paracetamol di kotak obat," Killa berjalan mondar-mandir seraya mencoba menenangkan Rere yang masih menangis. "Dan tolong ambilin kompres juga. Badannya Rere panas banget."

"Iya, Ma..." Heksa beranjak berdiri setelah memberi Al mainan robot.

Killa bersyukur, Al tidak rewel seperti Rere. Yang membuat Killa bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Rere menjadi rewel? Demam dan flu melanda tubuh mungilnya. Rere yang biasanya selalu aktif bergerak lincah ke sana-sini, tidak bisa diam. Kini, Rere hanya bisa merintih menangis dalam gendongannya dengan suhu tubuh tinggi.

Tangan Killa terkepal. Nanti saat Barra pulang, Killa akan mengomelinya panjang kali lebar. Mengapa laki-laki itu tidak bisa diandalkan? Apa hanya Killa saja yang bertugas menjaga anak-anak? Lalu tugas Barra sebagai kepala keluarga hanya mencari nafkah?

Killa harap, tidak seperti itu.

"Ini, Ma..." Heksa meletakkan semua yang Killa pinta untuk diambilkan tadi.

Killa mulai membaringkan lagi tubuh Rere di atas kasur. Rere menangis lagi, malah semakin kencang. Heksa mengambil boneka Barbie kesayangan Rere lalu mulai menggerak-gerakkannya, seakan boneka itu bisa berbicara. Tangan Rere mencoba menggapai boneka itu lalu Heksa berikan pada adik kecilnya.

"Adek Yeye, minum obat dulu, ya. Biar cepet sembuh dan bisa main boneka lagi."

"Huaaaa!" Rere berontak saat Killa mencoba meminumkan sesendok sirup paracetamol itu. Ia memang masih bayi, tapi ia sudah bisa merasakan rasa-rasa, termasuk rasa pahit.

All Out of Love 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang