awal

84 3 0
                                    

"Bangsat kamu, ya? Kamu kira uang saya selama ini yang saya kasih ke kamu itu buat apa? Senang-senang? Wanita jalang!"
"Hey! Lo kalo ngomong dijaga, ya?! Kalo gue gak nikah sama lo, gue gak akan sengsara sama anak lo itu! Kalo lo dulu enggak ngemis ke keluarga gue buat nikahin gue, gue gak bakal terkurung sama lo dan anak sialan lo itu!"
"Jaga omongan kamu, ya, Seranda! Binar itu anak kamu, bukan orang lain, sudah seharusnya kamu jaga dan mendidik dia, bukan malah sibuk main-main sama cowok di luar sana dan ngabisin duit saya tiap hari."
"HAHAHAHAHAHA! Sadar diri dong lo, bajingan! Kalo gue main sama cowok di luar sana, terus sebutan buat lo sama sekretaris lo itu apaan? Kata selingkuhan masih terlalu suci buat lo yang menjijikan, ngaca! Kalo bukan karena lo yang selalu tidur sama sekretaris lo itu, gue enggak akan kayak gini, sialan!"

Cukup. Binar menutup pintu kamarnya lalu bergegas naik ke tempat tidur. Rasanya seperti sudah terbiasa mendengar pertengkaran yang diiringi saling caci itu, namun walau sudah terbiasa, tetap saja ada rasa nyeri dalam hatinya. Binar menarik selimut, lalu menutup seluruh tubuhnya. Ia membuka ponselnya di dalam selimut dan segera menghubungi sahabatnya, Arunika.

Pada nada panggilan pertama, telepon itu langsung diangkat dan disapa oleh seseorang di seberang sana.

"Halo, Nar?"

"Aru, Papa dan Mama bertengkar lagi."

Terdengar hela napas di seberang sana.

"Ya udah, jadi lo mau ke rumah gue?" tanya Arunika kemudian. Memang, setiap ada pertengkaran di rumah, Binar akan mengemasi barang-barangnya dan mutasi ke rumah Arunika untuk beberapa waktu. Sampai ia rasa kondisi rumahnya mulai pulih, sebenarnya tidak ada yang benar-benar pulih, pulih bagi Binar adalah jika tidak ada pertengkaran untuk sementara waktu.

"Iya, bilang ke Kak Gema buat jemput gue bisa 'kan, Ru?"
"Oke, Kak Gema baru pulang kayaknya, gue bilang dia, ya? Lo siap-siap aja."
"Thank you, Ru."
"Anytime, Nar."

Telepon dimatikan. Tanpa banyak berpikir lagi, Binar segera mengemasi beberapa pakaian-pakaiannya dan juga barang-barang tulisnya yang akan ia pakai berkuliah. Tidak lupa, Binar memasukan boneka beruang yang pernah diberi oleh Papanya. Karena yang tersisa dari sebuah kasih sayang orangtua-nya, adalah sebuah boneka beruang mati yang bagi Binar itu merupakan simbol cinta sang Papa untuknya.

Setelah beres, Binar segera keluar dari kamarnya, membiarkan beberapa barangnya yang masih urakan di kasur dan lantai kamar, ia mengunci pintu kamarnya. Mendengar barang pecah yang pasti karena dibanting, Binar bergidik ngeri. Seharusnya kalau enggak saling cinta, enggak usah nikah. Nyusahin. Batin Binar.

Ia melangkah menuruni tangga, jaga-jaga juga karena ia tidak ingin kedua orangtua-nya melihat dia. Situasi seperti ini tidak pernah ia inginkan untuk terjadi, dan ia tidak pernah berharap untuk menjadi alasan kedua orangtua-nya bertengkar. Ia tidak bersalah atas apapun, ia tidak pernah minta untuk dilahirkan ke bumi, dan tentu saja ia tidak mau dijadikan kesalahan.

Suara kedua orangtua-nya yang masih bertengkar menjadi instrumen pengiring langkahnya keluar dari rumah. Setelah tiba di luar, Binar mengembuskan napas lega, setidaknya ia bisa mengerjakan tugas-tugasnya malam ini tanpa suara-suara itu lagi. Telinganya sudah sakit menggunakan earphone terus untuk menutup telinga dengan musik full volume agar tidak mendengar keributan itu.

Sebuah mobil sudah terparkir di depan gerbang rumahnya yang belum digembok, dan Binar tahu itu adalah Gema. Kakak-nya Arunika. Tanpa menunggu disuruh masuk oleh Gema, Binar segera masuk ke mobil dan duduk di sebelah Gema, ia meletakkan tas ranselnya di bagian kursi tengah. Mobil pun melaju meninggalkan rumah yang sudah lama berubah menjadi neraka dunia-nya.

The Nights [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang