"Lho, kenapa gitu Kak? Kita bisa biarin Binar tinggal di sini selama ia mau, Kakak maksudnya mau ngusir Binar dari sini?"
Dicecar pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya terpojok semakin membuat Gema merasa kalang kabut. Ia tidak bisa menyalahkan siapapun atas hal-hal yang menimpa hidup orang-orang di sekitarnya, lalu kini ia ingin memaki habis-habisan perasaannya yang tak bisa diajak kerja sama memahami situasi. Gema menatap Arunika dengan tatapan menyesal dan sedih.
"Maaf, Ru. Tapi ngebiarin Binar lama-lama di sini sama aja kita ngedukung dia lari dari masalahnya. Dia harus pulang ke rumahnya dan bicara dengan Om Galih." Sialnya, ia semakin mengeluarkan kata-kata yang malah menyakiti perasaan adiknya itu.
"Aku enggak nyangka Kak Gema bakalan bilang kayak gitu setelah banyak hal yang terjadi sama Binar, apa Kak Gema ini sudah hilang hati dan iba pada Binar? Kakak tahu kan Binar perlu tenangin dirinya dulu---"
"Arunika, bagian mana yang menurutmu Kak Gema enggak peduli sama Binar? Coba kasih tahu?"
Arunika terdiam. Melihat adiknya yang terdiam seribu bahasa dan tak berniat menjawab pertanyaannya, Gema pun terkekeh.
"Suruh Binar pulang. Dia enggak boleh di sini selama hidupnya belum beres." Lalu Gema pergi ke kamarnya dan tidak keluar lagi.
Arunika merutuk semesta. Ia pikir mereka bertiga akan makan malam bersama, hingga sup di atas meja mendingin dan semua bahan masakan kembali ia masukan ke dalam kulkas, tidak ada siapapun yang keluar dari kamar. Arunika pergi ke kamarnya, hendak memeriksa keadaan Binar. Tetapi yang ia dapati pintu kamarnya terkunci. Berulang kali ia coba menggedor-gedor pintu dan meneriakan nama Binar, tak ada jawaban sama sekali dari dalam. Arunika pun memanggil Gema dan meminta Gema untuk mendobrak pintu. Tak ada yang bisa Arunika lakukan selain meneriakkan nama Binar.
Pintu akhirnya bisa terbuka. Dengan tergesa-gesa keduanya masuk ke dalam kamar dan mencari Binar, lampu kamar mati dan gelap, sama sekali tak menandakan ada kehidupan di dalam sana. Arunika menyalakan saklar lampu lalu keduanya nyaris mati ketika melihat tubuh Binar yang tergantung di tengah-tengah kamar.
Benar. Gadis itu gantung diri, dengan ikatan selimut yang diikat di langit-langit kamar, mengikat erat lehernya. Ada kursi tepat di bawah kakinya yang tergeletak kacau. Tubuh Binar kaku, tetapi mata gadis itu tetap terbuka menampilkan raut wajah yang menyeramkan.
Arunika menjerit histeris. Gema terkejut hingga membuat dadanya sesak. Arunika mendekati tubuh Binar yang tergantung itu dengan perasaan sakit yang luar biasa. Ia terus meneriakan nama Binar, histeris dan kacau. Sementara Gema dengan cepat berusaha melepaskan selimut yang mengikat leher Binar. Walau laki-laki itu tahu, ia sudah terlambat dan semua itu karena ulah bodohnya.
Tubuh Binar yang dingin digendong oleh Gema dan mereka membawanya ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dengan cepat mereka memanggil perawat dan para perawat pun meletakan Binar di UGD. Beberapa menit berlalu dengan penuh kesakitan, Dokter kembali dan mengatakan pada Arunika dan Gema yang tengah kalut.
"Dia sudah meninggal. Bahkan sudah hampir beberapa jam, sebab tubuhnya sudah dingin dan mulai membiru."
Selesai. Mereka benar-benar luruh dan Arunika jatuh ke lantai. Menangis. Meraung-raung, hilang harapan dan kacau mencabik-cabik perasaannya. Ia memukul Gema yang hendak memeluknya, mencaci Gema dengan sisa-sisa kekuatan yang ia punya. Ia benci Gema, dan bersumpah ia merasa sangat berdosa pada sahabatnya itu. Baru saja beberapa jam yang lalu ia pulang, membawa kebahagiaan yang Arunika tunggu-tunggu. Nyatanya, secepat itu pula kala merenggut segalanya.
Hingga pemakaman Binar usai. Galih mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya pada Arunika dan Gema lalu mereka kembali ke rumah masing-masing, Arunika masih tak berhenti menangis dan meraung-raung. Gadis itu masuk ke dalam kamar dan mengurung diri di sana hingga malam mengambil alih langit. Ia memperhatikan langit-langit kamarnya, di mana Binar bunuh diri dan menyudahi perjalanan hidupnya.
Apa kah sudah benar-benar selesai? Mengapa secepat ini Binar pergi? Arunika tergugu. Tetapi beberapa saat kemudian ketika ia sedang duduk menangis di tepi kasurnya, ia melihat secarik kertas di atas nakas. Sebuah surat. Surat yang ditulis oleh tangan Binar. Arunika membacanya dan sangat-sangat menyesali segala hal yang terjadi dalam hidup mereka. Arunika terbaring lemah. Tak sanggup membuka matanya, setiap kata yang ada dalam surat itu benar-benar menyakitinya. Ia harap, semesta segera hancur, hidupnya segera berakhir, ia ingin menyusul Binar, memeluk gadis itu dan meminta maaf.
Arunika mengabaikan panggilan Gema di pintu kamarnya. Ia tetap menatap nanar pada kertas yang masih ia genggam itu. Surat terakhir dari Binar. Surat terakhir sebagai perjalanan kisah persahabatannya. Ia harap Binar akan baik-baik saja di sana. Ia berharap Binar tidak akan mendapat mimpi-mimpi buruk itu lagi. Arunika meremas surat itu erat-erat. Semuanya sudah selesai.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•TAMAT•
✨✨✨✨
Halo!!! Thank you buat kalian yang sudah menyempatkan mampir ke cerita absurd ini hehe. Iya, maaf karena kisah ini pasti jauh banget dari ekspektasi kalian. Terima kasih sudah mau kenalan sama Binar, dkk. Aku akan tulis kisah Arunika sesegera mungkin. Siapin hati kalian ya buat baca nanti.