1

4 0 0
                                    

"Valeria Adila Gunawan," panggil guru fisika yang sedang mengabsen murid di kelas itu, XI IPA 3. Suaranya menggelegar mengisi kelas yang sunyi senyap itu. Sekitar dua puluh murid di dalamnya semuanya diam dan menunduk, enggan mengeluarkan suara apa pun.

Mendengar nama tersebut dan si pemilik nama tak kunjung memberi tanda kehadiran, dua orang di dalam kelas itu memberi reaksi berbeda.

Seorang perempuan di barisan ketiga dari depan menepuk keningnya sambil berharap-harap cemas. Dalam hati ia mengomeli sahabatnya itu yang bisa-bisanya bangun telat di hari Rabu. Maksudnya, pelajaran pertama di hari Rabu adalah fisika, dengan guru yang terkenal sangat disegani seantero sekolah, dan si Valeria Adila Gunawan masih bisa telat? Ia tak habis pikir.

Orang yang lainnya adalah seorang laki-laki di tempat duduk barisan belakang. Dengan kepala menunduk dan bersembunyi di balik tudung hoodie biru tuanya, tidak ada yang memperhatikan senyumnya yang mengembang kala nama itu disebut. Berbeda dengan sahabat si cewek tadi, cowok ini hanya mengulas senyum tipis dan menggelengkan kepala tanpa ada yang menyadari. Teman sebangkunya sekalipun, karena selama jam pelajaran fisika, seisi kelas tidak pernah melepas pandangan dari depan.

"Valeria Adila Gunawan," ulang Pak Eko, sang guru laknat, untuk yang kedua kali dengan nada suara ditinggikan. Panggilan yang ketiga setelah ini tidak menentukan terlambat atau tidaknya seorang murid, melainkan masuk atau tidaknya murid tersebut.

Masih tidak ada yang menyahut. Pak Eko membenarkan kacamata bulatnya dan berdeham kencang. Selang tiga detik, ia kembali memanggil.

"Valeria Adi—"

Tapi panggilan ketiga yang terkutuk itu sukses dipotong oleh suara pintu kelas dibuka lebar. Dari balik pintu muncul seorang gadis dengan kuncir kuda yang sedang mengatur napasnya.

Dengan cengiran tanpa dosa, cewek itu berkata, "Hadir, Pak."

Pak Eko menatap tajam si pemilik nama Valeria itu, kemudian kembali melanjutkan absennya yang sempat tertunda. Cewek yang kerap dipanggil Ria itu langsung melengos ke tempat duduknya menyadari kesempatan emas ini. Ia duduk di barisan ketiga dari depan, tepatnya di sebelah sahabat satu-satunya, Karen.

"Tidur itu dibatesin dikit, Bego," ucap Karen dengan suara yang sangat lirih begitu Ria mengempaskan diri di kursinya.

Tanpa mengalihkan tatapan dari depan, Ria kembali menunjukkan cengirannya yang dibalas helaan napas Karen. Karen kenal betul tabiat Ria yang sering sekali telat masuk di jam pelajaran pertama karena tidurnya yang kelewat batas.

Sebut Ria kebo, tapi ia tidak akan peduli karena ranjang telah menjadi pacar abadinya.

Sebelum absen berakhir, Ria mengambil kesempatan untuk menoleh ke belakang. Matanya mulai mencari sepasang mata lain di deretan belakang. Saat mata birunya sudah bertemu dengan mata cokelat yang menatapnya lembut, cewek blasteran itu memutar kepalanya kembali ke depan, dan dengan segala usaha mencoba memperhatikan Pak Eko yang sudah mulai mengajar.

***

Begitu bel tanda jam istirahat pertama berbunyi, seluruh punggung di kelas XI IPA 3 yang tadinya tegang dengan serempak menjadi rileks. Satu per satu mulai keluar kelas setelah bersalaman dengan Pak Eko, hingga hanya segelintir murid yang tersisa di kelas itu. Pak Eko pun sudah bersiap keluar.

"Kantin, nggak?" tanya Karen seraya merapikan mejanya.

Gadis berambut hitam pekat di sebelahnya menoleh dan mengangguk. "Laper banget gue, parah. Tadi nggak sempet sarapan."

Rio & RiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang