2

5 0 0
                                    

Ria melempar tas sekolah asal di sofa kamarnya, kemudian mengempaskan diri di ranjang kesayangannya membentuk bintang besar. Wajah lelahnya memandangi kosong langit-langit kamarnya, sambil mengatur napas setelah sempat berlari-lari kecil masuk ke dalam rumahnya tadi. Satu menit kemudian, ia berguling ke arah kanan, bersiap tidur siang tanpa peduli baju seragam khas SMA Kirana yang masih melekat pada tubuh bau keringatnya. Prinsip utama Ria: tidur mengalahkan apa pun, tidurlah selagi kamu bisa.

            Mata Ria baru saja akan terpejam sepenuhnya—dapat dipastikan akan terbuka kembali minimal dua jam kemudian—ketika ponsel yang diletakkannya di nakas berdering. Ria langsung terduduk dan mengambil ponselnya. Ia yakin betul tentang siapa yang menelepon karena ia mematikan seluruh notifikasi ponselnya kecuali dari si penelepon ini. Langsung saja Ria angkat panggilan tersebut, tiba-tiba lupa akan segala kantuknya.

            "Halo. Komandan di sini. Laporan hari ini?" tanya si penelepon di sebrang sana.

            Ria menahan tawanya. Ia kenal betul permainan ini, dan meski sudah diterapkan sebanyak belasan kali, ia tidak pernah bosan dan tetap menyukainya.

            "Dengan Valeria, unit 18A. Lapor, hari ini korban yang ditemukan hanya satu," jawab Ria, berusaha serius namun nada suaranya masih terdengar riang.

            "Bagus. Lanjutkan," perintah si penelepon tegas bak komandan sungguhan.

            "Siap lanjutkan!" Sekuat tenaga Ria berusaha menahan tawa, membuatnya tersenyum-senyum sendiri.

            Keduanya terdiam selama beberapa detik, sama-sama tenggelam dalam perasaan geli bercampur senang. Setelah itu, barulah mereka tertawa terbahak-bahak menyadari betapa konyolnya permainan aneh tersebut.

            "Cerita, dong," pinta si penelepon, Rio tentunya, masih dengan sisa tawa yang berderai.

            "Bukannya lebih seru kalo diceritain secara langsung?" ujar Ria dengan kedua alis naik-turun, penuh dengan kode agar keduanya bertemu.

            Rio menanggapi kode tersebut dengan senyum lebar. "Bukit?"

            "Bukit!" jawab Ria dengan semangat '45. "Aku bawa sandwich!"

            Tanpa mengucap sepatah kata lagi, keduanya sama-sama menutup telepon. Ria bergegas keluar kamarnya dengan tas kecil berisi ponsel, dan berlari kecil menuju dapur. Rambut hitam tebal yang sudah dibiarkannya tergerai bergerak-gerak seolah ikut senang. Ia mengambil empat potong sandwich yang dibuat ibunya tadi pagi—mengingat prioritas anaknya setelah tidur adalah makan. Kemudian ia berderap menuju pintu utama dan keluar dari rumah.

            Di luar, Rio sudah sampai di rumah Ria dengan sepeda biru favoritnya, serta dengan penampilan yang jauh berbeda dengan dirinya di sekolah—tidak ada tudung hoodie, wajahnya cerah, pakaiannya pun santai. Rio tersenyum geli melihat mata Ria yang seperti berbinar-binar. Ria langsung naik ke sepeda, dibonceng Rio menuju bukit "pribadi" mereka.

            Hal yang wajar jika Ria sangat bahagia pada pertemuan mereka kali ini. Satu, Rio dan Ria belakangan sudah jarang ke bukit karena tugas yang menumpuk dengan kejamnya. Dua, Rio melengkapi kebahagiaannya dengan membawa sepeda untuk membonceng Ria menuju bukit.

            Ria sangat suka naik sepeda, dan itu adalah kesempatan langka. Ria sangat senang menembus angin sepoi-sepoi dan naik bukit dengan sepeda. Masalah utamanya, Ria tidak bisa mengendarai sepeda sejak kecil. Maka satu-satunya cara untuk memenuhi kegemarannya naik sepeda adalah dengan cara dibonceng. Namun, Ria tentu tidak bisa menyuruh sembarang teman memboncengnya. Bisa-bisa ia malu besar karena kelemahannya terbongkar.

Rio & RiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang